Rabu, 30 November 2011

Bagi Hasil Gaduh Hewan Kambing Dalam Perspektif Ekonomi Islam (Lokasi Penelitian disamarkan)


Nara Sumber Oleh: Hidayat Darussalam[1]
Download This File :
By Ziddu - here (Word)
By Mediafire - here (Pdf)
Arabic Word Tool ( Must installed ) - here
Klik aja SKIP-AD / LEWATI setelah 5 detik, trims....

A. Latar Belakang Masalah

Peternakan merupakan salah satu profesi yang lazim dilakukan oleh masyarakat pedesaan bahkan masyarakat kota sekalipun baik dikelola sendiri maupun dipercayakan kepada orang lain dengan perjanjian membagi dari hasil keuntungan yang diperoleh, akan tetapi yang perlu dipertanyakan adalah apakah sistem dalam menjalankan proses peternakan dan cara membagi hasil keuntungan tersebut sudah memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Syari’ah Islam.

Karena permasalahan yang diteliti merupakan masalahan yang biasa terjadi dilapangan, maka desa merupakan tempat yang sangat cocok untuk dijadikan objek observasi, desa yang dijadikan objek observasi adalah desa X Kecamatan X, sebab desa tersebut memiliki latar belakang masalah yang sangat menarik yaitu cara melakukan bagi hasil dalam pemeliharaan kembing yang dilakukan secara adat istiadat dan telah berlangsung cukup lama dan daerah tersebut merupakan daerah temapt penulis berdomisli.

Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan didesa tersebut, penulis memperoleh data bahwa kurang lebih 60% (enam puluh persen) penduduk desa X melakukan praktek gaduh atau bagi hasil pemeliharaan kambing yang dilakukan secara adat atau tradisional sebagai salah satu sumber penghasilan.

Dalam aplikasinya ternyata sistem dan cara yang digunakan untuk membagi hasil kambing gaduhan sangatlah menarik untuk di bahas lebih lanjut, sebab dalam aplikasinya mereka tidak membayarnya dengan uang dari hasil penjualan kambing tersebut, atau uang dari pemilik kambing sebagai upah dan keuntungan yang disepakati, melainkan mereka membaginya dalam bentuk kambing dengan perhitungan sebagai berikut : satu ekor kambing betina dan satu ekor kambing jantan yang dipercayakan pemiliknya kepada orang lain untuk dirawat dengan perjanjian bila kambing tersebut melahirkan yang pertama, maka anak kambing tersebut seluruhnya milik orang yang merawat dan memeliharanya, dengan kata lain pemilik kambing tidak memperoleh apa-apa selama kurun waktu tersebut.

Setelah kambing tersebut melahirkan untuk yang kedua kalinya maka anak kembing tersebut dibagi dua yaitu yang jantan milik orang yang merawat dan memelihara kambing tersebut dan yang betina milik orang yang mempercayakan kambingnya untuk dirawat orang lain, dan begitu seterusnya untuk kambing yang baru pertama kali melahirkan maka seluruh anaknya milik orang yang merawat kambing tersebut. Dan apabila terjadi kerugian atau ada kambing yang mati dan itu bagian milik orang yang mempercayakan kambingnya kepada orang lain, maka kerugian tersebut ditanggung sendiri oleh pemilik kambing atau pemilik modal.

Dari permasalahan diatas dalam penelitian ini mencoba meninjau aplikasi system bagi hasil hewan kambing pada desa X Kecamatan X dipandang dalam hukum ekonomi Islam. Dalam penelitian ini data yang penulis peroleh melalui dua cara, yaitu wawancara dan observasi serta literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.



B. PEMBAHASAN

Dalam Islam akad bagi hasil gaduh kambing tersebut dikenal sebagai akad mudharabah yang termasuk salah satu bentuk akad Syirkah atau perkongsian, istilah mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah Qiradh. Dengan demikian mudharabah dan Qiradh merupakan dua istilah untuk maksud yang sama.[2]

Menurut bahasa, Qiradh berarti potongan, sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan hartanya tersebut, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Bisa juga diambil dari kata Muqharaddah yang berarti kesamaan, sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba[3].

Orang Irak menyebutnya dengan istilah Mudharabah sebab setiap yang melakukan akad memiliki bagian dari laba, atau pengusaha harus mengadakan perjalanan dalam mengusahakan harta modal tersebut. Sedangkan mudharabah menurut istilah adalah pemilik harta atau modal menyerahkan modal kepada pengusaha untuk berdagang dengan modal tersebut, dan laba dibagi antara keduanya berdasarkan persyaratan yang disepakati.

Apabila rugi, hal itu ditanggung oleh pemilik modal, dengan kata lain, pekerja tidak bertanggung jawab atas kerugiannya. Kerugian pengusaha hanyalah dari segi kesungguhan dan pekerjaannya yang tidak akan mendapatkan imbalan jika rugi, dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa modal dapat berupa barang yang tidak dapat dibayarkan seperti rumah.

Akad mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (Malik, shahibul maal) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (amil, mudharib) yang bertindak sebagai pengelola dana dan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal kecuali pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.

Ulama’ fiqih sepakat[4] bahwa Mudharabah disyaratkan dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Salah satu ayat yang berkenaan dengan mudharabah adalah firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Muzzammil ayat 20, sebagai berikut :

Terjemahan :“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.”

Berkaitan dengan mudharabah juga terdapat dalam hadits Rasulllah Saw. Dianatara hadits hadits yang berkaitan dengan Mudharabah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib bahwa Nabi Muhammad SAW, bersabda;

Terjemahan:
”Artinya: tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual-beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjual-belikan.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib)[5]

Hukum mudharabah dalam pandangan sahabat adalah Jaiz (boleh) dengan Ijma'. Rasulullah SAW. pernah melakukan mudharabah dengan Khadijah, dengan modal daripadanya (Khadijah). Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan. Hal ini terjadi sebelum beliau diangkat menjadi Rasul, pada zaman Jahiliyah, mudharabah telah ada dan setelah datang Agama Islam, mengakuinya[6].

Dari hasil observasi dan data yang penulis peroleh pada desa tersebut  penulis mendapati bahwa 100% (seratus persen) masyarakat desa X Kecamatan X pemeluk agama Islam, akan tetapi dalam melakukan aplikasi bagi hasil atau pembagian hasil gaduh kambing yang mereka lakukan mengalami ketimpangan dari segi jumlah pembagiannya.

Jika melihat dari uraian di atas yang diperoleh dari keterangan penduduk setempat dapat dikatakan bahwa hal tersebut sangat menguntungkan pihak kedua yaitu orang yang dipercayai untuk memelihara dan merawat kambing dari pada pemilik kambing itu sendiri. 



B.1 LAPORAN PENELITIAN
Dari hasil penelitian yang penulis peroleh, baik dari data lapangan maupun data yang diperoleh dari perpustakaan maka penulis akan menganalisis data tersebut, yang selanjutnya akan menjadi landasan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Adapun teknis analisis yang penulis kemukakan dalam hal ini terbagi pada:

Sebab dan Kendala Yang Mendorong Terjadinya Kegiatan Usaha Gaduh Kambing

Sesuai dengan hasil penelitian yang telah penulis dapat, bahwa masyarakat Kelurahan X Kecamatan X Kota X berjumlah 820 Kepala  Keluarga (KK), dalam memenuhi kebutuhan hidup dan mennigkatkan perekonomian, sebagian besar 65% (persen)  mata pencarianya adalah dari hasil bertani dan berkebun. Dari hasil usahanya tersebut terkadang belum bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari maupun kebituhan yang sifatnnya mendesak.

Sebagai usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut, sebagian besar masyarakat X melakukan kegiatan usaha bagi hasil gaduh hewan kambing, yang merupakan proses pemeliharaan dan perawatan tenak, dimana pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepada pihak lain untuk di pelihara dan membagi hasil ternak atau peningkatan nilai dari hewan itu. kegiatan yang mereka jalani itu semata-mata karena tidak menyimpang dari aturan agama, seperti yang dijelaskan firman Allah SWT  dalam Al- Qur’an surat Al- Maidah ayat 2, adalah sebagai berikut: 

Terjemahan: ” ... dan bertolong-tolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa atau pelanggaran....”[7]

Beranjak dari konsepsi itu, Islam mensyari’atkan dan memperbolehkan untuk mremberi keringanan kepada manusia. Kenyataan menunjukan bahwa diantara sebagian manusia memiliki modal, tetapi tidak bisa menjalankan usaha-usaha produktif, atau memilki modal dan bisa berusaha produktif, tetapi berkeinginan membantu orang lain yang kurang mampu dan dengan jalan mengalihkan sebagian usahanya dengan pihak yang memerlukan. Hal yang demikian itu terjadi pada Masyarakat Kelurahan X yang memiliki kemampuan untuk berternak kambing tetapi tidak mempunyai modal untuk menjalankan usahanya. Sebenarnya,  kegiatan yang mereka lakukan itu melatar belakangi dikarenakan atas dasar tolong-menolong guna meningkatkan taraf perekonomian dan kebutuhan hidup.

Pelaksanaan Kerja Sama Dalam Kegiatan Usaha Bagi Hasil Gaduh Kambing di Kelurahan X Kecamatan X Kota X

Hubungan antara manusia sebagai individu atau sebagai anggota kelompok masyarakat dalam usaha memenuhi kebutuhannya ada bermacam-macam bentuknya, ada yang berupa jual-beli, hutang piutang, sewa menyewa, kerja sama dan sebagainya. Dari penelitian yang penulis lakukan pada masarakat di Kelurahan X kecamatan X Kota X, dalam memenuhui kebutuhan hidup sehari-hari tidak cukup dengan hanya mengandalkan usaha bertani dan berkebun saja, melainkan masyarakat setempat menjalankan usaha lainnya yang yakni usaha kerja sama dalam ternak bagi hasil gaduh hewan kambing, yang sudah lama dijalani oleh penduduk Kelurahan X.

Kegiatan bagi hasil dalam Islam disebut dengan  syirkah mudharabah atau qirah dalam bentuk kegiataan usaha, yaitu berupa kemitraan antara modal dan tenaga, seseorang pemilik modal (shaibul maal) menyerahkan modalnya kepada pihak lain (mudharib) untuk dikelola, dan membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian sebagaimana guna meningkatkan taraf perekonomian dan kebutuhan hidup sehari-hari. Dasar hukum mudharabah sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al- Qur’an Surat Al-Jumu’ah ayat 10, sebagai berikut:

Terjemahan : ”Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”[8]

Bagi hasil mudharabah dari gaduh hewan kambing berdasarkan bentuk dari kegiatannya termasuk dalam bentuk mudharabah mutlaqah (mutlak) pemelihara hewan kambing (mudharib) diberikan kebebasan dalam mengelola usaha gaduh hewan tersebut yang bisa mendatangkan keuntungan dalam usaha tersebut tanpa dibatasi, selama tidak menyimpang dari aturan Syari’at Islam. Dan apabila terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan bagi hasil mudharabah maka akan mengakibatkan pelanggaran dan dosa bagi yang melakukannya.

Walaupun pada prinsipnya dalam usahanya akad mudharabah berupa ijab dan qabul dari kedua belah pihak berdasarkan atas asas tolong-menolong sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi pada pelaksananya tidak menutup kemungkinan antara pemilik modal dan pengelola usaha terjadi pelanggaran atau kecurangan dalam membagi hasil keuntungan tersebut baik dari segi material maupun tenaga. Salah satu Hadits Rosullullah SAW Riwayat Umar. yang berkenaan dengan mudharabah adalah:

Terjemahan: mudharabah yaitu persekutuan antara dua orang dimana modal dari suatu pihak dan pekerjaan dari pihak lain, sedangkan untungnnya akan dibagi diantara mereka sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugiannya di tanggung sendiri oleh pihak pemilik modal”[9]


Berangkat dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sistem bagi hasil gaduh hewan kambing, berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan pada Kelurahan  X Kecamatan X Kota X, ternyata dalam pelaksanaan perkongsian hewan kambing tersebut modal yang diberikan berupa barang, yaitu sejumlah hewan kambing yang diberikan oleh pihak pemilik modal kepada pihak kedua yang berkedudukan sebagai orang yang dipercaya untuk memelihara kambing tersebut, kemudian membagi keuntungan dengan perjanjian membagi anak dari hewan tersebut, atau dapat juga berupa dalam bentuk uang dari hasil penjualan kambing, berdasarkan atas perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Hal demikian tentulah tidak dilarang oleh Syari’ah Islam sebab banyak sekali sisi manfaat yang dapat di ambil dari transaksi tersebut, seperti nilai tolong menolong antar sesama (ta’awanu) dan nilai-nilai persaudaraan (ukhuwah). Dalam pelaksanaan perikatan (akad)  juga dijelaskan mengenai resiko misalkan hewan yang dipelihara tersebut apabila sakit atau mati maka kerugian tersebut di tanggung bersama, apabila matinya hewan tersebut bukan karna kelalaian atau disebabkan oleh pihak yang memelihara, jika hewan tersebut mati atau sakit dikarenakan kelalaian pihak yang memelihara maka pihak pemilik hewan kambing tersebut berhak meminta ganti rugi.

Melihat uraian di atas menurut penulis pelaksanaan gaduh hewan kambing di desa X sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun demikian dalam pelaksanaanya berdasarkan  observasi yang penulis lakukan ternyata masih ada kesenjangan antara teori hukum Islam dan aplikasi yang terjadi pada desa X Kecamatan X yaitu dalam hal pemenuhan akad, seperti pertanggung jawaban apabila hewan kambing meninnggal akibat kelalaian pihak pemelihara  ternyata banyak sekali akad yang tidak terpenuhi serta pembagian hasil yang dapat merugikan salah satu pihak dan memerlukan akad (perjanjian) yang lebih jelas lagi, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam akad gaduh hewan kambing.

Pandangan Hukum Islam Terhadap Konsep Akad Bagi Hasil Gaduh Kambing.

Kegiatan usaha gaduh hewan kambing yang dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan X Kecamatan X dalam pengertiannya adalah bagian dari hukum Islam di bidang muamalah yang mengatur prilaku manusia dalam menjalankan hubungan ekonominya, sedangkan bentuk kegiatannya dalam konsep Islam disebut kerja sama kerja sama dalam kegiatan usaha. Dalam hal kerja sama setidaknya ada dua istilah dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-’aqdu (akad) dan al-‘ahdu (janji).[10]

Kegiatan usaha gaduh kambing yang dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan X Kecamatan X Kota X, pada pelaksananya  terdapat konsep kerja sama yang sudah jelas dan dibenarkan oleh syara’ selama kegiatan usaha tersebut tidak bertentangan kepada nilai-nilai syari’at Islam. Pada konsepnya, dimana antar individu atau kelompok manusia yang melakukan kerja sama gaduh hewan kambing tersebut terjalin ikatan Ijab dan Qabul yang menimbulkan akibat hukum dari bentuk kegiatanya, yakni pihak pemilik modal menyatakan kehendaknya dalam menyerahkan modalnya berupa hewan kambing kepada orang yang bisa dan setuju menjalankan kegiatan usaha gaduh kambing, kemudian dari perikatan tersebut menimbulkan akibat hukum dari perjanjian perikatan terhadap objeknya.

Bentuk perjanjian dibagi menjadi 2 macam yakni perjanjiaan dalam bentuk tertulis dan perjanjian dalam bentuk lisan. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 282, disebutkan bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia hendaknya suatu perikatan dilakukan secara tertulis, dihadiri oleh saksi-saksi, dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perikatan, dan yang menjadi saksi. Selain itu, dianjurkan pula apabila suatu perikatan dilaksanakan tidak secara tunai, maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya.

Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan di lapangan, penulis mendapatkan bahwa dalam pelaksanaan gaduh hewan kambing dalam bentuk perjanjiannya sebagian besar antar para pihak melakukan perjanjian dalam bentuk lisan, hal tersebut dilakukan karena kerja sama pada prinsipnya semata-mata hanya sekedar tolong menolong sesama manusia dalam bidang ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam isi perjanjian lisan, yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan kegiatan usaha gaduh kambing tersebut mengadung prinsip yang mempunyai nilai nilai ilaihah sebagai berikut:
·         Asas kejujuran.
Dalam menjalankan  kegiatan gaduh kambing  tersebut dimana kedua belah pihak jujur dan bertanggung jawab antar  kedua belah pihak kepada Allah SWT dan kepada masyarakat.
·         Asas Kebebasan
Membebaskan kedua belah pihak dalam menjalankan kegiatannya sesuai dengan hak dan kewajiban yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak.
·      Asas Keadilan
Keseimbangan antar individu dari kedua belah pihak baik moral atau materiil. Dituntut untuk melakukan hal yang benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan.
·         Asas kerelaan
Kegiatan usaha ini dilakukan oleh para pihak atas dasar rela tidak ada paksaan oleh pihak lain, dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Perjanjian lisan tersebut dibenarkan oleh syara’, sesuai dengan firman Allah SWT  dal Al-Qur’an Surat Al-Hadid ayat 4, sebagai berikut:

Artinya: “Dia bersama kamu dimana kamu berada dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.



C. KESIMPULAN

Dari uraian yang penulis kemukakan diatas berdasarkan hasil penelitian tentang bagi hasil gaduh kambing dalam pandangan hukum islam di Kelurahan X Kecamatan X Kota X, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal diantaranya :
1.      Dalam sistem bagi hasil gaduh hewan kambing didesa X Kecamatan X dalam konsep ajaran Islam menerapkan sisterm mudaharabah. Hal ini dapat terlihat pada aplikasi perikatan dari akad perjanjian antara pemilik hewan kambing dan orang yang memelihara kambing sebagai objek dalam akad perjanian tersebut. Modal berupa kambing serta fasilitasnya berasal dari pemilik modal, sedangkan dalam proses pemeliharaan perawatan dan pemberian pakan ternak adalah sepenuhnya tanggung jawab dari pemelihara kambing. Sedangkan untuk perhitungan keuntungan dari pemeliharaan hewan kambing tersebut menggunakan akad sistem bagi hasil dari pengembangbiakkan hewan tersebut. Pembagian keuntungan dapat bernilai uang dari hasil penjualan dan dapat juga berdasarkan kepemilikan atas hewan kambing sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak.
2.      Bahwa hukum Islam memandangi persoalan bagi hasil gaduh hewan kambing diperbolehkan karena dari bentuk kegiatan dan unsur-unsur perikatan yang terdapat pada akad perjanjian sudah jelas.dan banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari transaksi tersebut, seperti nilai tolong menolong antar sesama (ta’awanu) dan nilai-nilai persaudaraan (ukhuwah) serta dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan meningkatkan perekonomian masyarakat yang umumnya pihak yang melakukan kegiatan usaha gaduh kambing, Namun demikian dalam observasi yang penulis lakukan ternyata masih ada kesenjangan antara teori hukum Islam dan aplikasi yang terjadi pada Kelurahan X Kecamatan X Kota X yaitu dalam hal pemenuhan akad.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Auda “ Atasyri Al dinan’I Al Islami, Daar Fikr, Bairut, 1968.

Departemen Agama RI. Qur’an Dan Terjemanya, Yayasan Penerbit Al-Qur’an Bandung, 2006.

Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kencana, Jakarta. 2007

Helmi Karim, Fiqih Muamalah, Gema Insan, Jakarta, 2000.

Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 10, Penerjemah, Kamludin A. Marzuki, Al Ma’arif, Bandung, 1997.

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 13, penerjemeh H. Kamaludin A. Marzuki, Alma’arif, Bandung, 1996.


[1] Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Raden Intan Lampung, Prodi Hukum Ekonomi Syariah, Konsentrasi Hukum Bisnis dan Keuangan Syariah.
            [2] Helmi Karim, Fiqih Muamalah, Gema Insan, Jakarta, 2000. hlm. 45.
         [3] Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 10, Penerjemah, Kamludin A. Marzuki, Al Ma’arif, Bandung, 1997. hlm. 32.
[4] Ibid., Helmi Karim, hlm. 56.
[5] H.R Ibnu Majah no.2280, Kitab At tijiroh
[6] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 13, penerjemeh H. Kamaludin A. Marzuki, Alma’arif, Bandung, 1996, hlm. 77.
[7] Departemen Agama RI. Qur’an Dan Terjemanya, Yayasan Penerbit Al-Qur’an Bandung, 2006, hlm. 146.
[8] Departemen Agama RI. Qur’an Dan Terjemanya, Yayasan Penerbit Al-Qur’an Bandung, 2006, hlm. 827.
[9] Abdul Kadir Auda “ Atasyri Al dinan’I Al Islami, Daar Fikr, Bairut, 1968 hlm. 201
[10] Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kencana, Jakarta. 2007, hlm 45.

TEORI HUKUM DAN FILOSOFI KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM AKAD TRANSAKSI ISLAMI


Nara Sumber Oleh: Ade Setiawan[1]

PENDAHULUAN

Islam adalah sebuah system yang sangat komprehensif dan merupakan jalan hidup yang sempurna, Islam mengatur segala sapek persoalan dengan asas agama (religiusitas), Islam tidak hanya membahas permasalahan akhirat saja yang meliputi hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Akan tetapi Islam juga mengatur hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya melalui aspek muamalah.

Muamalah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti saling berbuat, kata ini menggambarkan suatu aktifitas yang dilakukan seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Yang kesemuanya itu diatur didalam fiqih muamalah, yang berarti Hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan Hukum manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan, misalnya dalam persoalan jual-beli, utang-piutang, kerjasama dagang, perserikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah, dan sewa-menyewa.

Dalam pelaksanaannya, organisasi, perkumpulan, dan asosiasi para pelaku bisnis di seluruh dunia telah mengembangkan kode etik dalam dunia bisnis yang berupa syarat-syarat, criteria, atau prinsip yang harus diterima dalam menjaga kelangsungan bisnis mereka, namun apakah kode etik tersebut telah sesuai dengan dengan prinsip-prinsip syari’ah itulah yang menjadi pertanyaan besar hingga saat ini, oleh sebab itu sangat diperlukan perspektif yang lebih religius dan professional dalam melakukan transaksi-transaksi bisnis islam. Sehingga didalam pelaksanaannya para pelaku bisnis diharapkan memperhatikan nilai-nilai syari’ah, yang mengejar keuntungan tanpa menghalalkan segala cara.


PEMBAHASAN

A. DASAR HUKUM KEBEBASAN BERKONTRAK

Terjemahan :
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (Q.S. Al-Maidah:1)

Terjemahan :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 29)

Terjemahan :
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa’:4)

Terjemahan:
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. AL-Isra’ : 23)


B. PENGERTIAN KONTRAK (AKAD)

Dalam istilah Hukum kontrak, kontrak merupakan suatu istilah asing dalam bahasa Inggris yaitu “contract”, sedangkan dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah lama terdapat kata kontrak dan bukan merupakan istilah asing,[2] dalam konsep fiqih muamalah kontrak lebih dikenal dengan sebutan aqad, yang menurut fuqaha berarti perikatan antar ijab dan qabul dengan cara-cara yang disyari’atkan dan mempunyai dampak terhadap apa yang diaqadkan tersebut.[3]

Istilah perjanjian atau kontrak dalam bahasa Indonesia, atau aqad dalam bahasa Arab atau dalam istilah Hukum Islam berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt).[4] Sebagai suatu istilah dalam Hukum Islam, ada beberapa definisi yang diberikan pada aqad atau perjanjian sebagai berikut:
1.      Menurut pasal 262 Mursyid al- Hairan, akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan Kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat Hukum pada ojek akad.[5]
2.      Aqad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak Syari’at yang berpengaruh pada objek perikatan.[6]
3.      Aqad adalah pertemuan antar ijab dan Kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat Hukum pada objeknya.[7]

Dari definisi di atas memperlihatkan bahwa, pertama, akad adalah keterkaitan atau pertemuan ijab dan qabul yang berakibat timbulnya akibat Hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak, dan qabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama. Akad tidak akan terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain, karena akad adalah keterkaitan kehendak keduabelah pihak yang tercermin dalam ijab dan qabul.

Kedua, akad merupakan tindakan Hukum dua pihak karma akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan qabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat Hukum, lebih tegas lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan akad.

Secara umum tujuan akad dapat dikategorikan menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut :
1.      Pemindahan milik dengan imbalan ataupun tanpa imbalan (at-Tamlik).
2.      Melakukan pekerjaan (al-‘amal).
3.      Melakukan persekutuan (al-Isytirak).
4.      Melakukan pendelegasian (at-Tafwidh).
5.      Melakukan penjaminan (at-Tautsiq).

Pemindahan milik meliputi pemindahan milik atas benda dan pemindahan milik atas manfaat. Jual-beli adalah akad untuk memindahkan milik atas benda dengan imbalan. Hibah adalah pemindahan milik atas benda tanpa imbalan. Sewa-menyewa adalah pemindahan milik atas manfaat dengan imbalan. Pinjam pakai adalah akad pemindahan milik atas manfaat benda tanpa imbalan. Muzaraah adalah akad untuk melakukan pekerjaan. Mudharabah adalah akad untuk melakukan persekutuan modal dan usaha guna membagi hasilnya. Wakalah (pemberian kuasa) adalah akad untuk melakukan pedelegasian. Kafalah (penanggungan) adalah akad untuk melakukan penjaminan.

Untuk merealisasikan Hukum pokok akad, maka para pihak memikul beberapa kewajiban yang sekaligus merupakan hak pihak lain. Misalnya, dalam akad jual-beli, penjual berkewajiban menyerahkan barang yang merupakan hak pembeli, dan pembekli berkewajiban menyerahkan harga yang merupakan hak penjual. Hak dan kewajiban ini disebut hak-hak akad, dan disebut juga akibat Hukum tambahan akad. Akibat Hukum tambahan akad ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu akad Hukum yang ditentukan oleh syari’ah dan akibat Hukum yang ditentukan oleh para pihak sendiri.

C. ASAS-ASAS KONTRAK / PERJANJIAN (AKAD)

Asas Ibahah (Mabda’ al-Ibahah)
Asas ibahah adalah asas umum Hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “pada asasnya segala sesuatu itu baleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”. Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam Hukum Islam, untuk tindakn-tindakan ibadah berlaku asas bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil syari’ah. Orang tidak dapat membuat-buat bentuk baru ibadah yang tidak pernah ditetukan oleh Nabi SAW. Bentuk-bentuk baru ibadah yang dibuat tanpa pernah diajarkan oleh Nabi SAW. Itu disebut bid’ah dan tidak sah  hukumnya.

Sebaliknya, dalam tindakan-tindakan muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitu bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu. Bila dikaitkan dengan tindakan Hukum, khususnya perjanjian, maka ini berarti bahwa tindakan Hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian tersebut.

Asas Kebebasan Berkontrak / Berakad (mabda’ hurriyyah at-Ta’aqud)
Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip Hukum yang menyetakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah dientukan dalam undang-undang syari’ah dan memasukkan klausul apa saja kedalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan jalan bathil. Namun demikian, dilingkungan mazhab-mazhab yang berbeda terdapat perbedaan pendapat mengenai luas sempitnya kebebasan tersebut. Nash-nash Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Serta kaidah-kaidah Hukum Islammenunjukkan bahwa Hukum Islam menganut asas kebebasan berakad. Asas kebebasan berakad ini merupakan konkretisasi lebih jauh dan spesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibahah dalam muamalah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 1 sebagai berikut:

Terjemahan :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. Al-Maidah :1)

Cara menyimpulkan kebebasan berakad dari ayat tersebut adalah bahwa menurut kaidah ushul fiqh (metodologi penemuan Hukum islam), perintah dalam ayat ini menunjukkan wajib. Artinya memenuhi akad itu hukumnya wajib. Dalam ayat ini akad disebutkan dalam bentuk jamak yang diberi kata sandang “Al” (al-‘Uqud). Menurut kaidah ushul fiqh, jamak yang diberikan kata sandang “Al” menunjukkan keumuman.[8] Dengan demikian, dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang dapat membuat akad apa saja baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan akad-akad itu wajib dipenuhi.[9]

Asas Konsensualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah)
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam Hukum islam  pada umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual.
Para ahli Hukum islam biasanya menyimpulkan asas konsensualisme dari dalil-dalil Hukum berikut:
a.       AL-Qur’an
Terjemahan :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 29)

Terjemahan :
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa’ : 4)

b.    Sabda Nabi SAW, Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kata sepakat [Hadis riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah].[10]

c.   Kaidah Hukum islam, pada asanya perjanjian (akad) itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji.[11]

Kutipan ayat pada angka 1) menunjukan antara lain bahwa setiap pertukaran secara timbal balik diperbolehkan dan sah selama didasarkan atas kesepakatan. Ayat pada angka 2) menunjukkan bahwa suatu pemberian adalah sah apabila didasarkan kepada perizinan (rela hati) si pemberi. Mengenai kedua ayuat ini, Ibn Taimiyyah (w. 728/1328) menyatakan, …dan boleh karena kerelaan hati itulah yang menjadi sebab dibolehkannya makan mahar, maka seluruh akad Tabaru’ (Cuma-Cuma) lainnya, dengan jalan melakukan qiyas (analogi) atas dasar illat yang dinaskan dan ditunjukkan oleh Al-Qur’an, adalah sama dengan ini. Begitu juga firman-nya, kecuali (jika makan harta sesasma itu dilakukan) dengan jalan tukar menukar atas dasar perizinan timbal balik (kata sepakat) dari kamu hanya mensyaratkan kata sepakat dalam tukar-menukar kebendaan.[12]

Pada bagian lain Ibn Taimiyyah menegaskan lagi, Allah memandang lagi cukup perizinan timbal balik untuk jual-beli dalam firman-Nya, “kecuali dengan jalan tukar-menukar atas dasar perizinan timbal balik dari kamu dan memandang cukup kerelaan hati (consent) untuk Tabaru’ dalam firman-Nya, kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mas kawin itu atas dasar senang hati (perizinan,consent)maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai suatu yang sedap lagi baik akibatnya. Jadi ayat pertama adalah mengenai jenis akad atas beban (muawadah) dan ayat kedua mengenai jenis akad Tabaru’…[13]

Hadis Nabi SAW. Pada angka 3) dengan jelas menunjukkan bahwa akad jual beli didasarkan kepada perizinan timbale balik (kata sepakat). Meskipun hanya akad jual beli saja yang disebutkan dalam hadis ini, namun untuk akad-akad yang lain diqiyaskan (dianalogikan) kepada akad jual beli, sehingga denan dasar analogi itu akad-akad lain juga didasarkan pada kata sepakat.

Kaidah Hukum islam pada angka 4) secara amat jelas menyatakan bahwa perjanjian itu pada asasnya adalah kesepakatan para pihak, sehingga bila telah tercapai kata sepakat para pihak, maka terciptalah suatu perjanjian.

1.      Asas Janji Itu Mengikat 
Dalam Al-Qur’an dan Hadis terdapat banyak perintah agar memenuhi janji. Dalam kaidah usul fiqih, “perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib” ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. Diantara ayat dan hadis dimaksud adalah,
a.       Firman Allah,
Terjemahan :
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. Al-Israa’ : 34)

 b.      Asar dari Ibn Mas’ud, janji itu adalah utang.[14]
c.       Ayat QS. 5: 1 dan hadis al-Hakim yang telah dikutip pada sub C. 2. 1) dan 2. 2) di atas.

2.      Asas Keseimbanggan (Mabda’ at-Tawazun fi al-Mu’awadhah)
Meskipun secara factual jarang terjadi keseimbangan antaras para pihak dalam bertransaksi, namun Hukum perjanjian islam tetap menekankan perlunya keseimbangan itu,baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul resiko. Asas keseimbangan dalam transaksi (antara apa yang diberikan dengan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami  ketidak seimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul resikso tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala resiko atas kerugian usaha, sementara kreditor bebas sama sekali dan harus mendapatkan prosetase tertentu sekalipun pada sat dananya mengalami kembalian negative

3.      Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)
Dengan asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa akadsyang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudrahat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah). Apabila dalam pelaksanaan akad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan sehingga memberatkannya, maka kewajibannya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal.[15]

4.      Asas Amanah
Dengan asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beretikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak sekali objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang amat spesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditransaksikan, pihak lain yang menjadi mitra transaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya. Profesi kedokteran, terutama dokter spesialis, misalnya hanya diketahui dan dikuasai oleh dokter saja.

Masyarakat umum tidak mengetahui seluk beluk profesi tersebut. oleh karena itu, ketika seorang pasien sebagai salah satu pihak transaksi akan diterapkan suatu metode  pengobatan dan penaganan penyakaitnya, sang pasien sangat tergantung kepada informasi dokter untuk mengambil keputusan menjalani metode tersebut. Begitu pula terdapat barang-barang canggih, tetapi juga mungkin menimbulkan resiko berbahaya bila salah penggunaannya. Dalam hal ini, pihak yang bertransaksi dengan objek barang tersebut sangat bergantung kepada informasi produsen yang menawarkan barang tersebut. Oleh karena itu, dalam kaitan ini dalam Hukum perjanjian islam dituntut adanya sikap amanah pada pihak yang menguasainya untuk memberi informasi yang sejujurnya kepada pihak lain yang tidak banyak mengetahuinya.

Dalam Hukum islam, terdapat suatu bentuk perjanjian yang disebut perjanjian amanah, salah satu pihak hanya bergantung kepada  informasi jujur dari pihak lainnya  untuk mengambil keputusan untuk menutup perjanjian beresangkutan. Di antara ketentuannya, adalah bahwa bohong atau penyembuyian informasi yang semestinya disampaikan dapat menjadi alasan pembatalan akad bila dikemudian hari ternyata informasi itu tidak benar yang telah mendorong pihak lain untuk menutup perjanjian. Contoh paling sederhana dalam Hukum islam adalah akad murabahah, yang merupakan salah satu bentuk akad amanah. Pada zaman sekarang wilayah akad amanah tidak saja hanya dibatasi pada akad seperti murabahah, tetapi juga meluas kedalam akad takaful (asuransi) bahkan juga banyak akad yang pengatahuan mengenai objeknya hanya dikuasai oleh salah satu pihak saja.

5.      Asas Keadilan
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua Hukum. Dalam Hukum islam, keadilan langsung merupakan perintah Al-Qur’an yang menegaskan, sebagaimana firman Allah berikut ini :

Artinya :
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah : 8)

Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian dibuat oleh para pihak. Sering kali dizaman modern akad ditutup olaeh satu pihak  dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausul akad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaannya akan timbul kerugian kepada pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam Hukum islam konterporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dalat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alas an untuk itu.[16]


D. KESIMPULAN

Dari uraian di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      kontrak merupakan suatu istilah asing dalam bahasa Inggris yaitu “contract”, sedangkan dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah lama terdapat kata kontrak dan bukan merupakan istilah asing,[17] dalam konsep fiqih muamalah kontrak lebih dikenal dengan sebutan aqad, yang menurut fuqaha berarti perikatan antar ijab dan qabul dengan cara-cara yang disyari’atkan dan mempunyai dampak terhadap apa yang diaqadkan tersebut.[18]
2.      Asas filosofi kebebasan berkontrak adalah sebagai berikut ;
a.  Asas ibahah adalah asas umum Hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “pada asasnya segala sesuatu itu baleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”.
b.      Asas Kebebasan Berkontrak / Berakad (mabda’ hurriyyah at-Ta’aqud)
c.       Asas Konsensualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah)
d.      Asas Janji Itu Mengikat
e.       Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)
f.       Asas Amanah
      g.   Asas Keadilan


[1] Mahasiswa Program Pasca Sarjana (PPS) Institut Agama Islam Negeri (Iain) Raden Intan Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah
[2] Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 2.
[3] TM. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 10.
[4] Ahmad Abu al-Fath, Kitab al-Muamalat fi as-Syari’ah al-Islamiyyah wa al-Qawanin al-Mishriyyah, Mesir, Matba’ah al-Busfir, 1913, I: 139; Lihat juga Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, Mesir, Mushtafa al-Babii al-Halabi, 1964, II: 4.
[5] Basya, Mursyid al-Hairan ila Ma’rifah Ahwal al-Insan, Kairo, Dar al-Furjani, 1403/1983, hlm. 49.
[6] Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, Mesir al-Amiriyah, tt, jilid II, hlm. 255.
[7] Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. Hukum Perjanjian Syari’ah (study tentang teori aqad dalam fiqih muamalah, Jakarata, PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 68.
[8] Muhammad Abu zahrah, Ushul al-Fiqih (ttp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), hlm. 157.
[9] Lihat tafsir ayat ini dalam at-thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (Beirut: Mu’assasah al-A’lam li al-Muthbu’at, 1970), V:158
[10] Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban (Beikut: Mu’assasah ar- Raisalah,1414/1993),XI:340, hadfis no.4967;dan Ibn Majah,sunan Ibn Majah (Berikut: Dar al-Fikr, t.t.), II:737, hadis no.2185.
[11] Az-Zarqa’,op. cit., II: 1083.
[12] Ibn Tamiyyah, M ajmu’ al-fatawa (Riyad: Matabi’ ar-Riyadh, 1383 H) ,XXIX:155
[13] Ibid., XXIX:14-5
[14]Asar ini diriwayatkan secara maukuf oleh al- Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad. Sedangkan at-Tabani dalam al-Mu’jam al-Ausat dan al-Mu’jam ash-shagir meriwayatkannya secara marfuk dari Nabi SAW. Melalui sahabat ‘Ali. Lihat at-Tabani, al-Mu’jam al-Ausat (kairo: Dar al-Haramin, 1415 H), IV:23; dan al-Ausat (Beirut-Amman: al-Maktab al-Islami dan Dar ‘Amman,1985), I:256. selain itu juga diriwayatkan secara marfuk oleh al-Qudha’I dalam musnad asy-Syihab (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1986), I:40. riwayat marfuk ini didaifkan oleh para ahli hadis. Lebih lanjut komentar mengenai hadis ini lihat al-Manawi, faidh al- Qadir (Mesir:al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra,1356 
H), IV:377; dan al-Ajluni,Kasyf al-Khafa’(Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1405
H), II:73-4.
[15] Lihat bahasan pada Bab XI B angka 3.
[16] Lihat bahasan Bab XI B angka 2.
[17] Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 2.
[18] TM. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 10.