Jumat, 24 Juni 2011

TEORI HUKUM DAN FILOSOFI KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM AKAD TRANSAKSI ISLAMI

Kiriman Makalah By: Ade Setiawan, S.H.I.[1]


PENDAHULUAN

Islam adalah sebuah system yang sangat komprehensif dan merupakan jalan hidup yang sempurna, Islam mengatur segala sapek persoalan dengan asas agama (religiusitas), Islam tidak hanya membahas permasalahan akhirat saja yang meliputi hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Akan tetapi Islam juga mengatur hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya melalui aspek Mu’amalah.

Mu’amalah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti saling berbuat, kata ini menggambarkan suatu aktifitas yang dilakukan seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Yang kesemuanya itu diatur di dalam fiqih Mu’amalah, yang berarti hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan, misalnya dalam persoalan jual-beli, utang-piutang, kerjasama dagang, perserikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah, dan sewa-menyewa.

Dalam pelaksanaannya, organisasi, perkumpulan, dan asosiasi para pelaku bisnis di seluruh dunia telah mengembangkan kode etik dalam dunia bisnis yang berupa syarat-syarat, criteria, atau prinsip yang harus diterima dalam menjaga kelangsungan bisnis mereka, namun apakah kode etik tersebut telah sesuai dengan dengan prinsip-prinsip syari’ah itulah yang menjadi pertanyaan besar hingga saat ini, oleh sebab itu sangat diperlukan perspektif yang lebih religius dan professional dalam melakukan transaksi-transaksi bisnis Islam. Sehingga di dalam pelaksanaannya para pelaku bisnis diharapkan memperhatikan nilai-nilai syari’ah, yang mengejar keuntungan tanpa menghalalkan segala cara.


PEMBAHASAN

DASAR HUKUM KEBEBASAN BERKONTRAK

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (Q.S. Al-Maidah:1)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 29)

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa’:4)

“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. AL-Isra’ : 23)


PENGERTIAN KONTRAK (AKAD)

Dalam istilah hukum kontrak, kontrak merupakan suatu istilah asing dalam bahasa Inggris yaitu “contract”, sedangkan dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah lama terdapat kata kontrak dan bukan merupakan istilah asing,[2] dalam konsep fiqih Mu’amalah kontrak lebih dikenal dengan sebutan aqad, yang menurut fuqaha berarti perikatan antar ijab dan qabul dengan cara-cara yang disyari’atkan dan mempunyai dampak terhadap apa yang diaqadkan tersebut.[3]

Istilah perjanjian atau kontrak dalam bahasa Indonesia, atau aqad dalam bahasa Arab atau dalam istilah hukum Islam berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt).[4] Sebagai suatu istilah dalam hukum Islam, ada beberapa definisi yang diberikan pada aqad atau perjanjian sebagai berikut:
1.      Menurut pasal 262 Mursyid al- Hairan, akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan Kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.[5]
2.      Aqad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak Syari’at yang berpengaruh pada objek perikatan.[6]
3.      Aqad adalah pertemuan antar ijab dan Kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.[7]

Dari definisi di atas memperlihatkan bahwa, pertama, akad adalah keterkaitan atau pertemuan ijab dan qabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak, dan qabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama. Akad tidak akan terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain, karena akad adalah keterkaitan kehendak keduabelah pihak yang tercermin dalam ijab dan qabul.
Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karma akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan qabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum, lebih tegas lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan akad.

Secara umum tujuan akad dapat dikategorikan menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut :
1.      Pemindahan milik dengan imbalan ataupun tanpa imbalan (at-Tamlik).
2.      Melakukan pekerjaan (al-‘amal).
3.      Melakukan persekutuan (al-Isytirak).
4.      Melakukan pendelegasian (at-Tafwidh).
5.      Melakukan penjaminan (at-Tautsiq).

Pemindahan milik meliputi pemindahan milik atas benda dan pemindahan milik atas manfaat. Jual-beli adalah akad untuk memindahkan milik atas benda dengan imbalan. Hibah adalah pemindahan milik atas benda tanpa imbalan. Sewa-menyewa adalah pemindahan milik atas manfaat dengan imbalan. Pinjam pakai adalah akad pemindahan milik atas manfaat benda tanpa imbalan. Muzaraah adalah akad untuk melakukan pekerjaan. Mudharabah adalah akad untuk melakukan persekutuan modal dan usaha guna membagi hasilnya. Wakalah (pemberian kuasa) adalah akad untuk melakukan pedelegasian. Kafalah (penanggungan) adalah akad untuk melakukan penjaminan.

Untuk merealisasikan hukum pokok akad, maka para pihak memikul beberapa kewajiban yang sekaligus merupakan hak pihak lain. Misalnya, dalam akad jual-beli, penjual berkewajiban menyerahkan barang yang merupakan hak pembeli, dan pembekli berkewajiban menyerahkan harga yang merupakan hak penjual. Hak dan kewajiban ini disebut hak-hak akad, dan disebut juga akibat hukum tambahan akad. Akibat hukum tambahan akad ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu akad hukum yang ditentukan oleh syari’ah dan akibat hukum yang ditentukan oleh para pihak sendiri.


ASAS-ASAS KONTRAK / PERJANJIAN (AKAD)

1.      Asas Ibahah (Mabda’ al-Ibahah)
Asas Ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam “pada asasnya segala sesuatu itu baleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”. Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum Islam, untuk tindakn-tindakan ibadah berlaku asas bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil syari’ah. Orang tidak dapat membuat-buat bentuk baru ibadah yang tidak pernah ditetukan oleh Nabi SAW. Bentuk-bentuk baru ibadah yang dibuat tanpa pernah diajarkan oleh Nabi SAW. Itu disebut bid’ah dan tidak sah  hukumnya.
Sebaliknya, dalam tindakan-tindakan muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitu bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu. Bila dikaitkan dengan tindakan hukum, khususnya perjanjian, maka ini berarti bahwa tindakan hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian tersebut.

2.      Asas Kebebasan Berkontrak / Berakad (mabda’ hurriyyah at-Ta’aqud)
Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyetakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah dientukan dalam undang-undang syari’ah dan memasukkan klausul apa saja kedalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan jalan bathil. Namun demikian, dilingkungan mazhab-mazhab yang berbeda terdapat perbedaan pendapat mengenai luas sempitnya kebebasan tersebut. Nash-nash Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Serta kaidah-kaidah hukum Islammenunjukkan bahwa hukum Islam menganut asas kebebasan berakad. Asas kebebasan berakad ini merupakan konkretisasi lebih jauh dan spesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibahah dalam Mu’amalah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 1 sebagai berikut:

 “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[8]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. Al-Maidah :1)

Cara menyimpulkan kebebasan berakad dari ayat tersebut adalah bahwa menurut kaidah ushul fiqh (metodologi penemuan hukum Islam), perintah dalam ayat ini menunjukkan wajib. Artinya memenuhi akad itu hukumnya wajib. Dalam ayat ini akad disebutkan dalam bentuk jamak yang diberi kata sandang “Al” (al-‘Uqud). Menurut kaidah ushul fiqh, jamak yang diberikan kata sandang “Al” menunjukkan keumuman.[9] Dengan demikian, dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang dapat membuat akad apa saja baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan akad-akad itu wajib dipenuhi.[10]

3.      Asas Konsensualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah)
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam  pada umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual.
Para ahli hukum Islam biasanya menyimpulkan asas konsensualisme dari dalil-dalil hukum berikut:
  1. AL-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 29)

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa’ : 4)

  1. Sabda Nabi SAW, Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kata sepakat [Hadis riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah].[11]

  1. Kaidah hukum Islam, pada asanya perjanjian (akad) itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji.[12]

Kutipan ayat pada angka 1) menunjukan antara lain bahwa setiap pertukaran secara timbal balik diperbolehkan dan sah selama didasarkan atas kesepakatan. Ayat pada angka 2) menunjukkan bahwa suatu pemberian adalah sah apabila didasarkan kepada perizinan (rela hati) si pemberi. Mengenai kedua ayat ini, Ibn Taimiyyah (w. 728/1328) menyatakan, …dan boleh karena kerelaan hati itulah yang menjadi sebab dibolehkannya makan mahar, maka seluruh akad Tabaru’ (Cuma-Cuma) lainnya, dengan jalan melakukan qiyas (analogi) atas dasar ‘illat yang dinaskan dan ditunjukkan oleh Al-Qur’an, adalah sama dengan ini. Begitu juga firman-nya, kecuali (jika makan harta sesasma itu dilakukan) dengan jalan tukar menukar atas dasar perizinan timbal balik (kata sepakat) dari kamu hanya mensyaratkan kata sepakat dalam tukar-menukar kebendaan.[13]

Pada bagian lain Ibn Taimiyyah menegaskan lagi, Allah memandang lagi cukup perizinan timbal balik untuk jual-beli dalam firman-Nya, “kecuali dengan jalan tukar-menukar atas dasar perizinan timbal balik dari kamu dan memandang cukup kerelaan hati (consent) untuk Tabaru’ dalam firman-Nya, kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mas kawin itu atas dasar senang hati (perizinan,consent)maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai suatu yang sedap lagi baik akibatnya. Jadi ayat pertama adalah mengenai jenis akad atas beban (muawadah) dan ayat kedua mengenai jenis akad Tabaru’…[14]

Hadis Nabi SAW. Pada angka 3) dengan jelas menunjukkan bahwa akad jual beli didasarkan kepada perizinan timbal balik (kata sepakat). Meskipun hanya akad jual beli saja yang disebutkan dalam hadis ini, namun untuk akad-akad yang lain diqiyaskan (dianalogikan) kepada akad jual beli, sehingga dengan dasar analogi itu akad-akad lain juga didasarkan pada kata sepakat.

Kaidah hukum Islam pada angka 4) secara amat jelas menyatakan bahwa perjanjian itu pada asasnya adalah kesepakatan para pihak, sehingga bila telah tercapai kata sepakat para pihak, maka terciptalah suatu perjanjian.

4.      Asas Janji Itu Mengikat 
Dalam Al-Qur’an dan Hadis terdapat banyak perintah agar memenuhi janji. Dalam kaidah usul fiqih, “perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib” ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. Diantara ayat dan hadis dimaksud adalah,
a.       Firman Allah,
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. Al-Israa’ : 34)
b.      Asar dari Ibn Mas’ud, janji itu adalah utang.[15]
c.       Ayat QS. 5: 1 dan hadis al-Hakim yang telah dikutip pada sub C. 2. 1) dan 2. 2) di atas.

5.      Asas Keseimbanggan (Mabda’ at-Tawazun fi al-Mu’awadhah)
Meskipun secara factual jarang terjadi keseimbangan antaras para pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap menekankan perlunya keseimbangan itu,baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul resiko. Asas keseimbangan dalam transaksi (antara apa yang diberikan dengan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami  ketidak seimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul resikso tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala resiko atas kerugian usaha, sementara kreditor bebas sama sekali dan harus mendapatkan prosetase tertentu sekalipun pada sat dananya mengalami kembalian negatif.

6.      Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)
Dengan asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa akadsyang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudrahat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah). Apabila dalam pelaksanaan akad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan sehingga memberatkannya, maka kewajibannya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal.[16]

7.      Asas Amanah
Dengan asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beretikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak sekali objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang amat spesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditransaksikan, pihak lain yang menjadi mitra transaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya. Profesi kedokteran, terutama dokter spesialis, misalnya hanya diketahui dan dikuasai oleh dokter saja.
Masyarakat umum tidak mengetahui seluk beluk profesi tersebut. oleh karena itu, ketika seorang pasien sebagai salah satu pihak transaksi akan diterapkan suatu metode  pengobatan dan penaganan penyakaitnya, sang pasien sangat tergantung kepada informasi dokter untuk mengambil keputusan menjalani metode tersebut. Begitu pula terdapat barang-barang canggih, tetapi juga mungkin menimbulkan resiko berbahaya bila salah penggunaannya. Dalam hal ini, pihak yang bertransaksi dengan objek barang tersebut sangat bergantung kepada informasi produsen yang menawarkan barang tersebut. Oleh karena itu, dalam kaitan ini dalam hukum perjanjian Islam dituntut adanya sikap amanah pada pihak yang menguasainya untuk memberi informasi yang sejujurnya kepada pihak lain yang tidak banyak mengetahuinya.
Dalam hukum Islam, terdapat suatu bentuk perjanjian yang disebut perjanjian amanah, salah satu pihak hanya bergantung kepada  informasi jujur dari pihak lainnya  untuk mengambil keputusan untuk menutup perjanjian beresangkutan. Di antara ketentuannya, adalah bahwa bohong atau penyembuyian informasi yang semestinya disampaikan dapat menjadi alasan pembatalan akad bila dikemudian hari ternyata informasi itu tidak benar yang telah mendorong pihak lain untuk menutup perjanjian. Contoh paling sederhana dalam hukum Islam adalah akad murabahah, yang merupakan salah satu bentuk akad amanah. Pada zaman sekarang wilayah akad amanah tidak saja hanya dibatasi pada akad seperti murabahah, tetapi juga meluas ke dalam akad takaful (asuransi) bahkan juga banyak akad yang pengatahuan mengenai objeknya hanya dikuasai oleh salah satu pihak saja.

8.      Asas Keadilan
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah Al-Qur’an yang menegaskan, sebagaimana firman Allah berikut ini :

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah : 8)

Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian dibuat oleh para pihak. Sering kali dizaman modern akad ditutup olaeh satu pihak  dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausul akad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaannya akan timbul kerugian kepada pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam hukum Islam konterporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dalat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alas an untuk itu.[17]

     



KESIMPULAN
Dari uraian di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Kontrak merupakan suatu istilah asing dalam bahasa Inggris yaitu “contract”, sedangkan dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah lama terdapat kata kontrak dan bukan merupakan istilah asing,[18] dalam konsep fiqih Mu’amalah kontrak lebih dikenal dengan sebutan aqad, yang menurut fuqaha berarti perikatan antar ijab dan qabul dengan cara-cara yang disyari’atkan dan mempunyai dampak terhadap apa yang diaqadkan tersebut.[19]
2.      Asas filosofi kebebasan berkontrak adalah sebagai berikut ;
a.       Asas ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “pada asasnya segala sesuatu itu baleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”.
b.      Asas Kebebasan Berkontrak / Berakad (mabda’ hurriyyah at-Ta’aqud)
c.       Asas Konsensualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah)
d.      Asas Janji Itu Mengikat
e.       Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)
f.       Asas Amanah 
g.   Asas Keadilan


[1] Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Lampung Konsentrasi : Hukum Ekonomi Syari’ah, At: 16 Juni 2011
[2] Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 2.
[3] TM. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 10.
[4] Ahmad Abu al-Fath, Kitab al-Muamalat fi as-Syari’ah al-Islamiyyah wa al-Qawanin al-Mishriyyah, Mesir, Matba’ah al-Busfir, 1913, I: 139; Lihat juga Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, Mesir, Mushtafa al-Babii al-Halabi, 1964, II: 4.
[5] Basya, Mursyid al-Hairan ila Ma’rifah Ahwal al-Insan, Kairo, Dar al-Furjani, 1403/1983, hlm. 49.
[6] Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, Mesir al-Amiriyah, tt, jilid II, hlm. 255.
[7] Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. Hukum Perjanjian Syari’ah (study tentang teori aqad dalam fiqih muamalah, Jakarata, PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 68.
[8] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
[9] Muhammad Abu zahrah, Ushul al-Fiqih (ttp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), hlm. 157.
[10] Lihat tafsir ayat ini dalam at-thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (Beirut: Mu’assasah al-A’lam li al-Muthbu’at, 1970), V:158
[11] Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban (Beikut: Mu’assasah ar- Raisalah,1414/1993),XI:340, hadfis no.4967;dan Ibn Majah,sunan Ibn Majah (Berikut: Dar al-Fikr, t.t.), II:737, hadis no.2185.
[12] Az-Zarqa’,op. cit., II: 1083.
[13] Ibn Tamiyyah, M ajmu’ al-fatawa (Riyad: Matabi’ ar-Riyadh, 1383 H) ,XXIX:155
[14] Ibid., XXIX:14-5
[15]Asar ini diriwayatkan secara maukuf oleh al- Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad. Sedangkan at-Tabani dalam al-Mu’jam al-Ausat dan al-Mu’jam ash-shagir meriwayatkannya secara marfuk dari Nabi SAW. Melalui sahabat ‘Ali. Lihat at-Tabani, al-Mu’jam al-Ausat (kairo: Dar al-Haramin, 1415 H), IV:23; dan al-Ausat (Beirut-Amman: al-Maktab al-Islami dan Dar ‘Amman,1985), I:256. selain itu juga diriwayatkan secara marfuk oleh al-Qudha’I dalam musnad asy-Syihab (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1986), I:40. riwayat marfuk ini didaifkan oleh para ahli hadis. Lebih lanjut komentar mengenai hadis ini lihat al-Manawi, faidh al- Qadir (Mesir:al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra,1356 
H), IV:377; dan al-Ajluni,Kasyf al-Khafa’(Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1405
H), II:73-4.
[16] Lihat bahasan pada Bab XI B angka 3.
[17] Lihat bahasan Bab XI B angka 2.
[18] Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 2.
[19] TM. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 10.

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM PADA PERIODE KLASIK (Berkaitan Dengan Tokoh-Tokoh Yang Pemikirannya Tentang Ekonomi Macro)


Posted Makalah By: Ade Setiawan, S.H.I.[1]


PENDAHULUAN

Pemikiran-pemikiran ekonomi yang berkembang saat ini telah mengalami suatu proses yang panjang. Perkembangannya berlangsung berabad-abad seiring dengan munculnya peradaban-peradaban yang ada di dunia. Bahkan pemikiran tersebut mulai tampak sejak zaman batu, perunggu, dan besi. Kemudian semakin berkembang sejak ditemukannya tulisan pada peradaban India kuno, Mesir kuno, dan Babylonia. Sedangkan barat lebih cendrung pada peradaban Yunani kuno yang kaya akan peninggalan dari kaum intelektualnya.

Salah satu corak perkembangan pemikiran ekonomi pada masa lampau adalah kegiatan bisnisnya yang menggunakan sistim bunga. Para pakar sejarah pemikiran ekonomi menyimpulkan bahwa kagiatan bisnis dengan sistem bunga telah ada sejak tahun 2500 sebelum masehi, baik di Yunani kuno, Romawi kuno, dan Mesir kuno.

Sementara itu, marak dan berkembangnya ekonomi Islam pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah mendorong dan mengarahkan perhatian para ilmuan modern kepada pemikiran ekonomi Islam klasik. Dikarenakan hasil pemikirian tentang ekonomi Islam oleh para ekonomi Islam klasik tersebut merupakan pionir-pionir penting yang sukses melakukan transformasi sistem ekonomi Islam ke dalam dunia modern.

Di antara sekian banyak pemikir masa lampau yang mengkaji ekonomi Islam, Ibnu Khaldun merupakan salah satu ilmuwan yang paling menonjol. Ibnu Khaldun adalah raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja bapak sosiologi tetapi juga bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, Ia lebih dari tiga Abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut.


PEMBAHASAN

Pemikiran Ekonomi Adam Smith Pada Masa Klasik

Dalam buku the walht of nations, Smith berkomentar pada instruksi kualitas rendah dan aktifitas intelektual yang berjumlah sedikit dibandingkan dengan di Skotlandia.

Menurut Smith, yang membuat pertumbuhan ekonomi bisa berjalan adalah proses mekanisasi dan pembagian kerja (Division of  labor). Terjadinya revolusi industri di Inggris membuat Smith menyaksikan segala konsekwensi dari peralihan teknologi. Smith memulai analisisnya dengan (Division of  labor) karena ia berharap menemukan dasar transformasi yang tepat dari bentuk konkrit pekerja, yang memproduksi barang tepat (berguna), kepada pekerja sebagai elemen sosial, yang menjadi sumber kemakmuran dalam bentuk abstrak (nilai pertukaran).

(Divisions of  labor) dijadikan dasar oleh Smith karena meningkatkan produktifitas pekerja. Setelah memberikan pengetahuannya mengenai perhitungan kualitas dan konsekwensi, Smith memprose penyelidikan terhadap penyebabnya. Karena (Division of  labor) bergantung pada Propensity to exchange, yang Smith hormati sebagai salah satu motif dasar dari human conduct. Ada sesuatu kebingungan dalam satu point Smith mengenai hal ini yaitu tentang sebab dan akibat. Mungkin suatu yang benar jika perdagangan tidak dapat exist tanpa Division of  labor, ini tidak benar, paling tidak dalam teori, Division of  labor memerlukan existensi dari private exchange.

Selain itu Smith sangat mendukung Laissez Faire-Laissez Passer yang menghendaki seminimal mungkin campur tangan pemerintah dalam perekonomian Negara. Prinsip Laissez Faire menjadi dasar dari sistem ajaran yang menjadi pelabuhan bagi filsuf-filsuf luar negeri yang membentuk suatu bagian esensial. Prinsip Laissez Faire, persaingan, dan teori nilai pekerja adalah fitur berharga yang diajarkan dari sekolah ekonomi beraliran klasik, yang secara esensial dibangun oleh Smith serta Malthus, Ricardo, dan Mill. Prinsip Laissez Faire merupakan pondasi bagi sistem ekonomi klasik.

Paham yang berawal dari pendapat Prancis Quesney (aliran fisiokrat) menghendaki peran serta pemerintah yang minimal. Biarkan saja perekonomian berjalan dengan sendirinya tanpa banyak diperbudak oleh intervensi. Smith percaya akan adanya tangan tak kentara ( invisible hand ) yang akan membawa perekonomian kearah yang setimbang. Sebaliknya, jika pasar terlalu banyak diurusi, menurut Smith, justru akan mengalami distorsi yang berimplikasi pada ketidak efisienan (Inefficiency) dan kesimbangan.  


Ekonomi Islam Dan The Great Gap

Perbankan syari’ah sebagai salah satu instrument ekonomi Islam yang telah terbukti mampu bertahan di tengah terpuruknya sistem perbankan konvesional, terinplikasi pada semakin maraknya kajian-kajian ekonomi Islam diberbagai tempat. Para akademisi, pengamat, maupun praktisi mulai bersemangat menganalisis perbedaan perbankkan syari’ah dengan perbankan konvensional. Lebih dari itu, mereka sudah merambah pada kajian intensif tentang fiqih muamalah dan kajian yang lebih luas dari ilmu ekonomi Islam itu sendiri.

Sementara itu, dalam setiap pembahasan ilmu ekonomi, sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, diyakini dimulai sejak tahun 1776. waktu itu dimotori oleh Adam Smith, pemikir dari inggris dengan karya monumentalnya, An Inquiry into The Wealth of Nations.[2] Sebelumnya sudah banyak pemikiran-pemikiran yang dikemukakan  mengenai persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat,maupun suatu Negara, namun belum dikemas secara sistematis. Topik-topik yang dibahas masih terbatas dan belum ada analisis yang menyeluruh mengenai berbagai aspek dari kegiatan perekonomian dalam suatu masyarakat. Analisis yang masih terbatas tersebut menyebabkan pemikiran-pemikiran ekonomi masih belum dipandang sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri.

Sebagaimana telah dijelaskan di uraian sebelumnya, Adam Smith memperkenalkan apa yang kini dikenal dengan sistem ekonomi liberalis kapitalis. Sistem ini digagas oleh Adam Smith untuk menentang sistem ekonomi merkantilisme, yang sangat menekankan campur tangan pemerintah dalam memajukan perekonomian.[3] Adam Smith agaknya lebih menghendaki kegiatan ekonomi itu dibiarkan bergerak sendiri, dengan hukum dan logikanya sendiri. Pasarlah yang akan mengatur aktivitas ekonomi, menggerakkan dan memekarkan kegiatan ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan yang lebih luas.

Akan tetapi, sistem ekonomi liberalis-kapitalis itu ternyata berdampak negatif, yaitu pendapatan yang tidak merata, peningkatan kemiskinian dan kesenjangan social yang makin melebar. Ekses itu timbul karena pasar yang bekerja maksimal membuat persaingan menjadi tidak terhindarkan. Akibatnya menyisakan ruang lapang bagi pengusaha kuat dan tentu saja, pengusaha kecil tergilas turbin produktifitas dalam sistem ekonomi.

Kondisi ini menimbulkan kritik dikalangan ilmuan lainnya, misalnya Karl Marx, menurutnya, sekalipun sistem liberal-kapitalis secara relatif berhasil memajukan tingkat pertumbuhan ekonomi, tetapi sistem itu telah mengorbankan manusia: menggiringnya ke dalam rantai ketergantungan, perbudakan ekonomi, dan ketersaingan bukan hanya dar produk dan kerja, melainkan dari kehidupan itu sendiri.[4] Kritik Marx terhadap kapitalisme agaknya lebih karena kecendrungan sistem kapitalis yang mengabaikan nilai-nilai moral kemanusiaan.

Dengan mengadopsi sekaligus merefisi ide Marx, Stalin, pemimpin revolusi Rusia dipermulaan abad 20, membangun suatu monopoli industrial yang dipimpin oleh suatu organisasi birokrasi yang mempergunakan sentralisasi dan industrialisasi birokratis.[5] Dalam sistem sosialis, BNM NAGARA mempunyai peran yang besar dalam melakukan aktivitas ekonomi. Melalui sistem ini pula, masalah-masalah seperti kemiskinan, kesenjangan social, dan distribusi pendapatan yang tidak merata diharapkan dapat di atasi.

Hanya saja, karena kompetisi di dalam sistem sosialis adalah hal yang terlarang, tentu saja dorongan untuk berprestasi dan meningkatkan produktivitas kerja menjadi menurun. Akibatnya, sistem sosialis tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan baik. Fenomena satu dasawarsa terakhir ini, Negara-negara eropa timur yang menerapkan sistem sosialis ternyata mengalami kebangkrutan ekonomi dan mulai melirik sistem pasar bebas sebagai landasan pembangunan ekonomi.

Kerapuhan sistem sosialis, terasa getarannya dalam sistem liberan-kapitalis, yang dibuktikan dengan adanya krisis. Pada decade 30-an, terjadi depresi ekonomi besar-besaran perekonomian menjadi lesu dan pengangguran merajalela. Orang banyak beranggapan bahwa apa yang diramalkan oleh Marx tentang pembusukan didalam sistem liberal-kapitalis akan segera menjadi kenyataan. Kedua aliran pemikiran tersebut ternyata mengggiring pada suatu kutub extrimitas. Yang satu aktivitas ekonomi benar-benar diserahkan pada tindakan individu dan yang lain amat ditentukan oleh kekuasaan pemerintah.

Keadaan tersebut segera dapat diselamatkan oleh Jhon Maynard Keynes. Menurutnya, perekonomian sepenuhnya tidak harus diserahkan kepada mekanisme pasar, tetapi dalam batas-batas tertentu, campur tangan Negara justru amat diperlukan. intervensi Negara menjadi suatu keniscayaan terutama mendorong perekonomian kembali pada posisi keseimbangan.[6] Keynes sangat berbeda dengan Smith. Pandangan Keynest di atas merupakan sebuah revolusi dalam pemikiran ekonomi liberal-kapitalis yang berkembang sejak Adam Smith.

Perdebatan di seputar masalah ekonomi tersebut, mendorong kita untuk menelaah kembali kesejarahan Islam klasik. Saat itu, tradisi dan peraktek ekonomi maupun perdagangan dengan landasan syari’ah telah diperaktikkan oleh Rasulullah SAW, bahkan lebih luas dari itu. Beliau yang hidup ditengah masyarakat Arab kuno telah menanamkan prinsip-prinsip etika ekonomi dan perdagangan yang bertumpu pada syari’ah. Praktek ekonomi maupun perdagangan masyarakat Arab saat itu tidak hanya mengenal barter, tetapi sistem jual beli telah berlaku, mata uang Persia dan Romawi juga telah dikenal luas oleh masyarakat dan telah menjadi sarana pertukaran yang efektif.[7] Bahkan tukar-menukar valuta asing atau “Sharf”, demikian pula anjak piutang dan pembayaran tidak tunai telah dikenal untuk perdagangan antar Negara. Sebuah lembaga pengumpul dan pendistribusi dana masyarakat telah dilakukan oleh “Bait al mal” yakni sebuah lembaga yang menggantikan lembaga peninggalan raja-raja kuno yang dipergunakan untuk menarik upeti dari rakyat.

Peraktek riba dan bunga serta perdagangan illegal seperti monopoli dan penimbunan telah mendapat perhatian Rasulullah SAW, dan digantikannya dengan sistem perdagangan yang menjunjung keadilan, kejujuran, dan pertanggung jawaban sesuai dengan petunjuk al-Qur’an.[8] Ini adalah sebuah revolusi besar terhadap sistem ekonomi yang dilakukan beliau.

Satu hal yang berkaitan dengan masalah yang diperdebatkan di atas, penentuan harga diserahkan pada mekanisme pasar yaitu diletakkan pada kekuatan penawaran dan permintaan itu sendiri, seperti terungakap dari sebuah hadits Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik, bahwa suatu ketika terjadi kenaikan harga-harga barang dikota Madinah, beberapa sahabat menghadap Nabi SAW, mengadukan masalah itu dan meminta beliau agar mematok harga-harga barang dipasaran. Rasulullah Saw menjawab ; Sesungguhnya Allah yang menetapkan harga, yang menahan, dan melepaskan, dan mengatur rezeki. Dan aku mengaharapkan agar saat berjumpa Allah dalam keadaan tidak ada seorangpun diantara kalian yang menggugatku karena kezaliman dalam soal jiwa dan harta”.[9]  

Meski demikian pada kasus lain dimana ada ketidak-adilan dan unsur penipuan terjadi dalam aktifitas bisnis masyarakat, Rasulullah SAW, tetap melakukan campur tangan, dalam hal ini turut mengendalikan dan mengontrol harga, menyeimbangkan permintaan dan penawaran.

Pada masa selanjutnya, tradisi dan peraktik ekonomi Islam terus dikembangkan. Misalnya, Abu Bakar telah menggunakan asas pemerataan dalam distribusi harta Negara, kebijakan ini berbeda dengan Umar bin Khattab yang menggunakan sistem distribusi dengan asas pengistimewaan pada orang-orang tertentu seperti Assabilqunal awwalun, keluarga Nabi, dan para pejuang perang mereka mendapat perioritas pertama.[10] Sumber penerimaan Negara berasal dari zakat, jizyah, Kharaj, Ghanimah, dan Fai’, dan masa umar telah dikembangkan lebih luas seperti adanya “ushr” dari pajak perdagangan antara Negara Muslim dengan Negara asing lainnya.[11] Diversifikasi dalam bernagai sumber pemasuka Negara saat itu membuat kas Negara menempati posisi surfplus.

Pasca Khulafa Rasyidin dan seiring dengan pergantian sistem pemerintah Islam yang berkembang kearah dinasti Islam dalam suatu organisasi pemerintahan yang kuat, telah muncul tokoh-tokoh pemikir muslim, yang dapat dikata gorikan sebagai fuquha’ para filosof dan sufi dengan berbagai karya ilmiahnya termasuk pemikiran tentang ekonomi.

Mengikuti kronologi sejarah pemikiran ekonomi Islam yang dikemukakan Nejatullah Siddiqi[12], didapati bahwa sejarah pemikiran ekonomi Muslim dikelompokan dalam tiga periode, dan terfokus pada tokoh-tokoh utama saja. Pertama, sampai 450 hijriah, meliputi para penemu dan pendiri dalam bidang hukum (fuqaha), diantara mereka yang menulis karyanya dalam bidang ekonomi adalah “Abu Yusuf (182/798); Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani (189/804); Abu Ubaid (224/838); Yahya Bin Umar (289/902); Mawardi (450/1058); Ibnu Hazm (456/1064). Kedua, 400 tahun berikutnya, meliputi tokoh intelektual terkenal seperti Al-Ghazali (451-505/1055-1111); Ibnu Taimiyah (661-728/1263-1328); Ibnu Khaldun (732-808/1332-1404). Ketiga, 500 tahun terakhir antara lain Shah Waliullah (1114-1176/1703-1762), Muhammad bin Abdul Wahab (1206/1787); Muhammad Abduh (1230/1905); Muhammad Iqbal (1356/1932) dan beberapa pemikiran lain.


Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun

a.       Mekanisme Pasar :
Ibnu Khaldun secara khusus memberikan ulasan tentang harga dalam bukunya al-Muqaddimah pada suatu bab berjudul ”Harga-harga di Kota”. Ia membagi jenis barang menjadi dua jenis, yaitu barang kebutuhan pokok dan barang pelengkap.[13]
Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan populasinya bertambah banyak, maka pengadaan barang-barang kebutuhan pokok menjadi prioritas.[14] Jadi suatu harga ditentukan oleh jumlah distribusi ataupun penawaran suatu daerah, dikarenakan jumlah penduduk suatu kota besar yang padat dan memiliki jumlah persediaan barang pokok yang melebihi kebutuhan dan kemudian memiliki tingkat penawaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan kota kecil yang memiliki jumlah penduduk yang relatif lebih sedikit. Yang kemudian akan berdampak pada harga yang relatif lebih murah.
Sedangkan permintaan pada bahan-bahan pelengkap akan meningkat sejalan dengan berkembangnya suatu kota dan berubahnya gaya hidup, dikarenakan segala kebutuhan pokok dengan mudah mereka dapati dan seiring dengan bertambahnya kebutuhan lain, maka tingkat permintaan pada bahan pelengkap akan naik, walaupun dengan tingkat harga yang relatif mahal dan jumlah barang yang relatif sedikit, dikarenakan terdapat banyak jumlah orang kaya disana, maka mereka pun sanggup membayar dengan tingkat permintaan yang tinggi yang kemudian akan berdampak pada naiknya harga tersebut.
Pada bagian lain, Ibnu Khaldun menjelaskan pengaruh naik dan turunnya penawaran terhadap harga. Ketika barang-barang yang tersedia sedikit, harga akan naik. Namun, bila jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan melimpah, dan harga-harga akan turun.[15] Jadi kemudahan dalam hal pendistribusian akan berpengaruh pada kestabilan harga.
Dalam hal ini, pengaruh permintaan dan penawaran terhadap penentuan harga tidak begitu baik dipahami di dunia barat sampai akhir abad ke-19 dan 20. Para ekonom Inggris pra-klasik dan bahkan pendiri aliran klasik, Adam Smith, secara umum hanya menekankan pada peranan biaya produksi, khususnya peranan pekerja buruh dalam penentuan harga.[16]
Istilah permintaan dan penawaran dalam literatur bahasa Inggris pertama kali digunakan sekitar tahun 1767, meski demikian pengaruh permintaan dan penawaran dalam penentuan harga di pasar baru dikenal pada dekade kedua di abad ke-19. Padahal Ibnu Khaldu telah menemukan pengaruh permintaan dan penawaran terhadap penentuan harga. Ia mengemukakan bahwa dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah, kenaikan atau penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan.[17]

b.      Pembagian Kerja
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa apabila pekerjaan dibagi-bagi di antara masyarakat berdasarkan spesialisasi, menurutnya akan menghasilkan output yang lebih besar. Konsep pembagian kerja Ibnu Khaldun ini berimplikasi pada peningkatan hasil produksi.
Dan sebagaimana teori division of labor nya Adam Smith (1729-1790), pembagian kerja akan mendorong spesialisasi, dimana orang akan memilih mengerjakan yang terbaik sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing, hal ini akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja, pada akhirnya akan meningkatkan hasil produksi secara total.[18]

c.       Keuangan Publik
Berkenaan dengan keuangan publik dalam hal ini pajak, yang berfungsi sebagai sumber utama pemasukan negara, haruslah dikelola dengan sebaik mungkin, sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal, yang nantinya dapat digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan sosial rakyat.
Dalam hal ini, menurut Ibnu Khaldun, keberadaan departemen perpajakan sangat penting bagi kekuasaan raja (pemerintah). Jabatan ini berkaitan dengan operasi pajak dan memelihara hak-hak negara dalam masalah pendapatan dan pengeluaran negara.
Ibnu Khaldun berpendapat dalam hal pajak, haruslah berdasarkan pemerataan, kenetralan, kemudahan, dan produktivitas.

d.      Standar Kekayaan Negara :
Menurut Ibnu Khaldun, kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi kekayaan suatu negara ditentukan oleh tingkat produksi domestik dan neraca pembayaran yang positif dari negara tersebut.[19] Dengan demikian, negara yang makmur adalah negara yang mampu memproduksi lebih banyak dari yang dibutuhkan, sehingga kelebihan hasil produksi tersebut diekspor, dan pada akhirnya akan menambah kemakmuran di negara tersebut.
Berikut merupakan konsep ekonomi menurut Ibnu Khaldun sebagai indikator dari kekayaan suatu negara,
1)      Tingkat Produk Domestik Bruto
Bila suatu negara mencetak uang dengan sebanyak-banyaknya, itu bukan merupakan refleksi dari pesatnya pertumbuhan sektor produksi (baik barang maupun jasa). Maka uang yang melimpah itu tidak ada artinya, yang membuat jumlah uang lebih banyak dibanding jumlah ketersediaan barang dan jasa.
2)      Neraca Pembayaran Positif
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa neraca pembayaran yang positif akan meningkatkan kekayaan negara tersebut. Neraca pembayaran  yang positif menggambarkan dua hal:
a)      Tingkat produksi yang tinggi.
Jika tingkat produksi suatu negara tinggi dan melebihi dari jumlah permintaan domestik negara tersebut, atau supply lebih besar dibanding demand. Maka memungkinkan negara tersebut melakukan kegiatan ekspor.
b)      Tingkat efisiensi yang tinggi
Bila tingkat efisiensi suatu negara lebih tinggi dibanding negara lain, maka dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi maka komoditi suatu negara mampu masuk ke negara lain dengan harga yang lebih kompetitif.

e.       Perdagangan Internasional :
Teori Ibnu Khaldun tentang pembagian kerja (division of labor) merupakan embrio dari teori perdagangan internasional yang berkembang pesat pada era Merkantilisme di abad ke-17. Hal itu disadari analisisnya tentang pertukaran atau perdagangan diantara negara-negara miskin dan negara kaya yang menimbulkan kecenderungan suatu negara untuk mengimpor ataupun menekspor dari negara lain. Bagi penganut paham merkantilisme, sumber kekayaan negara adalah dari perdagangan luar negeri, dan uang sebagai hasil surplus perdagangan adalah sumber kekuasaan.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa melalui perdagangan luar negeri, kepuasan masyarakat, keuntungan pedagang dan kekayaan negara semuanya meningkat. Dan barang-barang dagangan menjadi lebih bernilai ketika para pedagang membawanya dari suatu negara ke negara lain. Perdagangan luar negeri ini dapat menyumbang  secara positif kepada tingkat pendapatan negara lain.
Perdagangan luar negeri ini dapat menyumbang secara positif kepada tingkat pendapatan negara, tingkat pertumbuhan serta tingkat kemakmuran. Jika barang-barang luar negeri memiliki kualitas yang lebih baik dari dalam negeri, ini akan memicu impor. Pada saat yang sama produsen dalam negeri harus berhadapan dengan produk berkualitas tinggi dan kompetitif sehingga mereka harus berusaha untuk meningkatkan produksi mereka.

f.       Konsep Uang :
Ibnu Khaldun secara jelas mengemukakan bahwa emas dan perak selain berfungsi sebagai uang juga digunakan sebagai medium pertukaran dan alat pengukur nilai sesuatu. Juga pula uang itu tidak harus mengandung emas dan perak, hanya saja emas dan perak dijadikan standar nilai uang, sementara pemerintah menetapkan harganya secara konsisten. Oleh karena itu Ibnu Khaldun menyarankan agar harga emas dan perak itu konstan meskipun harga-harga lain berfluktuasi.
Berdasarkan pendapat Ibnu Khaldun di atas, sebenarnya standar mata uang yang ia sarankan masih merupakan standar emas hanya saja standar  emas dengan sistem the gold bullion standard, yaitu ketika logam emas bukan merupakan alat tukar namun otoritas moneter menjadikan logam tersebut sebagai parameter dalam menentukan nilai tukar uang yang beredar. Koin emas tidak lagi secara langsung dipakai sebagai mata uang. Dalam sistem ini, diperlukan suatu kesetaraan antara uang kertas yang beredar dengan jumlah emas yang disimpan sebagai back up. Setiap orang bebas memperjualbelikan emas, tetapi pemerintah menetapkan harga emas.
Mengenai nilai tukar mata uang, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang yang beredar di negara tersebut, tetapi oleh tingkat produksi dan neraca pembayaran yang positif. Ia menyatakan bahwa nilai uang di suatu negara merefleksikan kemampuan produksi dari negara tersebut. sehingga bila kemampuan produksinya menurun, maka nilai uangnya akan menurun, dan harga secara berkesinambungan akan meningkat, dan pada kondisi ini inflasi terjadi. Karena itu, dalam perdagangan internasional, nilai tukar uang antar negara sebenarnya tergantung pada kemampuan masing-masing negara memperoleh neraca pembayaran positif.


KESIMPULAN

Dari uaraian di atas maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal di antaranya sebagai berikut:
1.      Pada dasarnya Salah satu corak perkembangan pemikiran ekonomi pada masa lampau adalah kegiatan bisnisnya yang menggunakan sistim bunga. Para pakar sejarah pemikiran ekonomi menyimpulkan bahwa kagiatan bisnis dengan sistem bunga telah ada sejak tahun 2500 sebelum masehi, baik di Yunani kuno, Romawi kuno, dan Mesir kuno.
2.      Jauh sebelum kedatangan Islam, Bangsa Arab telah terkenal dengan kehidupan perniagaannya dimana pada saat itu dalam melakukan perniagaan Bangsa Arab menerapkan sistem riba. Dan setelah dating masa pemerintahan Rasulullah saw maka sistem ribawi tersebut dihapuskan secara totalitas, selain itu ada beberapa kebijakan yang ditetapkan Rasulullah saw baik yang bersifat fiskal seperti pendirian Baitul Mal dan menerapkan sistem ekonomi secara bagi hasil atau yang biasa dikenal dengan mudharabah, muzara’ah dan musaqah.
Fokus pemikiran yang terjadi pada masa klasik baik menurut Adam Smith, dan Ibnu Khaldun mengenai harga, mereka berpendapat harga pasar dalam keadaan normal ditentukan oleh pasar itu sendiri atau oleh kekuatan penawaran dan permintaan sehingga Negara tidak diharapkan melakukan intervensi. Sebagaimana sejarah yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.


[1] Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Lampung Konsentrasi : Hukum Ekonomi Syari’ah, At: 16 Juni 2011
[2] Fisafat kebebasan dan invisible hand yang diajarkan oleh Adam Smith menjadi karakter utama dalam sejarah ekonomi modern ketika revolusi industri dan kebebasan politik muncul kepanggung sejarah (Mark Skounsen, Sang Maestro Teori-teori Ekonomi Modern. Jakarta: Prenada, 2005.h.1).
[3] Charles Hession, “The Delevopment of Economic Ideas” dalam Arthur L.Grey dan Jhon E. Elliot (eds), Economic Issues and Policies: Reading Introdury Economic, (USA: Houghton Mifflin Company, 1961), Edisi Kedua, h.21.
[4] Robert L.Helibroner, The Wordly Philosophers,(New York: A Touchstone Book, 1980) Edisi v,h. 133
[5] Ibid., hlm. 140.
[6] Deliamov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta : Rajawali Perss, 1995), hlm. 137-146
[7] Ashgar Ali Engineer, “Asal usul dan perkembangan Islam”, Analisis pertumbuhan sosio-ekonomi, Pustaka Pelajar dan Insist, 1999, hlm 63.
[8] Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, (Yayasan Suarna Bhuni : 1997), hlm. 21-27.
[9] Abu Daud, Sunan Abu Dawud, ( Cairo : Dar al-Hadist, 1988), Vol. III., hlm. 270.
[10] Afzalurrahman, Op.Cit. hal. 107-108.
[11] Irfan Mahmud ra’ana, Economic System Under Umar the Great, terjemahan Mansuriddin Djoely dalam system ekonomi pemerintahan Umar ibn al-Khattab, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1992), hal. 92
[12] Nejatullah Sidiqi, “The Histori of Islamic Ekonomi Thought”, dalam Ausaf Ahmaddan Khazim Raza Awan, Lectures on Islamin economics, (Jeddah : IRTI, IDB, 1992), hal. 71.
[13] Ibid, hal.236
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid, Hal. 245