Selasa, 20 September 2011

Baitul Maal wa Tamwil (BMT)


Sumber: Bambang Sugeng[1]


Pembahasan tinjauan tentang BMT terbagi menjadi lima bagian yakni ; pengertian BMT, asas dan landasan BMT, prinsip operasional BMT, penghimpunan dana, produk pembiayaan BMT.


1.      Pengertian BMT
Baitul Maal wa Tamwil lebih dikenalnya dengan sebutan BMT. Yang terdiri dari dua istilah yakni baitul maal dan baitul tamwil. Secara harfiah atau lughowi baitul maal berarti rumah dana dan baitul tamwil berarti rumah usaha.[2] Bait yang artinya rumah dan tamwil (pengembangan harta kekayaan) yang asal katanya maal atau harta. Jadi berikut tamwil dimaknai sebagai tempat untuk mengembangkan usaha atau tempat mengembangkan harta kekayaan.[3]

Baitul Maal lebih mengarah pada usaha-usaha non profit yang mengumpulkan dana dari zakat, infaq dan sadaqah kemudian disalurkan kepada yang berhak. Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial profit untuk menciptakan nilai tambah baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi.[4]

Menurut Muhammad Ridwan, baitul maal berfungsi untuk mengumpulkan sekaligus mentasyarufkan dan sosial. Sedangkan baitul tamwil merupakan lembaga bisnis yang bermotif laba. Selanjutnya dari pengertian tersebut dapatlah ditarik suatu pengertian yang menyeluruh bahwa BMT adalah merupakan organisasi bisnis yang juga berperan sosial.[5]

Definisi BMT menurut operasional PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil) dalam peraturan dasar yakni “Baitul Maal Wat Tamwil adalah suatu lembaga ekonomi rakyat kecil, yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil bawah dan kecil berdasarkan prinsip syariah dan prinsip koperasi.”[6]

Dari definisi tersebut di atas mengandung pengertian bahwa BMT. Merupakan Lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil bawah dan kecil dengan berlandaskan sistem syariah, yang mempunyai tujuan meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat dan mempunyai sifat usaha yakni usaha bisnis, mandiri, ditumbuh kembangkan dengan swadaya dan dikelola secara professional. Sedangkan dari segi aspek Baitul Maal dikembangkan untuk kesejahteraan sosial para anggota, terutama dengan menggalakkan zakat, infaq, sadaqah dan wakaf (ZISWA) seiring dengan penguatan kelembagaan bisnis BMT.[7]


2.      Asas dan Landasan BMT
BMT berazaskan Pancasila dan UUD’45 serta berlandaskan syariah Islam, keimanan dan ketaqwaan.[8]

Sedangkan menurut Muhammad Ridwan yakni : BMT berazaskan Pancasila dan UUD’45 serta berdasarkan Prinsip syariah Islam, keimanan, keterpaduan (kaffah), kekeluargaan atau koperasi, kebersamaan, kemandirian dan profesionalisme.[9]

Adapun status dan legalitas hukum, BMT dapat memperoleh status kelembagaan sebagai berikut :
a.       Kelompok swadaya masyarakat yang berada di bawah pengawasan PINBUK berdasarkan Nashkah Kerjasama YINBUK dengan PHBK – Bank Indonesia.
b.      Berdasarkan Hukum Koperasi :
·        Koperasi simpan pinjam syariah (KSP Syariah).
·        Koperasi serba usaha syariah (KSU Syariah) atau Koperasi Unit Desa Syariah (KUD Syariah).
·        Unit Usaha Otonom dari Koperasi seperti KUD, Kopontren atau lainnya.[10]

Dengan demikian keberadaan BMT menjadi organisasi yang sah dan legal. Sebagai lembaga keuangan syariah, BMT harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariah, di dalamnya mengandung keterpaduan sisi sosial dan bisnis, dilakukan secara kekeluargaan dan kebersamaan untuk mencapai sukses kehidupan di dunia dan di akhirat.


3.      Prinsip Operasional BMT
BMT dalam melaksanaan usahanya di dalam praktek kehidupan nyata mengedepankan nilai-nilai spiritual, kebersamaan, mandiri, konsisten. Maka BMT berpegang teguh pada prinsip-prinsip adalah sebagai berikut :
a.    Keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah dan muamalah Islam ke dalam kehidupan nyata.
b.    Keterpaduan (Kaffah) di mana nilai-nilai spiritual berfungsi mengarahkan dan menggerakkan etika dan moral yang dinamis, proaktif, progressif, adil dan berakhlak mulia.
c.    Kekeluargaan atau koperasi.
d.    Kebersamaan.
e.    Kemandirian.
f.      Profesionalisme.
g.    Istiqomah, konsisten, konsekuen, kontinuitas atau berkelanjutan tanpa henti dan tanpa pernah putus asa. Setelah mencapai suatu tahap, maju ke tahap berikutnya : dan hanya kepada Allah kita berharap.[11]

Selain prinsip-prinsip tersebut di atas BMT juga berprinsip muamalat dalam bidang ekonomi yang menjiwai dan memotivasi yakni :
a.     Dalam melakukan segala kegiatan ekonomi.
b.    Dalam bagi hasil keuntungan baik dalam kegiatan usaha maupun dalam kegiatan intern lembaga BMT.
c.     Dalam pembagian sisa hasil usaha dan balas jasa didasarkan atas keterlibatan anggota dalam memajukan BMT.
d.    Dalam mengembangkan sumber daya manusia;
e.     Dalam mengembangkan sistem dan jaringan kerja, kelembagaan dan manajemen.[12]

Prinsip-prinsip tersebut merupakan perilaku lembaga BMT yang menjiwai dalam mengaplikasikan akad-akadnya di dalam praktek kehidupan sehari-harinya. Hal ini telah diuraikan dengan jelas oleh Muhammad Ridwan bahwa prinsip-prinsip BMT adalah sebagai berikut :
a.     Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan mengimplementasikannya pada prinsip-prinsip syari’ah dan muamalah Islam ke dalam kehidupan nyata.
b.    Keterpaduan, yakni nilai-nilai spiritual dan moral menggunakan mengarahkan etika bisnis yang dinamis, proaktif, progressif adil dan berakhlaq mulia. Keterpaduan antara zikir, fikir dan ukir yakni keterpaduan antara sikap, pengetahuan dan ketrampilan.
c.     Kekeluargaan, yakni mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Semua pengelola pada setiap tingkatan, pengurus dan semua lininya serta anggota dibangun atas dasar rasa kekeluargaan, sehingga akan tumbuh rasa saling melindungi dan menanggung (ta’aruf, ta’awun, tasamuh, tausiah dan takafuli).[13]
d.    Kebersamaan yakni kesatuan pola pikir, sikap dan cita-cita antar semua elemen BMT. Antara pengelola dengan pengurus harus memiliki satu visi-misi dan berusaha bersama-sama untuk mewujudkan atau mencapai visi-misi tersebut serta bersama-sama anggota untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial.
e.     Kemandirian, yakni mandiri di atas semua golongan politik. Mandiri berarti juga tidak tergantung dengan dana-dana pinjaman dan bantuan tetapi senantiasa proaktif untuk menggalang dana masyarakat sebanyak-banyaknya.
f.      Profesionalisme, yakni semangat kerja yang tinggi (‘amalussolih),[14] yakni dilandasi dengan dasar keimanan. Kerja yang tidak hanya berorientasi pada kehidupan dunia, tetapi juga kenikmatan dan kepuasan rohani dan akhirat. Kerja keras dan cerdas yang dilandasi dengan bekal pengetahuan yang cukup, ketrampilan yang terus ditingkatkan serta niat dan ghirah yang kuat. Semua itu dikenal dengan kecerdasan emosional, spiritual dan intelektual. Sikap profesionalisme dibangun dengan semangat untuk terus belajar guna mencapai tingkat standar kerja yang tinggi.
g.     Istiqomah ; konsisten, konsekuen, kontinuitas tanpa henti dan tanpa pernah putus asa. Setelah mencapai suatu tahap, maka maju lagi ke tahap berikutnya dan hanya kepada Allah SWT kita berharap.[15]


4.      Penghimpun Dana
Penghimpunan dana adalah kegiatan usaha BMT yang dilakukan dengan kegiatan usaha penyimpanan. Simpanan merupakan dana yang dipercayakan oleh anggota, calon anggota, atau BMT lain dalam bentuk simpanan dan simpanan berjangka.

Yang dimaksud simpanan adalah merupakan simpanan anggota kepada BMT yang penyetoran dan pengambilannya dapat dilakukan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan yang dimaksud simpanan berjangka adalah simpanan BMT yang penyetorannya hanya dilakukan sekali dan pengambilannya hanya dapat dilakukan dalam waktu tertentu menurut perjanjian antara BMT dengan anggotanya.[16]

Adapun pengertian simpanan menurut undang-undang no. 7 tahun 1992 dalam pasal 1(5) yakni ; “Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu”.[17]

Adapun bentuk simpanan yang diselenggarakan oleh BMT berupa simpanan yang terikat dan tidak terikat atas jangka waktu, maka bentuk simpanan di BMT adalah sangat beragam sesuai kebutuhan dan kemudahan yang dimiliki simpanan tersebut.

Dalam PINBUK simpanan tersebut dapat digolongkan ;
a.       Simpanan pokok khusus. Adalah simpanan pendiri kehormatan yaitu anggota yang membayar simpanan pokok khusus minimal 20% dari jumlah modal BMT.
b.      Simpanan pokok. Adalah simpanan yang harus dibayar oleh anggota pendiri dan anggota biasa ketika ia menjadi anggota. Besarnya ditentukan dalam Anggaran Dasar BMT.
c.       Simpanan wajib adalah simpanan yang harus dibayar oleh anggota pendiri dan anggota biasa secara berkala. Besar dan waktu pembayarannya ditentukan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
d.      Simpanan Sukarela
·        Simpanan sukarela adalah simpanan anggota selain simpanan pokok khusus, simpanan pokok dan simpanan wajib.
·        Simpanan sukarela dapat disetor dan ditarik sesuai dengan perjanjian yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga dan aturan khusus BMT.
·        Simpanan sukarela terdiri dari 2 macam akad :
a)      Simpanan sukarela dengan akad dhomanah yaitu simpanan dengan berupa titipan (wadi’ah) anggota pada BMT.
b)      Akad Mudarabah yaitu simpanan bagi hasil di mana si penyimpan mendapat bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh BMT sesuai kesepakatan nisbah bagi hasil dan ikut menanggung kerugian bila BMT mengalami kerugian.
c)      Simpanan sukarela dibedakan menjadi :
1)      Simpanan sukarela biasa yaitu simpanan yang bisa ditarik sewaktu-waktu sesuai aturan yang ditetapkan.
2)      Simpanan sukarela berjangka yaitu simpanan yang hanya bisa ditarik pada waktu yang telah disepakati.[18]

Pada umumnya akad yang mendasari berlakunya simpanan di BMT adalah akad wadi’ah dan mudarabah berdasarkan fatwa Dewan. Syariah Nasional No. 02/DSN - MUI/IV/2000 dan No.03/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 01 April 2000.[19]
a.     Simpanan wadi’ah, ialah titipan dana yang tiap waktu dapat ditarik oleh pemiliknya atau anggota dengan cara mengeluarkan semacam surat berharga, pemindah bukuan atau transfer dan perintah membayar lainnya.[20]
 Simpanan yang berakad wadi’ah ada dua macam :
·    Wadi’ah amanah. Pihak yang menerima titipan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada prinsip sebagai biaya penitipan.
·    Wadi’ah yad damanah. Pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan[21] Dalam hal ini pihak penerima titipan (BMT) mendapat hasil dari pengguna dana. Pihak penerima titipan (BMT) dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus.
b.    Simpanan Mudarabah, ialah simpanan pemilik dana yang penyetorannya dan penarikannya dapat dilakukan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatin sebelumnya. Pada simpanan Mudārabah berdasarkan Nisbah yang disepakati.
c.     Variasi jenis simpanan yang berakad mudarabah ini dapat dikembangkan ke dalam berbagai variasi, misalnya :
Simpanan Idul Fitri, Simpanan Idul Qurban, Simpanan Haji, Simpanan Pendidikan, Simpanan Kesehatan, dll.[22]

Secara garis besarnya simpanan Mudārabah terbagi menjadi dua jenis yakni : Mudārabah mut laqoh dan Mudārabah muqayyadah.[23]
a.     Mudarabah Mutlaqoh
Sahibul maal tidak memberikan batasan-batasan atas dana yang diinvestasikannya mudarib diberi wewenang penuh mengelola dana tersebut tanpa terikat waktu, tempat, jenis usaha dan jenis pelayanannya. Maka aplikasi BMT yang sesuai dengan akad ini adalah tabungan dan deposito.
b.    Mudārabah Muqayyadah
Sahibul maal memberikan batasan atas dana yang diinvestasikannya. Mudarib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai dengan batasan yang diberikan oleh sahibul maal. Misalnya hanya untuk jenis usaha tertentu saja, tempat tertentu, waktu tertentu dan lain-lain.
Maka aplikasi BMT yang sesuai dengan akad ini adalah simpanan khusus. Pengembangan produk simpanan wadi’ah dan Mudārabah tersebut dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing BMT dan selera calon anggota. BMT dapat berinovasi mengembangkan kemasan produk simpanan, sehingga lebih diminati oleh anggota.

Dengan demikian produk simpanan wadi’ah dan Mudārabah tersebut sumber dananya berasal dari anggota dan masyarakat calon anggota dalam bentuk simpanan, deposito maupun bentuk-bentuk hutang yang lain, menggalang kerja sama dengan bank syariah maupun antar BMT sendiri.


5.      Produk Pembiayaan BMT
Pembiayaan merupakan aktivitas utama BMT, karena berhubungan dengan rencana memperoleh pendapatan.
Pembiayaan adalah suatu fasilitas yang diberikan BMT kepada anggotanya untuk menggunakan dana yang telah dikumpulkan oleh BMT dari anggotanya. [24]
Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1992, yang dimaksud pembiayaan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 (12) adalah: Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang dan tagihan tersebut. Setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.[25]
Pembiayaan dalam BMT adalah menganut prinsip Syari’ah, yang dimaksud prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara pihak BMT atau pihak bank dan pihak lain untuk pembiayaan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.
Dalam PINBUK pembiayaan adalah dana yang ditempatkan BMT kepada anggotanya untuk membiayai kegiatan usahanya atas dasar jual beli dan perkongsian (syirkah).

Adapun jual beli dapat dilakukan dengan akad :
a.       al Bai’u Bitsaman Ajil (BBA) yaitu pembiayaan akad jual beli dengan pembayaran kembali (harga pokok dan keuntungan) secara angsuran.
b.      al-Murabahah (MBA) yaitu pembiayaan akad jual beli dengan pembayaran kembali (harga pokok dan keuntungan) setelah jatuh tempo.

Sedangkan perkongsian (syirkah)_ dapat dilakukan dengan akad :
a.       al-Musyarakah (MSA) adalah pembiayaan akad kerja sama (syirkah) di mana BMT dan anggota membiayai usaha dengan penyertaan manajemen BMT di dalamnya.
b.      al-Mudarabah (MDA) adalah pembiayaan akad kerjasama (syirkah) di mana BMT dan anggota membiayai usaha tanpa penyertaan manajemen BMT di dalamnya.[26]

Sedangkan menurut Muhammad, ada berbagai jenis pembiayaan yang dikembangkan oleh BMT, yang kesemuanya itu mengacu pada dua jenis akad yakni: Akad Syirkah dan akad jual beli.
Dari kedua akad ini dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang dikehendaki oleh BMT dan anggotanya dan semuanya itu mengacu pada fatwa Dewan Syarikh Nasional (DSN) sebagai pedoman. Diantara pembiayaan yang sudah umum dikembangkan oleh BMT, yakni :
a.       Pembiayaan Bai’u bitsaman Ajil (BBA) pembiayaan berakad jual beli. Adalah suatu perjanjian pembiayaan yang disepakati antara BMT dengan anggotanya, di mana BMT menyediakan dananya untuk sebuah investasi dan atau pembelian barang modal dan usaha anggotanya yang kemudian proses pembayarannya dilakukan secara angsuran. Jumlah kewajiban yang harus dibayarkan oleh peminjam adalah jumlah atas harga barang modal dan mark-up yang disepakati.
b.      Pembiayaan murabahah (MBA). Pembiayaan berakad jual beli yang mana prinsip yang digunakan sama seperti pembiayaan Bai’u Bitsaman Ajil, hanya saja proses pengembaliannya dibayarkan pada saat jatuh tempo.
c.       Pembiayaan Mudārabah (MBA). Pembiayaan dengan akad Syirkah adalah perjanjian pembiayaan antara BMT dan anggota di mana BMT menyediakan dana untuk penyediaan modal kerja sedangkan peminjam berupaya mengelola dana tersebut untuk pengembangan usahanya.
d.      Pembiayaan Musyarakah (MSA). Pembiayaan dengan akad Syirkah. Adalah penyertaan BMT sebagai pemilik modal dalam suatu usaha yang mana antara resiko dan keuntungan ditanggung bersama secara berimbang dengan porsi penyertaan.
e.       Pembiayaan al-Qordul Hasan. Pembiayaan dengan akad ibadah. Adalah perjanjian pembiayaan antara BMT dengan anggotanya. Hanya anggota yang dianggap layak yang dapat diberi pinjaman ini.[27]

Secara umum produk pembiayaan yang berlaku di BMT dibagi menjadi empat prinsip adalah sebagai berikut :
a.       Prinsip Bagi Hasil
Pada dasarnya bagi hasil merupakan produk inti bagi BMT, karena mengandung keadilan ekonomi dan sosial. Dengan bagi hasil BMT akan turut menanggung hasil keuntungan maupun rugi terhadap usaha yang dibiayainya. Setelah terjadi akad pembiayaan tersebut, BMT masih punya tanggung jawab lainnya. Jika dilihat dari sisi administratif sistem ini memang terasa rumit dan sulit, tetapi dari sisi keadilan bagi hasil menjadi sangat penting.
Sistem bagi hasil dalam BMT dapat diterapkan dengan empat model yakni: Mudārabah, musyarakah, muzara’ah-mukhabarah (sektor pertanian), musaqah (sektor perkebunan).
b.      Prinsip Jual Beli
Produk ini dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar yang mungkin tidak bisa dimasukkan dalam akad bagi hasil. Pada umumnya dalam BMT akad jual beli yang sering dipakai ada tiga akad yakni : Bai’ Al Murabahah, bai’al Salam, Bai’al Istishna’.
c.       Prinsip Sewa
Yang dimaksud sewa adalah pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan perpindahan kepemilikan barang.
Pada umumnya di BMT akad ijarah atau sewa dikembangkan ke dalam bentuk akad ijarah Muntahiya bit Tamlik yakni akad sewa yang diakhiri dengan jual beli.
d.      Prinsip Jasa
Produk layanan jasa ini bagi BMT juga bersifat pelengkap terhadap berbagai layanan yang ada. Adapun pengembangan produk jasa layanan tersebut meliputi :
·        Al wakalah yakni, berarti wakil atau pendelegasian untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu.
·        Al Kafalah yakni pengalihan tanggung jawab dari satu orang kepada orang lain.
·        Al Hawalah yakni akad pengalihan hutang dari seseorang kepada orang lain yang sanggup menanggungnya.
·        Ar-Rahn. Ialah merupakan akad untuk menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
·        Al qard. Merupakan bagian dari transaksi ta’awuni atau tolong menolong dan bukan komersial.
·        Sumber dana al-qard dapat dibedakan menjadi dua :
1)      Dana yang berasal dari penyisihan modal BMT. Dana ini hanya digunakan untuk pembiayaan sosial.
2)      Dana yang berasal dari zakat, infaq dan sadaqah.[28]

Dari uraian di atas pembiayaan berdasarkan prinsip syariah ialah kegiatan yang berupa penyediaan dana berupa uang dan barang dari pihak BMT kepada nasabah sesuai kesepakatan, yang mewajibkan pihak yang menerima dana untuk mengembalikan uang setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil, yang didasari prinsip syariah yaitu prinsip mudarabah, musyarakah, murabahah dan ijarah.


[1] Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, Konsentrasi Hukum Bisnis Syari’ah (Get From Internet – Pdf Document)
[2] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta : UII Press, 2004), hal : 126.
[3] Majelis Ekonomi Pimpinan Pusat Muhammadiyah Pusat Pengembangan Usaha Kecil dan Kewirausahaan (PPUK) Muhammadiyah, Pedoman Cara Pendirian BTM dan BMT di Lingkungan Muhammdiyah, Cet I (Jakarta : tnp, 2002), hal. 1-5.
[4] Gita Danupranata, Ekonomi Islam, (Yogyakarta : UPFE-UMY, 2006), hal. 56.
[5] M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, Cet I ( Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2006), hal. 75.
[6] PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil), Peraturan Dasar dan Contoh AD – ART BMT. (Jakarta : Nusantara. Net. Id. Tt). Hal. 1.
[7] PINBUK, Pedoman Cara Pembentukan BMT, Cet. II (Jakarta : Wasantara. Net. Id, tt), hal. 2
[8] PINBUK, Peraturan Dasar. hal. 2
[9] Muhammd Ridwan, Sistem dan Prosedur Pendirian Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Cet. I (Yogyakarta : Citra Media, 2006), hal. 6. PINBUK, Pedoman., hal. 2
[10] PINBUK, Peraturan Dasar, hal. 4
[11] PINBUK, Pedoman., hal. 3
[12] Ibid.
[13] Ta’aruf : Saling Mengenal, Ta’awun : saling menolong, tasamuh : saling menghormati-menghargai, tausiah : saling menasehati-mengingatkan, takafuli - saling menanggung.
[14] Amal soleh tidak saja diartikan sebagai bentuk ibadah khusus tetapi dipahami secara umum termasuk berkarya atau kinerja yang tinggi, selama dilandasi dengan niat karena Allah SWT.
[15] Muhammad Ridwan, Sistem dan Prosedur., hal. 7
[16] Ibid., hal. 106
[17] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Dalam Lampiran, Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Undang-undang Republik Indonesia No. 10 tahun 1998 tanggal 10 November 1998), Edisi VI, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2005), hal. 396
[18] PINBUK, Peraturan Dasar., hal. 15
[19] Kerjasama Dewan Syariah Nasional MUI – Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Ed. Revisi, cet. III (Cipayung Ciputat : CV Gaung Persada, 2006) hal. 8, 14.
[20] Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, cet. I (Yogyakarta : UII Press, 2000). Hal. 118
[21] Muhamamd Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, cet. 1 (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), hal. 150.
[22] Muhamad, Lembaga-lembaga Keuangan., hal. 118
[23] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah., hal. 150.
[24] Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan., hal. 119
[25] Kasmir, Bank Dan., hal. 397.
[26] PINBUK, Peraturan Dasar., hal. 16
[27] Muhammad, Lembaga-lembaga., hal. 120.
[28] Muhammad Ridwan, Sistem dan Prosedur., hal. 41

Bagian Ke-2: AKAD-AKAD DALAM FIQIH MUAMALAH



A.     Unsur-unsur yang membentuk akad
Di dalam pembahasan ini hanya mengenai Rukun dan syarat akad, adalah sebagai berikut:
Di dalam Fiqih muamalah untuk terbentuknya akad yang sah dan mengikat harus dipenuhi rukun-rukun akad dan syarat-syarat akad.
Dengan penjelasan sebagai berikut:
1.      Rukun-rukun Akad
Unsur-unsur akad sama maksudnya dengan rukun-rukun akad. Rukun dimaksudkan unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang menjadi bagian-bagian yang membentuknya.
Terbentuknya akad karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang membentuknya. Menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad ada empat yakni :
·        Para pihak yang membuat akad
·        Pernyataan kehendak dari para pihak, c). obyek akad, d). tujuan akad.[1]
Tujuan akad tersebut adalah tambahan ahli-ahli hukum Islam modern yang merupakan hasil ijtihad ahli-ahli hukum kontemporer dengan melakukan penelitian induktif dengan disyaratkan tidak bertentangan dengan syarak.[2]
2.      Syarat-syarat akad
Syarat-syarat akad dibagi menjadi empat macam yakni:
·        Syarat-syarat terbentuknya akad.
Tiap-tiap rukun pembentukan akad tersebut di atas diperlukan syarat-syarat agar dapat berfungsi membentuk akad. Dalam arti tanpa adanya syarat-syarat akad maka rukun-rukun akad tidak dapat membentuk akad. Rukun pertama, yaitu para pihak yang membuat akad harus memenuhi dua syarat yakni : (1). Tamyiz, dan (2). Berbilang pihak. Rukun yang kedua yakni, pernyataan kehendak, harus memenuhi dua syarat ialah (1). Adanya persesuaian ijab dan kabul dalam arti tercapainya kata sepakat dan (2). Kesatuan majelis akad. Rukun ketiga yakni obyek akad, harus memenuhi tiga syarat yakni (1). Obyek itu dapat diserahkan, (2). Tertentu atau dapat ditentukan, dan (3). Obyek itu dapat ditransaksikan (bernilai dan dimiliki). Rukun keempat yakni tujuan akad, syaratnya tujuan akad itu harus sesuai dengan syariah atau tidak bertentangan dengan syariah.
Syarat-syarat yang terkait dengan rukun akad tersebut, menurut pandangan ahli-ahli hukum Islam disebut syarat terbentuknya akad. Yang jumlahnya yakni :
1). Kecakapan minimal (tamyiz), 2). Berbilang pihak, 3). Persesuaian ijab dan qabul, 4). Kesatuan majelis akad, 5). Obyek akad dapat diserahkan, 6). Obyek akad tertentu atau dapat ditentukan, 7). Obyek akad dapat ditransaksikan (berupa benda bernilai dan dimiliki), 8). Tidak bertentangan dengan syariah.[3]
Rukun-rukun dan syarat-syarat yang tersebut di atas dinamakan pokok. Apabila pokok ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi akad dalam arti tidak memiliki wujud yuridis syar’i atau disebut akad batil.

·        Syarat-syarat keabsahan akad.
Dengan dipenuhi rukun dan syarat terbetuknya akad, memang sudah mempunyai wujud yuridis syar’i namun belum serta merta sah. Untuk sahnya suatu akad, maka rukun dan syarat tersebut masih memerlukan sifat-sifat tambahan sebagai unsur penyempurna.
Rukun pertama, yakni para pihak, dengan dua syaratnya, yaitu tamyiz dan berbilang pihak, tidak memerlukan sifat penyempurna.
Rukun kedua, yakni pernyataan kehendak dengan dua syarat yaitu syarat kesatuan majelis akad tidak memerlukan unsur penyempurna, sedangkan syarat kesesuaian ijab dan Kabul, memerlukan syarat penyempurna, yakni bahwa kesesuaian ijab dan Kabul itu dicapai secara bebas tanpa paksaan. Apabila tercapainya kesepakatan itu karena paksaan, maka akad menjadi fasid. Oleh karena itu bebas dari paksaan adalah syarat keabsahan akad.
Rukun ketiga, yakni obyek, dengan tiga syaratnya, memerlukan unsur penyempurna syarat “dapat diserahkan” hal ini memerlukan sifat-sifat yakni bahwa penyerahan itu tidak menimbulkan kerugian (darar) dan apabila menimbulkan kerugian, maka akadnya fasid. Mengenai syarat “obyek harus tertentu” memerlukan sifat-sifat penyempurna, yaitu tidak boleh mengandung garar, dan apabila mengandung garar akadnya menjadi fasid. Dan syarat obyek harus dapat ditransaksikan memerlukan unsur penyempurna dengan sifat tambahan, yaitu bebas dari fasid dan riba. [4]
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui ada lima sebab-sebab yang menjadikan fasid suatu akad yangtelah terpenuhi rukun dan syarat terbentuknya, yakni : 1) Paksaan, 2). Penyerahan yang menimbulkan kerugian, 3). Garar, 4). Syarat-syarat fasid, dan 5) Riba. Oleh karena itu sempurnanya rukun dan syarat terbentuknya akad, bila bebas dari kelima faktor sifat-sifat tersebut maka dinamakan syarat keabsahan akad.[5]
Jadi akad yang telah memenuhi rukun-rukunnya, syarat-syarat terbentuknya dan syarat-syarat keabsahannya dinyatakan sebagai akad yang sah. Apabila syarat-syarat keabsahan yang lima itu tidak terpenuhi, meskipun rukun dan syarat terbentuknya terpenuhi, maka akad tidak sah.

·        Syarat-syarat berlakunya akibat hukum akad.
Suatu akad dinyatakan sah yakni telah terpenuhi rukun-rukunnya, syarat-syarat terbentuknya dan syarat-syarat keabsahannya, namun ada kemungkinan akibat-akibat hukum akad tersebut belum dapat dilaksanakan. Bila kemungkinan ini terjadi disebut akad mauquf (terhenti atau tergantung).
Agar dapat dilaksanakan akibat hukumnya akad yang sudah sah itu harus ada dua syarat yang mempertautkan ketiga rukun akad yakni : 1). Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan, dan 2). Adanya kewenangan para pihak atas obyek akad.
Kewenangan atas tindakan hukum terpenuhi bila telah mencapai tingkat kecakapan bertindak hukum yang dibutuhkan bagi tindakan hukum yang dilakukannya. Ada kalanya tindakan hukum yang hanya memerlukan tingkat kecakapan bertindak hukum minimal yaitu Tamyiz. Ada tindakan hukum yang memerlukan kecakapan bertindak hukum sempurna yaitu kedewasaan. Bagi anak mumayyis (remaja usia tujuh tahun hingga menjelang dewasa) untuk melakukan akad timbal balik belum cukup kewenangannya meskipun tindakannya sah. Tetapi akibat hukumnya belum dapat dilaksanakan karena masih tergantung kepada izin wali karena itu akadnya disebut akad mauquf apabila walinya kemudian mengizinkan, tindakan hukumya dapat dilaksanakan akibat-akibat hukumnya, dan apabila wali tidak mengizinkan akadnya harus dibatalkan.
Kewenangan para pihak atas obyek akad, kewenangan atas obyek dapat terpenuhi bila para pihak mempunyai kepemilikan atas obyek yangbersangkutan, atau mendapat perwakilan dari para pemilik dan pada obyek tersebut tidak tersangkut hak orang lain. Seperti penjual yang menjual barang milik orang lain, adalah sah tindakannya, akan tetapi akibat hukum tindakan itu tidak dapat dilaksanakan karena akadnya mauquf, yaitu tergantung pada izin pemilik barang. Bila tidak diizinkan akadnya harus batal. [6]
Dari apa yang dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa akad yang sah, dapat dibedakan menjadi dua macam yakni:
-          Akad Maukuf, yakni akad yang sah, tetapi belum dapat dilaksanakan akibat hukumnya.
-          Akad Nafiz, yaitu akad yang sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya.

·        Syarat-syarat mengikatnya akad.
Bahwa akad yang sah dan nafiz (dapat dilaksanakan akibat hukumnya) adalah mengikat bagi para pihak dan tidak boleh salah satu pihak menarik kembali persetujuannya secara sepihak tanpa kesepakatan pihak lain. Namun ada beberapa akad yang menyimpang dari asas ini dan tidak serta merta mengikat. Hal ini disebabkan oleh sifat akad itu sendiri atau oleh adanya hak-hak khiyar (hak opsi untuk meneruskan atau membatalkan perjanjian secara sepihak). Akad ini mengikat apabila di dalamnya tidak lagi ada hak khiyar.[7]


B.     Kedudukan Akad dalam Fiqih Muamalah
Di dalam pembahasan ini meliputi, akad sebagai perbuatan hukum, sah dan batalnya akad, cacat dalam akad dengan uraian sebagai berikut:
1.      Akad Sebagai Perbuatan Hukum
Akad sebagai perbuatan hukum atau tindakan hukum dapat dilihat dari definisi-definisi akad atau kontrak diantaranya :
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikemukakan bahwa akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan.[8]
Yang dimaksud dengan “yang sesuai dengan kehendak syariat” adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh apabila tidak sejalan dengan kehendak syarak. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan Kabul).
Selanjutnya definisi akad yang dikutip oleh Symasul Anwar yakni, “Pertemuan ijab (penawaran) yang datang dari salah satu pihak dengan Qabul (akseptasi) yang diberikan oleh pihak lain secara sah menurut hukum yang tampak akibatnya pada obyek akad.” [9]
Definisi di atas menggambarkan bahwa akad dalam hukum Islam merupakan suatu tindakan hukum yang berdasarkan kehendak murni dan bebas dari paksaan. Hanya saja akad haruslah merupakan tindakan hukum berdasarkan kehendak dari dua pihak yang saling bertemu.
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk yaitu; Tindakan berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan kemudian tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua yaitu yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad.
Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terjadi bila dua atau beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi dua macam yakni : a). Yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan atau melimpahkan hak, membatalkannya atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah dan talak. Akad seperti ini tidak memerlukan qabul. b). Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau yang menggugurkan suatu hak, tetapi perkataan itu memunculkan tindakan hukum seperti gugatan di pengadilan, pengakuan di depan sidang.
Berdasarkan pembagian tindakan hukum tersebut di atas maka dapat dikemukakan bahwa suatu tindakan hukum lebih umum dari akad dan oleh karena itu setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari dua atau beberapa pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad. [10]
Menurut Taufiq dalam uraiannya sama dengan Az Zarqa tersebut, yakni Tindakan hukum (tasharruf) adalah semua yang timbul dari seseorang yang berasal kehendaknya, baik berupa perbuatan, maupun perkataan yang mempunyai akibat hukum. [11]
Dari definisi tersebut dengan jelas tindakan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni :
·        Tindakan hukum yang berupa perbuatan, seperti menguasai barang-barang yang halal, menggunakan barang bukan miliknya secara melawan hukum, menerima pembayaran hutang, menerima barang yang dijual dan lain-lain.
·        Tindakan hukum yang berupa perkataan dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
-          Yang berupa akad yaitu kesepakatan antara dua kehendak, seperti berkongsi dan jual beli.
-          Yang berupa bukan akad, yaitu yang berupa pemberian informasi tentang adanya hak seperti gugatan dan pengakuan, dapat dimaksud untuk menimbulkan atau mengakhirinya, seperti wakaf, talak dan pembebasan kewajiban.
Dari uraian tersebut dimuka bahwa tindakan hukum lebih luas daripada akad dan perikatan sebab tindakan hukum mencakup perbuatan, mencakup perkataan dan juga mengikat dan tidak mengikat. Oleh karena akad merupakan bagian dari tindakan hukum, tindakan yang berupa perkataan tertentu, maka yang lebih khusus tunduk kepada pengertian umum, tidak sebaliknya. Maka setiap akad adalah tindakan hukum dan tidak sebaliknya.
Ijab dan qabul, tidak hanya berbentuk ucapan (lisan) tetapi bisa dengan Kitabah, Isyarah, perbuatan dan ta’athi (beri memberi). [12]
Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat difahami, bahwa akad sebagi perbuatan hukum. Setiap akad adalah tindakan hukum, tetapi setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad.

2.      Sah dan Batalnya Akad
Akad menjadi sah jika rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut dipenuhi dan tidak sah apabila rukun dan syarat tersebut tidak dipenuhi. Namun berhubung syarat-syarat akad itu bermacam-macam jenisnya. Maka keabsahan dan kebatalan akad, menjadi bertingkat-tingkat, hanya sejauh mana rukun dan syarat-syarat itu dipenuhi.
Dalam Mazhab Hanafi tingkat kebatalan dan keabsahan dibagi menjadi lima tingkat yang sekaligus menggambarkan urutan akad dari yang paling tidak sah hingga sampai yang paling tinggi tingkat keabsahannya yakni :[13]
·        Akad batil.
·        Akad fasid
·        Akad maukuf
·        Akad nafiz gair lazim, dan
·        Akad nafiz lazim.
Menurut Jumhur Ulama fasid semakna dengan batil, tidak membedakan keduanya yakni sama-sama satu bingkai, sama-sama akad yang batal tidak menimbulkan konsekuensi apapun. [14]
Dari akad dalam beragam tingkat kebatalan dan keabsahan tersebut di atas dibagi menjadi dua golongan pokok yakni: 1). Akad yang tidak sah yaitu terdiri akad batal dan akad fasid, 2). Akad yang sah ada tiga tingkatan yakni akad maukuf, akad nafiz gair lazim, dan akad nafiz lazim.
Dalam pembahasan berikut ini hanya empat peringkat akad yang belum mencapai tingkat akad sempurna di dalam rukun dan syaratnya, tidak termasuk akad nafiz lazim adalah sebagai berikut :
·        Akad Batil
Akad batal apabila terjadi pada orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat kecakapan atau obyeknya tidak menerima hukum akad hingga pada akad itu terdapat hal-hal yang menjadikannya dilarang syarak. [15]
Menurut Adiwarman A. Karim, akad batal, bila rukun-rukun akad tidak terpenuhi (baik satu rukun atau lebih), maka akad menjadi batal. [16]
Menurut Gemala Dewi, akad batal yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syarak.[17] Misalnya obyek jual beli tidak jelas.
Ahli-ahli hukum Hanafi mendefinisikan akad batil yakni akad yang secara syarak tidak syah pokok dan sifatnya[18] yang dimaksud adalah akad yang tidak memenuhi seluruh rukun dan syarat pembentukannya akad, apabila salah satu saja dari rukun dan syarat pembentukannya akad tidak terpenuhi, maka akad itu disebut batal.
Hukum akad batil, bahwa dipandang tidak pernah terjadi menurut hukum oleh karenanya tidak mempunyai akibat hukum sama sekali.

·        Akad Fasid
Akad Fasid yakni, bila rukun sudah terpenuhi tetapi syarat tidak terpenuhi, maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi fasid.[19]
Menurut Gemala Dewi akad Fasid adalah akad yang pada dasarnya disyari’atkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas.[20]
Menurut ahli-ahli hukum Hanafi, akad fasid adalah, ”akad yang menurut syarak sah pokoknya, tetapi tidak sah sifatnya”.[21]
Yang dimaksud pokok, adalah rukun-rukun dan syarat-syarat keabsahan akad, jadi akad fasid adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat pembentukan akad, akan tetapi tidak memenuhi syarat keabsahan akad.
Hukum akad fasid, menurut Jumhur ulama, tidak membedakan antara akad batil dan akad fasid, keduanya sama-sama akad yang tidak ada wujudnya, yaitu sama-sama tidak sah karena akad tersebut tidak memenuhi ketentuan undang-undang syarak.
Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, membedakan akad batil dan akad fasid kalau akad batil sama sekali tidak ada wujudnya, tidak pernah terbentuk, sedangkan akad fasid telah terbentuk dan telah memiliki wujud syar’i hanya saja terjadi kerusakan pada sifat-sifatnya.
Hukum akad fasid menurut Mazhab Hanafi bila belum dilaksanakan wajib dibatalkan oleh para pihak maupun oleh Hakim. Bila sudah dilaksanakan akad mempunyai akibat hukum tertentu dapat memindahkan hak milik, tetapi tidak sempurna.[22]
·        Akad Maukuf
Akad Maukuf ialah akad yang terjadi dari orang yang memenuhi syarat kecakapan, tetapi tidak mempunyai kekuasaan melakukan akad.[23]
Akad Mauquf hanya mempunyai akibat hukum apabila mendapat izin secara sah dari orang yang mempunyai kekuasaan melakukan akad.
Sebab-sebab akad menjadi Maukuf ada dua yakni :
-          Tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan hukum yang dilakukan dengan kata lain kekurangan kecakapan. Orang-orang tersebut yakni : a). Remaja yang mumayyiz, b). Orang yang sakit ingatan tetapi tidak mencapai gila, c). Orang pandir yang memboroskan harta, d). Orang yang mempunyai cacat kehendak karena paksaan.
-          Tidak adanya kewenangan yang cukup atas obyek akad karena adanya hak orang lain pada obyek tersebut. Yang meliputi : a) Akad fuduli (pelaku tanpa kewenangan). b) Akad orang sakit mati yang membuat wasiat lebih dari sepertiga hartanya. c) Akad orang di bawah pengapuan. d) Akad penggadai yang menjual barang yang sedang digadaikannya. e) Akad penjualan oleh pemilik terhadap benda miliknya yang sedang disewakan. [24]
Hukum akad maukuf adalah sah, hanya saja akibat hukumnya digantungkan artinya hukumnya masih ditangguhkan hingga akad itu dibenarkan atau dibatalkan oleh pihak yang berhak untuk memberikan pembenaran atau pembatalan tersebut.

·        Akad Nafiz Gair Lazim
Akad Nafiz Gair lazim ialah akad Nafiz yang mungkin difasakh oleh masing-masing pihak, atau hanya oleh salah satu pihak yang mengadakan akad tanpa memerlukan persetujuan pihak lain. [25]
Hukum Akad Nafiz gair lazim adalah sah, akan tetapi terdapat beberapa macam akad yang karena sifat aslinya terbuka untuk di fasakh secara sepihak. Seperti akad pemberian kuasa, hibah, penitipan, pinjam pakai, gadai, penanggungan dan akad yang salah satu pihak mempunyai hak khiyar.

3.      Cacat dalam Akad
Tidak setiap akad (kontrak) mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus dilaksanakan. Namun ada kontrak-kontrak tertentu yang mungkin menerima pembatalan, hal ini karena disebabkan adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridaan (kerelaan) atau kehendak sebagian pihak. Adapun faktor-faktor yang merusak ketulusan atau keridaan seseorang adalah sebagai berikut :
·        Paksaan / Intimidasi (Ikrah)
Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan. [26]
Suatu kontrak dianggap dilakukan di bawah intimidasi atau paksaan bila terdapat hal-hal seperti, yaitu :
-          Pihak yang memaksa mampu melaksanakan ancamannya.
-          Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan terhadapnya.
-          Ancaman itu ditujukan kepada dirinya atau keluarganya terdekat.
-          Orang yang diancam itu tidak punya kesempatan dan kemampuan untuk melindungi dirinya.
Kalau salah satu dari hal-hal tersebut tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, sehingga tidak berpengaruh sama sekali terhadap kontrak yang dilakukan. [27]
Menurut Ahmad Azhar Basyir, bila akad dilaksanakan ada unsur paksaan, mengakibatkan akad yang dilakukan menjadi tidak sah dan menurut Abdul Manan, bila kontrak atau akad dibuat dengan cara paksa diianggap cacat hukum dan dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan. [28]
·        Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath)
Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal :
-          Pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin itu terbuat dari tembaga.
-          Pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warna abu-abu.
Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan. [29]
·        Penyamaran Harga Barang (Ghubn)
Ghubun secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara obyek akad (barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga sesungguhnya. [30]
Di kalangan ahli fiqh ghubn ada dua macam yakni :
-          Penyamaran ringan. Penyamaran ringan ini tidak berpengaruh pada akad.
-          Penyamaran berat yakni penyamaran harga yang berat, bukan saja mengurangi keridaan tapi bahkan melenyapkan keridaan. Maka kontrak penyamaran berat ini adalah batil.
·        Penipuan (al-Khilabah)
Penipuan yaitu menyembunyikan cacat pada obyek akad agar tampil tidak seperti yang sebenarnya. Maka pihak yang merasa tertipu berhak fasakh.
·        Penyesatan (al-Taqrir)
           Menggunakan rekayasa yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan akad yang disangkanya   menguntungkannya tetapi sebenarnya tidak menguntungkannya. Taqrir tidak mengakibatkan tidak sahnya akad, tetapi pihak korban dapat mengajukan fasakh. [31]


[1] Syamsul Anwar, ”Hukum Perjanjian Syariah”., hal. 12
[2] Ibid.
[3] ibid., hal. 13
[4] ibid., hal. 15
[5] ibid.
[6] ibid., hal. 17
[7] ibid
[8] Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal 63, artikel “Akad”.
[9] Syamsul Anwar, “HukumPerjanjian Syariah”., hal. 7.
[10] Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi., hal. 63
[11] Taufiq, “Nadhariyyatu al-Uqud al-Syar’iyyah”. , hal. 100.
[12] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah., hal. 25. Asmuni. “Akad Dalam Prespektif.” hal. 6
[13] Syamsul Anwar,”Hukum Perjanjian Syariah”., hal. 21.
[14] Asmuni, “Akad Dalam Prespektif.”, hal. 10.
[15] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas., hal. 114.
[16] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Cet. III. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 47.
[17] Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan., hal. 147.
[18] Syamsul Anwar, ”Hukum Perjanjian Syariah.”, hal. 37.
[19] Adiwarman A. Karim, Bank Islam., hal. 47.
[20] Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan., hal. 147
[21] Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Syariah.” hal 24
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Syariah.”, hal 28
[25] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas., hal. 119
[26] Nur Kholis, “Modul Transaksi Dalam Ekonomi Islam”, (Yogyakarta : tnp., 2006), hal. 27
[27] Ibid.
[28] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas., hal. 101. Abdul Manan, “Hukum Kontrak.” hal. 44
[29] ibid.
[30] Nur Kholis, “Modul”., hal. 28
[31] Taufiq, Nadhariyyatu Al-Uqud., hal. 110