Senin, 24 Januari 2011

Dokumentasi

<<< Asal Mula Ponpes Nurul Ummah >>>


Tempat Wudhu Santri

Kamar Mandi Santri

WC santri

Bilik Santri

Ruang Majelis

<<< Peletakan Batu Pertama Pendirian Aula Majelis >>>

Peletakan Batu Pertama Oleh Bpk. Kherlani

Foto bareng Bpk Kherlani



<<< Proses pengerjaan pondasi aula ponpes. dimulai tanggal 18 februari 2009 >>>




R I B A (Bagian Pertama)

Sumbangan Data Dari:
Ade Setiawan, S.H.I. (Dewan Asatid Ponpes Nurul Ummah)
Editing Text By: Aqso

A.     Pengertian Riba
Riba secara bahasa bermakna : ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba  juga berarti tumbuh dan membesar.[1] Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.[2] Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah perigambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Mengenai hal ini, Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya:

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. An-Nisa’ : 29).[3]

Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan : Pengertian riba secara bahasa  adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil seperti transaksi jual beli, gadai sewa atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai rnaka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.[4]
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi.

Pengertian senada juga disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhab fiqhiyyah. Di antaranya sebagai berikut[5] :
1.      Badr ad-Din al-Ayni, Pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari.
"Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.

2.      Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi.
"Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.

3.      Raghib al-Asfahani.
"Riba adalah penambahan atas harta pokok"

4.      Imam an-Nawawi dari Mazhab Syafi'i.
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah : penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.

5.      Qatadah.
"Riba jahiliah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan  bayaran tambahan atas penangguhan."

6.      Ziad bin Aslam.
Yang dimaksud dengan riba jahiliah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo, ia berkata, 'Bayar sekarang atau tambah.”[6]

7.      Mujahid.
"Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar), si pembeli memberikan 'tambahan' atas tambahan       waktu.”[7]

8.      Ja'far ash-Shadiq dari Kalangan Syi'ah.
Ja'far ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba, "Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antar manusia.”[8]

9.      Imam Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanbali.
Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang riba, ia menjawab, "Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.”[9]


B.     Dasar Hukum yang Mengharamkan Riba

Berikut ini merupakan dalil-dalil sebagai dasar pengharaman riba.
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 275-279 :

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. 276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. 277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. 279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.[10] (Q.S. Al-Baqarah ayat 275-279)

Al-Hadits :

Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa Nabi saw. bersabda, "Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan); yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya.”[11]


C.     Macam-macam Riba dan Barang Ribawi
1.      Macam-macam Riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
a.      Riba Qardh : Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh).
b.      Riba Jahiliyyah : Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
c.       Riba fadhl : Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
d.      Riba nasi’ah : Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang di-pertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.[12]

Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al-Haitsami : "Riba itu terdiri atas tiga jenis: riba fadl, riba al-yaad, dan riba an-nasi'ah. Al-Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba al-qardh. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma berdasarkan nash Al-Qur'an dan hadits Nabi.”[13]

2.      Macam-macam Barang Ribawi
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi:
a.       Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya;
b.      Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antar barang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut.
a.       Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya, rupiah dengan rupiah hendaklah Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserahkan ketika tukar-menukar.
b.      Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya, Rp5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.
c.       Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya, mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.

D.    Tahap-tahap Pengharaman Riba
Umat Islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan supaya umat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surah dalam Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah saw.

Larangan Riba dalam Al-Qur’an.
Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur'an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.[14]
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.

”Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. (Q.S. Ar-Rum : 39).[15]

Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.

”Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (Q.S. An-Nissa’ : 160-161).[16]

Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman,

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Q.S. Ali Imran : 130).[17]

Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi’ah. menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi’ah itu selamanya Haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu.
Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriah.

Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.

”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (Q.S. Al-Baqarah : 278-279).[18]

Ayat ini baru akan sempurna kita pahami,  jika kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari meriwayatkan,

”Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah SAW. Bahwa semua utang mereka, demikian juga piutang (tagihan)  mereka, yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Mekah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasi-nya. Bani Amr bin Umair bin Auf adalah orang yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman Jahiliah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan aset yang banyak. Karenanya, datanglah Bani Amr untuk menagih utang dengan tambahan (riba) dari Bani Mughirah seperti sediakala tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini, Gubernur Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah saw. dan turunlah ayat di atas. Rasulullah saw. lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab, 'Jika mereka ridha atas ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.”[19]

E.     Alasan Pembenaran Pengambilan Riba
Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Di antaranya karena alasan berikut.[20]
1.      Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya. Untuk memahami pengertian darurat, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat seperti yang dinyatakan oleh syara' (Allah dan Rasul-Nya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
a.       Imam Suyuti[21] dalam bukunya, al-Asybah wan-Nadzair, menegaskan bahwa "darurat adalah suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian."
b.      Dalam literatur klasik, keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian Allah menghalal-kan daging babi dengan dua batasan.

”Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah : 173)[22]

Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, terutama penerapan al-qawaid al-fiqhiyah seputar kadar darurat.[23] Artinya, darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya.
Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam, dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap, tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau sepuluh suap, apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.

2.      Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang, sedangkan suku bunga yang "wajar" dan tidak menzalimi, diperkenankan. Ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan.[24] Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas surah Ali Imran ayat 130,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran : 130).[25]

Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi’ah. menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi’ah itu selamanya Haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasi’ah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasi’ah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
Sepintas, surah Ali Imran: 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi, memahami kembali ayat tersebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.
Adapun beberapa pengertian berlipat ganda yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat Ali-Imran Ayat 30 adalah sebagai berikut :
a.       Kriteria berlipat ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba dan sama sekali bukan merupakan syarat. Syarat berarti kalau terjadi pelipatgandaan maka riba, jika kecil maka tidak riba.
b.      Menanggapi hal ini, Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fiqih Islami di Paris tahun 1978, menurutnya, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%. Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.
c.       Menanggapi pembahasan surah Ali Imran ayat 130 ini, Syekh Umar bin Abdul Aziz al-Matruk, penulis buku ar-Riba wal-Muamalat al-Mashrfiyyah fi Nadzri ash-Shariah al-Islamiah, menegaskan,

"Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 surah Ali Imran, termasuk redaksi berlipat ganda dan penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian, redaksi ini (berlipat ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminologi syara (Allah dan Rasul-Nya)."

d.      Sami Hasan Hamoud dalam bukunya, Fathwiir al-A'maali al-Mashrifiyyah bimaa Yattafiqu wa-Syarii'ah al-Islaamiyyah, menjelaskan bahwa bangsa Arab di samping melakukan pinjam-meminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bint laburi). Kalau meminjamkan bint labun, meminta kembalian haqqah (berumur 4 tahun). Kalau meminjamkan haqqah, meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).[26]

Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan bergantung pada kekuatan supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan demikian, kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.
Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah mafhum mukhalafah dalam konteks Ali Imran: 130 sangatlah menyimpang, baik dari siyaqul kalam, konteks antar ayat, kronologis penurunan wahyu, maupun sabda sabda Rasulullah seputar pembungaan uang serta praktik riba pada masa itu.
Secara sederhana, jika kita menggunakan logika mafhum mukhalafah yang berarti konsekuensi secara terbalik jika berlipat ganda dilarang, kecil boleh; jika tidak sendirian, bergerombol; jika tidak di dalam, di luar, dan sebagainya kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesan Allah SWT.
Sebagai contoh, jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara mafhum mukhalafah:

”Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S. al-Israa': 32)[27]

"Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah..." (Q.S. al-Maa'idah : 3).[28]

’Janganlah mendekati zina’ yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina sendiri tidak dilarang. Demikian juga larangan memakan daging babi. Janganlah memakan daging babi Yang dilarang memakan dagingnya, sedangkan tulang, lemak, dan kulitnya tidak disebutkan secara eksplisit Apakah berarti tulang, lemak, dan kulit babi halal.
Pemahaman pesan-pesan Allah seperti ini jelas sangat membahayakan karena seperti dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu, konteks antar ayat, sabda-sabda Rasulullah seputar subjek pembahasan, demikian juga disiplin ilmu bayan, badi', dan maa'ni.
e.       Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 surah Ali Imran diturunkan pada tahun ke-3 H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupakan "ayat sapu jagat" untuk segala bentuk, ukuran, kadar, dan jenis riba.[29]

3.      Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.[30] Badan Hukum dan Hukum Taklif. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian, BCA, Bank Danamon, atau Bank Lippo tidak terkena hukum taklif karena pada saat Nabi hidup belum ada. Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis,
a.       Tidaklah benar bahwa pada zaman pra-Rasulullah tidak ada "badan hukum" sama sekali. Sejarah Romawi, Persia, dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa, dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara. 
b.   Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical per­sonality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.[31] Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat melakukan mudharat jauh lebih besar dari perseorangan. Kemampuan seorang pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi, mengekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama; lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita menyatakan bahwa apa pun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan insan mukallaf. Memang, ia bukan insan mukallaf, tetapi melakukan fi'il mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Demikian juga dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir dan lembaga rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir dalam skala kecamatan atau kabupaten, sedangkan lembaga rente meliputi provinsi, negara, bahkan global.


                [1] Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of the prohibition of Riba and Its contemporary Interpretation, Leiden, EJ Brill, cetakan ke 5, 1996, hlm 87. dalam buku Helmi Karim, Fiqih Muamalah, Gema Insan, Jakarta, 2000, hlm, 75.
                [2] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan, Central Bank of Indonesia and Tazkia Institute, Jakarta, cetakan ke 3, 1999, hlm 60.
                [3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1998, hlm. 103.
                [4]Anwar Iqbal Quresyi, Islam and The Theory of Interest,  Muhammad Ashraf, Lahore, cetakan ke 2, 1991, hlm102.
[5] Umdatul Qari, Constantinople : Mathba’a al-Amira, Cairo, 1310H, Vol. V, hlm. 436-437.
                [6] tafsir al-Qurthubi Op.Cit, hal 202.
                [7] Ibid., hlm. 73
                [8] Tahdzib. at-Tahdzib (2/103-104).
                [9] Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqiin (2/132).
                [10] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemah, Toha Putra, Semarang, 1989, Q.S Al-Baqarah ayat 275-279. hlm 35.
                [11] Umairul Ahbab Baiquni Achmad Sunarto, Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Husaini, Bandung, 2001, hal 744.
[12] Muhammad M. Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Peraktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, hlm. 58.
                [13] Az-Zawajir, Ala Iqtiraaf al-kabaair, Vol. II, hlm. 205.
                [14] Sayyid Quthb 'Tafsir Ayat ar-Riba" dan Abul-Ala al-Maududi, Riba, Islamic Publication, Lahore, 1951, hlm 229.
                [15] Op. Cit, Departemen Agama, hlm. 225.
                [16] Ibid., hlm. 465. (Q.S. An-Nissa’ : 160-161)
                [17] Ibid., hlm. 678. (Q.S. Ali Imran : 130)
[18] Ibid., hlm. 45. (Q.S. Al-Baqarah : 278-279)
                [19] Ahmad Mustofa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, Toha Putra, Semarang, 1993, hlm. 33.
                [20] Dawam Rahadjo, "The Question of Islamic Banking in Indonesia" dalam Mohamed Arif feri (ed.) Islamic Banking in South East Asia,  ISEAS, Singapura, 1988, hlm 298.
                [21] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, al-Asybah wan-Nazhair fi Qawaid wa Furu' Fiqh asy-Syafiiyah,  Darul-Kutub al-Amaliyah, Beirut, 1983), hlm. 85.
                [22] Departemen Agama RI, Op, Cit., hlm. 54.
                [23] Wehbah Zuhaili, Nazariyyatu adh-Dharurah ash-Shariyyah,  Muassasah ar-Ksalah, Beirut, 1985, hlm 80.
                [24] Kahar Masyhur, Beberapa pendapat tentang Riba, Kalam Mulia, Jakarta, 1999, hlm 32.
                [25] Op, Cit,. Departemen Agama RI, hlm. 178.
                [26] Sami Hasan Hamoud, Fathwiir al-A'maali al-Mashrifiyyah bimaa Yattafiqu wa-Syarii'ah al-Islaamiyyah hlm. 139-138.
                [27] Departemen Agama RI, Op, Cit.,  hlm. 356.
                [28] Ibid., hlm. 275.
                [29] Abul-A’la al-Maududi, Riba, Islamic Publication, Lahore, 1951, hlm, 83.
                [30] Ibrahim Hosen. "Kajian Tentang Bunga Bank Menurut Hukum Islam" paper dipresentasikan pada saat Workshop on Bank and Banking Interest, disponsori oleh Majelis Ulama Indonesia Safari Hotel. Cisarua, Bogor, 19-22 Agustus l990.
                [31] Abul-A’la al-Maududi, Op., Cit, hlm, 90.

R I B A (Bagian Kedua)

E.     Perbedaan Antara Bunga dan bagi Hasil
Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut.[1]

Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil
1.      Bunga
·        Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
·        Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
·        Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
·        Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah ke­untungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang "booming".
·        Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam.
2.      Bagi Hasil
·        Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
·        Besarnya rasio bagi hasil ber­dasarkan pada jumlah keuntung­an yang diperoleh.
·        Bagi hasil bergantung pada ke­untungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
·        Jumlah pembagian laba me­ningkat sesuai dengan peningkat-an jumlah pendapatan.
·        Tidak ada yang meragukan ke-absahan bagi hasil.

F.     Pendapat Para Fuqaha tentang Bunga
Hampir semua majelis fatwa ormas Islam berpengaruh di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, telah membahas masalah riba. Pembahasan itu sebagai bagian dari kepedulian ormas-ormas Islam tersebut terhadap berbagai masalah yang berkembang di tengah umatnya. Untuk itu, kedua organisasi tersebut memiliki lembaga ijtihad, yaitu Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa'il Nahdlatul Ulama.
1.      Al-Jurjani sebagaimana dikutip oleh Masjfuk Zuhdi mendefinisikan riba sebagai: “Kelebihan/ tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi).” Misalnya si A memberi pinjaman kepada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman beserta sekian persen tambahannya. Ada yang membedakan antara riba dan rente/bunga seperti Mohammad Hatta, bahwa Riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan rente/riba untuk pinjaman yang bersifat produktif. Demikian pula istilah usury dan interest, bahwa usury ialah bunga pinjaman yang sangat tinggi, sehingga melampaui suku bunga yang diperbolehkan oleh hukum.

2.      Menurut Ibn al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam al-Qur’an, pengertian al-bathil dalam ayat di atas adalah sebagai berikut: “riba secara bahasa berarti tambahan. Namun yang dimaksud riba dalam Al-Qur’an adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan oleh syari’ah”. Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegetimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai sewa, atau bagi hasil dan kerugian dari sebuah usaha bisnis atau proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena digunakan oleh penyewa.[2]

3.      Badr al-Diin al-Ayni, pengarang kitab ‘Umdat al- Qaari Syarh al-Shahiih al-Bukhaariy, menyatakan: “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syari’ah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis yang riil”. Al-Imam Sarakhasi dari madzhab hanafiah berpendapat: “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwadh (padanan) yang dibebankan syari’ah atas penambahan tersebut”.

4.      Menurut Fuad Fachruddin bahwa rente yang dipungut oleh bank itu haram hukumnya. Sebab pembayarannya lebih dari uang yang dipinjamkannya. Sedang uang yang lebih dari itu adalah riba dan riba itu haram hukumnya. Kemudian dilihat dari segi lain bahwa bank itu hanya tahu menerima untung tanpa risiko apa-apa. Bank meminjamkan uang kemudian rentenya dipungut sedang rente itu semata-mata menjadi keuntungan bank yang sudah ditetapkan keuntungannya. Pihak bank tidak mau tahu apakah orang yang meminjam uang itu rugi atau untung.

5.      Menurut Abu Ahmad Akif, riba adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara literal berarti peningkatan, baik positif maupun negatif. Di dalam Al-Qur’an istilah ini digunakan juga dalam arti peningkatan yang positif (yurbi al-shadaqat); dalam Q.S. Al-Baqarah (2):276). Pernyataannya yang lebih tegas adalah:
a.       Bunga adalah riba yang jelas dilarang oleh agama Islam, tidak peduli dalam bentuk nama apapun atau pendiskripsian apapun. “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
b.      Keuntungan dari pinjaman apapun adalah haram, meskipun pinjaman itu digunakan untuk konsumsi ataupun produksi.
c.       Riba adalah dilarang tanpa melihat kualifikasi atau tingkatannya, dan semua tingkatan riba termasuk dalam segala jenis bunga. Bunga dalam tingkatan apapun yang melampaui 0% adalah riba dan itu dilarang oleh syari’at Islam. Pelarangan riba yang muncul di dalam hukum Islam klasik, bukanlah semata-mata sebagai upaya untuk mencegah kaum kaya mengeksploitasi kaum miskin.[3]

6.      Zuhdi mengutip pendapat Ali Ahmad al-Jurjawi mengenai dampak akibat praktek riba itu, antara lain ialah:
a.       Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin.
b.      Uang modal besar yang dikuasai oleh The Haves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha produkif, misalnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya yang menciptakan lapangan kerja banyak, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak mampu mengembalikan pinjaman dan bunganya.

7.      Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamarnya di Sidoarjo 1968 memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau sebaliknya termasuk syubhat atau mutasyabihat artinya belum jelas halal haramnya. Sesuai dengan petunjuk Hadis Rasulullah kita harus berhati-hati dalam menghadapi hal-hal yang masih syubhat itu. Dengan demikian kita boleh bermuamalah dengan bank apabila dalam keadaan terpaksa saja. Setelah kita perhatikan dalam garis besarnya ada empat pendapat yang berkembang di kalangan ulama mengenai masalah riba ini yaitu Pendapat yang menghararnkan.[4]

8.      Dawam Raharjo dan Ibrahim Hosen bahwa sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah jelas dan shahih, masih saja beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang, diantaranya karena alasan berikut:[5]
a.       Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
b.      Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang, sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak menzalimi, diperkenankan.
c.       Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.
Berkenaan dengan bunga bank ini para ulama dan cendikiawan muslim berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tersebut dapat disimpulkan:
a.       Pendapat Abu Zahrah, Guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, Abul A’la al-Maududi (pakistan), Muhammad Abdullah al-A’rabi, Penasihat Hukum pada Islamic Congress Cairo dan lain-lain yang menyatakan bahwa bunga bank itu riba nasi’ah, yang dilarang oleh Islam. Karena itu tidak boleh bermua’malah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Dan mereka mengharapkan lahirnya bank Islam yang tidak pakai sistem bunga sama sekali.
b.      Pendapat A. Hassan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis) yang menerangkan bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana dinyatakan dalam Surat Ali ‘Imran ayat 130.
c.       Pendapat Majlis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo Jawa Timur Tahun 1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, adalah termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya belum jelas halal/haramnya. Maka sesuai dengan petunjuk Hadis, kita harus berhati-hati menghadapi masalah-masalah yang masih syubhat itu. Karena itu jika kita dalam keadaan terpaksa atau kita dalam keadaan hajjat, artinya keperluan yang mendesak/penting, barulah diperbolehkan bermu’amalah dengan bank dengan sistem bunganya itu sekadarnya saja.[6]
d.      Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung Tahun 1982 memutuskan bahwa: pendapat pertama, sebagai berikut: 1) bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram; 2) bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi, boleh dipungut sementara sistem perbankan yang Islami atau tanpa bunga belum beroperasi; dan 3) bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi, boleh dipungut sebab ada kebutuhan yang kuat (hajah rajihah). Pendapat kedua, 1) bunga konsumsi sama dengan riba, hukumnya haram. Bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal; 2) bunga yang diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal; 3) bunga yang diterima dari deposito yang disimpan di bank, hukumnya boleh; dan 4) bunga bank tidak haram kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.
e.       Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Tahun 1970 menyepakati bahwa praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam, oleh karena itu perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
f.        Akademi Fiqh Liga Muslim Dunia (Majma’ al-fiqh rabithah al-‘alam al-Islamiy) dan Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam, dan Fatwa, Kerajaan Saudi Arabia menyatakan bahwa bunga bank adalah salah satu bentuk riba yang diharamkan.

9.      Menurut pakar perundangan Islam, riba artinya suatu kontrak atas harta tertentu yang tidak diketahui persamaan dan ukurannya ketika akad dilaksanakan, atau melambatkan penyerahan barang yang dipertukarkan atau melambatkan salah satunya. Riba diharamkan oleh agama Islam berdasarkan ketentuan al-Qur’an dan al-Hadits, dan ijma’.[7] Ketentuan umum dalam Islam menjelaskan bahwa ketiga dasar hukum di atas adalah sangat tegas, apalagi dasar yang disebuntukan al-Qur’an bersifat qat’i.

10.  Majelis Tarjih Muhammadiyah : Majelis Tarjih telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi/atau keuangan di luar zakat, meliputi maslah perbankkan (1968 dan 1972), keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan-pinjam (1989).[8] Majelis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan:
a.       Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al-Qur'an dan As-Sunnah;
b.      Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal;
c.       Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat;
d.      Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam.
Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara kepemilikan dan misi yang diemban, sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga bank pemerintah (pada saat itu) relatif lebih rendah dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).[9]

11.  Lajnah Bahsul Masa'il NahdlatuI Ulama : Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutuskan masalah tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini.
a.       Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rente,
b.      Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat,
c.       Syubhat (tidak tentu halal-haramnya), sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.

Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram, keputusan Lajnah Bahsul Masa'il yang lebih lengkap tentang masalah bank ditetapkan pada sidang di Bandar Lampung (1982). Kesimpulan sidang yang membahas tema Masalah Bank Islam tersebut antara lain sebagai berikut,
a.       Para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga bank konvensional.
1).    Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram.
2).    Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh.
3).    Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram).

Pendapat pertama dengan beberapa variasi keadaan antara lain sebagai berikut.
1).    Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram.
2).    Bunga iki sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi, boleh dipungut sementara sistem perbankan yang islami atau tanpa bunga belum       beroperasi.
3).    Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi, boleh dipungut sebab ada kebutuhan yang kuat (hajah rajihah}.

Pendapat kedua juga dengan beberapa variasi keadaan antara lain sebagai berikut.
1).    Bunga konsumsi sama dengan riba, hukumnya haram. Bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
2).    Bunga yang diperoleh dan tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
3).    Bunga yang diterima dari deposito yang disimpan di bank, hukumnya boleh.
4).    Bunga bank tidak haram kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.

12.  Majelis Tarjih Wiradesa, Pekalongan (1972) memutuskan:
a.       Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan Majelis Tarjih di Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam;
b.      Mendesak Majelis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi tersebut dalam muktamar yang akan datang.

Masalah keuangan secara umum ditetapkan berdasarkan keputusan Muk­tamar Majelis Tarjih Garut (1976). Keputusan tersebut menyangkut bahasan pengertian uang atau harta, hak milik, dan kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan-pinjam dibahas dalam Muktamar Majelis Tarjih Malang (1989). Keputusannya: koperasi simpan-pinjam hukum­nya adalah mubah karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan-pinjam bukan termasuk riba. Berdasarkan keputusan Malang di atas, Majelis Tarjih PP Muhammadi­yah mengeluarkan satu  tambahan keterangan, yakni bahwa tambahan pembayaran atau jasa yang diberikan oleh peminjam kepada koperasi simpan-pinjam bukanlah riba. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, perlu mengingat beberapa hal. Di antaranya, hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak nielampaui laju inflasi.


                [1] Abdul   Manan, Islamic Economic, Penerjemah, Dana Bakhti Waqaf, Yogyakarta, 1985, hlm, 70.
                [2] Menurut Ibn al-Arabi al-Maliki, Ahkam al-Qur’an,
                [3] M.Syafi’I Antonio, Op, Cit, hlm. 77.
                [4] Sidang Muktamar, Majelis Tafjih Muhammadiah, Sidoarjo, 1968.
                [5] Muhammad   Qurais Shihab, Membumikan Al Quran, Mizan, Bandung, 1997, hlm. 258.
                [6] Pendapat Majlis Tarjih Muhammadiyah, Sidoarjo, Jawa Timur, 1968.
                [7] Karnaen Perwataatmadja, “Apakah Bunga sama dengan Riba?”, Kertas Kerja Seminar Ekonomi Islam, LPPBS, Jakarta, 1997. hlm. 56.
                [8] Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Lembaga Study Agama dan Filsafat, Jakarta, 1999, hlm126.
                [9] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammaddiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995, hlm 225.