Kamis, 29 Desember 2011

PERBANKAN SYARI’AH PRODUK-PRODUK DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA

Nara Sumber : Ade Setiawan, S.H.I.

Download This File :
By Ziddu - here (Word)
By Mediafire - here (Pdf)
Arabic Word Tool ( Must installed ) - here
Klik aja SKIP-AD / LEWATI setelah 5 detik, trims....

Pendahuluan

Gagasan adanya lembaga perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip syari’at Islam berkaitan erat dengan gagasan terbentuknya suatu system ekonomi Islam. Gagasan mengenai konsep ekonomi Islam secara internasional muncul pada sekitar dasawarsa 70-an, ketika pertama kali diselenggarakan Konferensi Internasional tentang ekonomi Islam di Mekah pada tahun 1976.

Di antara pemikir-pemikir sistem ekonomi Islam tersebut terdapat pola kecendrungan yang berbeda-beda, pada dasarnya terdapat dua kelompok kecendrungan yaitu; kecendrungan teoritis, dengan memberikan alternatif konsep dan kecendrungan pragmatis dengan mendirikan lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang beroprasi berdasarkan prinsip Islam. Salah satu kecendrungan kelompok kedua tersebut adalah mendirikan bank-bank Islam.

Pada tahun 1920, di Mesir didirikan bank Islam yang pertama kali dengan nama bank Mesir, kemudian disusul tindakan pemerintah republik Arab untuk menasionalisasikan bank. Lembaga perbankan Islam mengalami perkembangan yang amat pesat dengan lahirnya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan social bagi negara-negara anggota dan masyarakat muslimin pada umumnya.

Pada dasarnya, aktifitas bank Islam tidak jauh berbeda dengan aktifitas bank-bank yang telah ada, perbedaannya selain terletak pada orientasi konsep juga terletak pada konsep dasar oprasionalnya yang berlandaskan pada ketentuan-ketentuan dalam Islam.


Pembahasan

A.    Dasar Hukum dan Pemikiran Terbentuknya Bank Islam

Dasar pemikiran terbentuknya bank Islam bersumber dari adanya larangan riba di dalam al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai berikut :

Terjemahan :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”  (Q.S. An-Nisaa’ : 29)

Terjemahan :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”  (Q.S. Al-Maidah : 1)

Terjemahan :
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”  (QS Al-Baqarah : 275)

Terjemahan :
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS Al-Baqarah : 276).

Dalam suatu riwayat dikemukakan; terdapat orang-orang yang melakukan jual-beli kredit (dengan pembayaran berjangka waktu). Apabila telah tiba waktunya pembayaran dan tidak membayar maka bertambahnya bunganya, dan ditambah pula jangka watu pembayarannya. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa pada zaman jahiliyah, Tsaqif berhutang kepada Bani Nadhlir, ketika tiba waktu membayar, Tsaqif berkata : “kami bayar bunganya dan undurkan waktu pembayarannya”. Maka turunlah surat Ali-Imran ayat 130 sebagai larangan atas perbuatan itu :

Terjemahan :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS Ali-Imran : 130).

Selain mendasarkan pada ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits, berdirinya bank Islam juga didasari oleh kenyataan-kenyataan sebagai berikut:
1.    Di dalam kenyataannya, penerapan system bunga membawa akibat-akibat negatif dengan alasan bahwa nasabah menghadapi suatu ketidakpastian terhadap hasil usaha yang ia jalani sementara itu dia harus tetap membayar persentase bunga terhadap pinjaman yang ia lakukan pada suatu bank. Di samping itu penerapan system bunga juga dapat mengakibatkan eksploitasi (pemerasan) oleh orang kaya terhadap orang miskin.
2.    System perbankan yang ada sekarang memiliki kecendrungan terjadinya konsentrasi kekuatan ekonomi ditangan kelompok elit, para banker, dan pemilik modal.
3.    System perbankan yang menerapkan bunga menyebabkan laju inflasi semakin tinggi, karena ada kecendrungan bank-bank memberikan kredit secara berlebihan.
4.    Sistem perbankan yang menerapkan bunga sekarang dirasakan kurang berhasil dalam membantu memerangi kemiskinan dan meratakan pendapatan baik ditingkat nasional maupun tingkat internasional.
5.    Di dalam era pembangunan ekonomi setiap Negara dewasa ini peranan perbankan sangat besar dan menentukan
Dalam hubungan inilah terbentuknya organisasi lembaga perbankan yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam merupakan modal bagi pertumbuhan system ekonomi menuju ke arah system ekonomi Islam.


B.    Pengertian Bank Islam
Istilah lain yang digunakan untuk sebutan bank Islam adalah bank Syari’ah. Secara akademik istilah Islam dan syari’ah memang mempunyai pengertian yang berbeda. Namun secara teknis untuk penyebutan bank Islam dan bank syari’ah mempunyai pengertian yang sama.

Menurut ensiklopedi Islam, bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan keredit dan jasa-jasa dalam lalulintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoprasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam.

Berdasarkan rumusan tersebut bank Islam berarti bank yang tata cara beroprasinya didasarkan pada tata cara bermuamalat secara Islam, yakni mengacu pada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan pengertian muamalat adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik hubungan pribadi maupun antara perorangan dengan masyarakat (Abdul wahab Khallaf, 1980: 46). Muamalat ini meliputi bidang kegiatan jual beli (ba’i), bunga (riba), piutang (qoroah), gadai (rahn), memindahkan utang (hawalah), bagi untung dalam perdagangan (qiro’ah), jaminan (dhomah), persekutuan (syirqah), persewaan dan perburuhan (ijarah). (Moh Anwar 1979: 23).

Di dalam operasionalnya bank Islam harus mengikuti dan atau berpedoman kepada peraktik-peraktik usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah saw, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah saw atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama / cendikiawan Muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits.


C.    Sejarah Berdirinya Bank Islam

Pada zaman pra-Islam, sebenarnya telah ada bentuk-bentuk perdagangan yang sekarang dikembangkan didunia bisnis modern. Bentuk-bentuk itu misalnya; al-Musyarakah (joint venture), al-Ba’iu takjiri (venture capital), al-ijarah (leasing), at-takaful (insurance), al-ba’iu bithaman ajil (instalment-sale), kredit pemilikan barang (al-murabahah), pinjam dengan tambahan bunga (riba).

Bentuk-bentuk perdagangan tersebut telah berkembang di jazirah Arab karena letaknya yang sangat strategis bagi perdagangan waktu itu. Jazirah Arab yang berada di jalur perdagangan antara Asia, Afrika, Eropa kemungkinan besar telah dipengaruhi oleh bentuk-bentuk ekonomi Mesir purba, Yunani kuno dan Romawi sekitar 2500 tahun sebelum Masehi telah mengenal system perbankan.

Pada masa Rasulullah, yang membawa risalah Islam sebagai petunjuk bagi umat manusia, telah memberikan rambu-rambu  tentang bentuk-bentuk perdagangan mana yang berlaku dan dapat dikembangkan pada masa-masa berikutnya. Serta bentuk-bentuk usaha mana yang dilarang karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Salah satu larangan itu adalah larangan usaha yang mengandung riba, Di mana ayat tentang laranganriba ini diperkirakan turun menjelang Rasulullah wafat pada usia 60 tahun.

Secara kolektif, gagasan berdirinya bank Islam di tingkat internasional, muncul dalam konferensi Negara-negara Islam se-dunia, di Kuala Lumpur Malaysia pada tanggal 21 sampai dengan 27 April 1969, yang diikuti 19 negara peserta. Konferensi tersebut memutuskan beberapa hal diantaranya ;
1.    Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hokum untung dan rugi, jika tidak ia termasuk kepada riba dan riba sedikit atau benyak hukumnya haram.
2.    Diusulkan supaya dibentuk suatu bank Islam yang bersih dari system riba dalam waktu secepat mungkin.
3.    Sementara menunggu berdirinya bank Islam, bank-bank yang menerapkan bunga diperbolehkan beroprasi. Namun jika benar-benar dalam keadaan darurat. (Fuad Moch. Fachrudin, 1961: 103).

Pembentukan bank Islam semula memang banyak diragukan. Pertama, banyak orang beranggapan bahwa system perbankan bebas bunga (interest free) adalah sesuatu yang tak mungkin dan tak lazim. Kedua, adanya pertanyaan tentang bagaimana bank akan membiayai oprasinya. Tetapi dilain pihak, bank Islam adalah satu alternatif system ekonomi Islam. (Ensiklopedi Islam, 1994: 233).


D.    Produk dan Jasa Perbank Syari’ah

Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan Syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu: produk penghimpunan dana (funding), produk penyaluran dana (financing), dan produk jasa (service).

1.    Produk Penghimpunan Dana Yang Berbasis Titipan
Dalam menyalurkan dananya kepada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu; pembiayaan dengan prinsip titipan, pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, pembiayaan dengan prinsip jual-beli, dan pembiayaan dengan prinsip jasa, dan Sewa.

a.    Prinsip wadi’ah
Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah adalah bentuk penitipan Di mana pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Wadi’ah amanah adalah bentuk penitipan di mana harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi (bank). Ketentuan umum dari produk ini adalah :
1)    Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
2)    Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangn dengan prinsip syari’ah.
3)    Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
4)    Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangn dengan prinsip syariah.

b.    Prinsip Deposito mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai pemilik modal dan bank sebagai pengelola. Dana tersebut digunakan oleh bank untuk melakukan murabaha dan ijarah seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi menjadi dua yaitu;
1)    Mudharabah mutlaqah (URIA)
Dalam mudharabah mutlaqah (URIA = Unrestricted Investment Account), tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
2)    Mudharabah muqayyadah (RIA)
Bentuk mudharabah ini terbagi menjadi dua jenis yaitu mudharabah muqayyadah on balance sheet; mudharabah jenis ini merupakan simpanan khusus Di mana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Dan yang kedua mudharabah muqayyadah of balance sheet; mudharabah jenis ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, Di mana bank bertindak sebagai perantara yang mempertemukan antara pemillik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu kepada bank untuk mencari rekanan bisnis yang harus dipatuhi oleh bank.

2.    Penyaluran Dana Yang Berbasis Bagi Hasil
a.    Skim Murabahah
Salah satu skim fiqih yang paling popular digunakan oleh perbankkan Syari’ah adalah skim jual-beli murabahah. Transaksi murabahah ini lazim dilakukan oleh Rasulullah Saw, dan para sahabatnya, secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. 
Menurut Muhammad Syafe’i Antonio dalam bukunya yang berjudul Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek; Bai’ Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam Bai’ Murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Misalnya, pedagang eceran membeli computer pada grosir dengan harga Rp 10.000.000,00, kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp 750.000,00 dan ia menjual kepada si pembeli dengan harga Rp 10.750.000,00. pada umumnya, si pedagang eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar keuntungan yang akan diambil pedagang eceran, serta besarnya angsuran jika akan dibayar secara angsuran.




b.    Skim Al-Musaqah :
Al-Musaqah adalah : Akad (transaksi) antara pemilik kebun/tanaman dan pengelola (penggarap) untuk memelihara dan merawat kebun/tanaman pada masa tertentu sampai tanaman itu berbuah.
c.    Skim Al-Muzara’ah :
Al-Muzara’ah adalah : Akad (transaksi) antara pemilik lahan dan pengelola (penggarap) untuk mengelola lahan tersebut agar menghasilkan suatu komoditi berupa tanaman di mana pelaksanaannya sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan.
d.    Skim Al-Musyarakah (syirkah)
Produk pembiayaan syariah ynag didasarkan atas prinsip bagi hasil adalah sebagai berikut;
1)    Pembiayaan Musyarakah
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah (syirkah atau syarikah). Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Semua bentuk usaha yang melibatkan dua orang atau lebih Di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Ketentuan umum pembiayaan musyarakah adalah sebagai berikut;
a)    Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
b)    Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi kesepakatan, sedangkan rugi dibagi sesuai porsi kontribusi modal.
c)    Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.

3.    Penyaluran Dana Yang Berbasis Jual Beli
Pembiayaan dengan prinsip jual-beli : prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual, transaksi jual-beli dapat dibedakan berdasarkan waktu pembayarannya dan waktu penyerahan barangnya, yakni sebagai berikut:

a.    Jual-beli Murabahah
Murabahah (al-bai’ bi tsaman ajil) lebih dikenal sebagai murabahah saja. Murabahah, yang berasal dari kata ribhu (keuntungan), adalah transaksi jual-beli Di mana bank menyebutkan jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin). Di mana kedua belah pihak harus menyepakati harja jual dan jangka waktu pembayaran, Di mana harga jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan bila sudah disepakati maka tidak dapat berubah selama berlakunya akad.

b.    Jual-beli salam
Salam adalah transaksi jual-beli Di mana barang yang diperjual-belikan belum ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara tanguh sementara pembayaran dilakuka secara tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual-beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu pembayaran harus ditentukan secara pasti.

c.    Jual-beli Istishna’
Produk istishna’ menyerupai produk salam, tapi dalam istishna’  pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Ketentuan umum pembiayaan istishna’ adalah spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlahnya. Dan jika terjadi perubahan spesifikasi dan jumlah barang yang dipesan, maka biaya tambahan tetap ditanggung oleh nasabah.

d.    Sharf  (jual beli valuta asing)
Pada prinsipnya jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.

4.    Penyaluran Dana Yang Berbasis Jasa / Fee
Adapun yang menjadi salah satu produk perbankan syari’ah dalam bentuk penyaluran dana yang berbasis jasa atau fee adalah sebagai berikut :

a.    Hiwalah (alih utang-piutang)
Tujuan fasilitas hiwalah adalah untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapatkan ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.

b.    Rahn (gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria sebagai berikut; barang tersebut milik nasabah sendiri, jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar, dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. Dengan seizin bank, nasabah dapat menggunakan barang tersebut tanpa merusak dan mengurangi nilai barang tersebut.

c.    Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya ada empat hal, yaitu :
1)    Sebagai pinjaman talangan haji, Di mana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.
2)    Sebagai pinjaman tunai dari produk kartu kredit syari’ah, Di mana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM.
3)    Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, Di mana menurut perhitungan bank akan memberatkan pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual-beli, ijarah, atau bagi hasil.
4)    Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, Di mana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank.

d.    Wakalah (perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.

e.    Kafalah (garansi bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Untuk jasa-jasa ini, bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.

5.    Penyaluran Dana Yang Berbasis Sewa

Pembiayaan dengan prinsip Sewa (Ijarah) : Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan menfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual-beli, tetapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual-beli objek transaksinya adalah barang, sedangkan pada ijarah objek transaksinya adalah jasa. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan-nya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.

Selain menjalankan fungsi sebagai intermediaries (penghubung) antara pihak yang membutuhkan dana (deficit unit) dengan pihak ynag kelebihan dana (surplus unit), bank syariah dapat pula melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa : Ijarah (sewa). Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tatalaksana administrasi dokumen (custodian). Bank mendapat imbalan sewa dari jasa tersebut.


E.    Upaya Pengembangan Bank Syari’ah

Upaya atau strategi pengembangan bank syariah diarahkan untuk meningkatkan kopetensi usaha yang sejajar dengan system perbankan konvensional yang dilakukan secara konverhensif dengan mengacu pada analisis kekuatan dan kelemahan perbankan syariah di Indonesia saat ini. Upaya tersebut dilakukan melalui peningkatan keahlian sumber daya manusia, penyempurnaan ketentuan, dan program sosialisasi. Focus utama upaya pengembangan system perbankan syari’ah meliputi hal-hal sebagai berikut :

1.    Penguatan Regulasi Aturan Per-UU Tentang Perbankan Syari’ah Yang  Relefan dan Penyempurnaan Ketentuan
Upaya yang dilakukan adalah penyesuaian perangkat undang-undang bank sentral, undang-undang perbankan, dan penyusunan perangkat-perangkat ketentuan pendukung kegiatan oprasional bank syariah. Dengan adanya ketentuan yang mendukung, diharapkan bank syariah akan dapat beroprasi secara optimal dan memiliki daya saing yang tinggi. Strategi pengembnagan bank syariah diarahkan untuk menciptakan system perbankan syariah yang sehat dan dapat berperan sebagai lembaga intermediasi secara optimal dengan dukungan hal-hal sebagai berikut ;
a)    Struktur perbankan syariah yang dapat mengakomodasi sisi penghimpunan dana dan pembiayaan secara harmonis. Untuk itu, pengembangan ketentuan mengenai struktur perlu senantiasa mengacu pada analisis risiko yang meliputi :
1)    Struktur permodalan yang kuat, tetapi tidak terkonsentrasi pada satu pihak atau kelompok tertentu.
2)    Struktur organisasi dengan sumber daya yang tangguh.
3)    Struktur oprasinal dengan kebijakan dan pelaksanaan usaha yang berlandaskan pada prinsip kehati-hatian dan peraktik perbankan yang sehat.
b)    System pengawasan dan pembinaan yang efektif dalam rangka mewujudkan iklim usaha yang kondusif serta dapat melindungi kepentingan masyarakat.

2.    Rekuitment SDM Yang Kompeten dan Berkualitas
Hal yang tidak kalah penting dalam upaya pengembangan perbankan syari’ah adalah sumber daya manusia yang kompeten dan berkualitas dibidangnya, sehingga dalam pengrekrutan tenaga kerja harus benar-benar yang sesui dengan bidangnya masing-masing, dengan demikian maka roda pelaksanaan perbankan syari’ah akan berjalan secara maksimal dan efisien.

3.    Pelaksanaan Kegiatan Sosialisai Perbankan Syariah Secara Terprogram Dan Berstrategi
Kegiatan sosialisasi yang dilakukan bertujuan untuk memberikan informasi yang lengkap dan benar mengenai kegiatan usaha perbankan syariah kepada masyarakat, baik itu pengusaha, kalangan perbankan, maupun masyarakat lainnya. Agar sosialisasi ini dapat berjalan dengan baik, diperlukan kerja sama dengan lembaga-lembaga lain, seperti perguruan tinggi, para ulama, dewan dakwah, asosiasi, media massa cetak maupun elektronik, atau lembaga-lembaga lainnya yang mempunyai kemampuan dan akses yang besar dalam menyebar luaskan informasi kepada masyarakat.

4.    Pengembangan dan Peningkatan Prasarana dan Sarana Yang Terkait
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga keuangan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, maka bank juga harus memperkuat prasarana dan sarana yang dapat menunjang lebih efisiennya kinerja bank. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut; Pengembangan jaringan perbankan syariah, terutama ditujukan untuk menyediakan akses yang lebih luas kepada masyarakat dalam mendapatkan pelayanan jasa bank syariah. Pengembangan jarinagn bank syariah dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut;
a)    Peningkatan kualitas Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang telah beroprasi.
b)    Perubahan kegiatan usaha bank konvensional yang memiliki kondisi usaha yang baik dan berminat untuk melakukan usaha bank berdasarkan prinsip syariah.
c)    Pembukaan kantor cabang syariah bagi bank konvensional yang memiliki kondisi usaha yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah.

5.    Pengembangan dan Peningkatan Produk Untuk Menjangkau Masyarakat Luas dan piranti Moneter
Produk-produk yang ditawarkan oleh bank juga tidak kalah penting dalam upaya pengembangan perbankan syari’ah, perbankan syari’ah harus selalu berinovasi menciptakan produk-produk yang baru guna menjangkau semua lapisan masyarakat agar tertarik untuk menginvestasikan dananya pada bank tersebut. Disamping itu, Penyusunan piranti moneter dilakukan dalam rangaka mendukung kebijakan moneter dan kegiatan usaha bank syariah. Dalam kaitannya dengan kegiatan usaha bank syariah maka pembentukan piranti ini diharapkan dapat membantu pengembangan pasar uang antar bank.

6.    Pengembangan dan Peningkatan Pelayanan Kepada Nasabah dan Masyarakat
Suasana yang nyaman sangatlah berpengaruh terhadap kepercayaan nasabah dan masyarakat dalam menginvestasikan dananya kepada bank syari’ah, oleh sebab itu bank syari’ah dituntut untuk meningkatkan pelayangan yang lebih ramah, dan cepat dalam setiap pelaksanaan transaksi yang dilakukan.


Kesimpulan

Dari uraian di atas maka didapati kesimpulan sebagai berikut;
1.    Pengertian bank syari’ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalulintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoprasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam.
2.    Produk Bank Syariah adalah sebagai berikut;
a.    Produk penyaluran dana (financing),
b.    Produk penghimpunan dana (funding), dan
c.    Produk jasa (service).
3.    Upaya yang dapat dilakukan dalam pengembangan bank syariah adalah sebagai berikut : peningkatan keahlian sumber daya manusia, penyempurnaan ketentuan, dan program sosialisasi.



Editing Text By: Rachmad Aqsa, S.H.I.
Tanpa ada perubahan, sesuai dengan aslinya.

Kamis, 01 Desember 2011

Bagian Ke-2 PARADIGMA PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA


Landasan Yuridis dan Kompetensi Pengadilan Agama

Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memberikan wewenang kekuasaan Peradilan Agama bertambah luas, yang semula sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 hanya bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : 
a) perkawinan,
b) kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c) wakaf dan shadaqah.

Dengan adanya amandemen Undang-Undang tersebut, maka ruang lingkup tugas dan wewenang Peradilan Agama diperluas. Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syari’ah yang meliputi:[1]
a) bank syari’ah,
b) lembaga keuangan mikro syari’ah,
c) asuransi syari’ah,
d) reasuransi syari’ah,
e) reksa dana syari’ah,
f) obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah,
g) sekuritas syari’ah,
h) pembiayaan syari’ah,
i) pegadaian syari’ah,
j) dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan
k) bisnis syari’ah.

Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal ini.” Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.

Adapun sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah:[2]
·         Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
·         Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesame lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;
·         Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 juga mengatur tentang kompetensi absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh karena itu, pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip syariah (ekonomi syariah) tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di Pengadilan yang lain. Apalagi, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, pilihan hukum telah dinyatakan dihapus.[3]

Oleh karena itu dalam draft-draft perjanjian yang dibuat oleh beberapa perbankan syariah berkaitan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, akad mudharabah dan akad-akad yang lain yang masih mencantumkan klausul Penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri apabila BASYARNAS tidak dapat menyelesaikan sengketa maka seharusnya jika mengacu pada Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, maka klausul tersebut dirubah menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa tersebut.


Keunggulan dan Kelemahan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Pengadilan Agama

Keunggulan-keunggulan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah antara lain:
·  Pengadilan Agama memilki SDM yang sudah memahami permasalahan syariah, tinggal meningkatkan wawasan dan pengetahuan mereka melalui pendidikan dan pelatihan secara berkala;
·         Kendatipun RUU tentang ekonomi syariah belum disahkan namun Pengadilan Agama mempunyai hukum materiil yang cukup established, khususnya yag berkaitan dengan ekonomi syariah, diantaranya berupa kitab-kitab fikih muamalah yang dalam penerapannya masih kontekstual;
·         Keberadaan kantor Pengadilan Agama hampir meliputi semua wilayah Kabupaten dan Kotamadia di seluruh wilayah Indonesia dan sebagian besar telak mengaplikasikan jaringan Teknologi Informasi (TI) dengan basis internet, sehingga apabila dibandingkan dengan BASYARNAS yang keberadaannya masih terkonsentrasi di wilayah ibukota, maka Pengadilan Agama mempunyai keunggulan dalam kemudahan pelayanan.
·       Mendapat dukungan mayoritas penduduk Indonesia, yaitu masyarakat muslim yang saat ini sedang mempunyai semangat tinggi dalam menegakkan nilai-nilai agama yang mereka anut;[4]
·         Adanya dukungan politis yang kuat karena pemerintah dan DPR telah menyepakati perluasan kewenangan Peradilan Agama tersebut pada tanggal 21 Februari 2006 sehingga lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 adalah suatu keniscayaan untuk menyesuaikan terhadap tuntutan hukum yang ada, yakni perubahan paradigma dari peradilan keluarga menuju peradilan modern.[5]
·         Adanya dukungan dari otoritas Perbankan (Bank Indonesia) dan dukungan dari Lembaga Keuanan Islam di seluruh dunia;[6]

Disamping adanya kelebihan dan keunggulan di atas, Peradilan Agama juga memiliki beberapa kelemahan terhadap kewenangannya dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah –khususnya perbankan syariah- yaitu:
·         Belum ada regulasi atau peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ekonomi syariah, sehingga dengan adanya beragam rujukan kitab hukum, dimungkinkan akan muncul putusan yang berdisparitas dalam kasus yang sama. Hal ini bukan saja membingungkan umat, tetapi juga tidak menguntungkan dalam dunia bisnis, sehingga dikhawatirkan memunculkan sikap trauma bagi para pelaku ekonomi syariah untuk berperkara di Pengadilan Agama.
·         Aparat Peradilan Agama yang sebagian besar mempunyai background disiplin ilmu syariah dan hukum kurang memahami aktifitas ekonomi baik yang besifat mikro maupun makro, juga kegiatan di bidang usaha sektor riel, produksi, distribusi dan konsumsi;
·         Aparat Peradilan Agama masih gagap terhadap kegiatan lembaga keuangan syariah sebagai pendukung kegiatan usaha sektor riel, seperti: Bank Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Multifinance, Pasar Mdal dan sebagainya;
·        Pencitraan inferior terhadap Peradilan Agama yang dipandang hanya berkutat menangani masalah NCTR sulit dihapus, hal ini merupakan dampak dari kurangnya dukungan dari lembaga-lembaga terkait untuk mensososialisasikan UU No. 3 Tahun 2006.
·         Sebagian besar kondisi gedung Kantor Pengadilan Agama dan sarana maupun prasarananya yang ada belum merepresentasikan sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan mengadili para bankir dan para pelaku bisnis, oleh karenanya untuk merubah paradigma sebagai lembaga peradilan yang modern maka hal ini mutlak harus diperbaiki dan ditunjang oleh anggaran yang memadai untuk tahun-tahun yang akan datang;
·         Performance aparat peradilan yang kurang meyakinkan, terutama dari segi penampilan dan cara berpakaian mereka yang masih sangat sederhana, hal ini semata-mata karena kesejahteraan mereka yang kurang memadai, sehingga dengan rencana tunjangan khusus bagi aparat peradilan diharapkan bukan saja meningkatkan performance mereka, tetapi lebih dari itu adalah untuk meningkatkan kinerja aparat peradilan demi menuju lembaga peradilan yang adil, jujur, berwibawa dan bebas korupsi sebagaimana amanat reformasi.
·         Adanya aparat peradilan terutama sebagian hakim yang masih gaptek (gagap teknologi) menjadi kendala tersendiri bagi mereka yang akan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, karena pengetahuan ekonomi syariah bagi para hakim harus selalu up to date tentunya harus didukung oleh kemampuan mereka dalam mengakses informasi dari berbagai media terutama melalui internet. Untuk mengantisipasi hal tersebut nampaknya BADILAG cepat tanggap sehingga terus menggalakkan dengan lomba TI (Teknologi Informasi) bagi Peradilan Agama di seluruh Indonesia, himbauan BADILAG tesebut telah mendapatkan respon positif dan sebagian besar Peradilan Agama di seluruh Indonesia, hal ini terbukti dengan telah terbentuknya Tim TI di sebagian besar daerah-daerah yang jauh dari ibukota. Setidaknya adanya sayembara TI yang diadakan oleh BADILAG tersebut untuk memberikan stimulus bagi para aparat peadilan agama untuk berlomba-lomba mengakses informasi melalui internet.


Penutup

Mengingat segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh lembaga peradilan, oleh sebagian kalangan Peradlan Agama dipandang oleh sebagian kalangan sebagai lembaga pilihan terbaik.[7] Penambahan kewenangan Peradilan Agama di bidang ekonomi syariah sebagaimana amanat UU No. 3 Tahun 2006 adalah suatu bentuk kepercayaan terbesar terhadap lembaga peradilan yang secara politis sejak zaman kolonial Belanda selalu didiskreditkan dan didiskriminasikan.

Momentum ini hendaknya dipandang sebagai amanah yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, karena ini adalah pertaruhan bagi citra Peradilan Agama itu sendiri. Apabila kepercayaan ini tidak disia-siakan dan dijawab dengan kinerja yang memuaskan, maka ini bukan saja momentum bersejarah, namun menjadi tonggak baru yang menentukan perjalanan sejarah Peradilan Agama ke depan. Apabila kepercayaan itu sudah terbangun, Peradilan Agama mungkin saja akan diberi amanat baru yang lebih besar –sekedar mengingatkan Mahkamah syar’iyah di Aceh telah diberi kewenangan khusus untuk melaksanakan peradilan dibidang jinayah (pidana Islam)- mungkin juga hal ini akan berimbas pada perluasan kewenangan Peradilan Agama secara signifikan di waktu-waktu yang akan datang.

Stigma yang melekat pada Pengadilan Agama sebagai lembaga yang inferior sedikit demi sedikit akan terkikis dengan sendirinya apabila seluruh komponen Peradilan Agama saling bahu membahu untuk menunjukkan kinerja bagus dan mendedikasikan sebagai persembahan terbaik bagi negeri ini yang tak juga surut dirundung duka. Amien


DAFTAR PUSTAKA

Ariyanto dkk., Tak Sekadar Menangani Kawin Cerai (Kolom Hukum), Trust Majalah Berita ekonomi dan Bisnis Edisi 27 Tahun IV, 17-23 April 2006.

Coulson, NJ. 1991. a History of Islamic Law, Edinburg University Press.

Manan, Abdul. 2007. Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syariah, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten.

Margono, Suyud. 2000. ADR dan Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Jakarta: Ghalia Indonesia.

M. Thaher, Asmuni. Kendala-kendala Seputar Eksistensi Perbankan Syariah di Indonesia, MSI-UII.Net-3/9/2004

Perwataatmaja, Karnaen dkk. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media.  

Rosyadi, A. Rahmat. 2002. Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih Sunnah (Terjemahan Jilid 13), Bandung: PT. Al-Ma’arif.

Suhartono, Prospek Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional, www.Badilag.net diakses tgl. 31-10-2007

Sumitro, Warkum. 2004. Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia), Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Syafe’i, Rachmat. Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan syariah, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.htm

Usman, Rachmadi. 2002. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2000. Hukum Arbitrase, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.


Note:
Maaf, mohon ijin diposting tulisan Bapak ini. Agak sedikit dirapihkan tulisannya karena untuk diinput di blog saya. Terima kasih atas ridha nya Bapak. Kalau bapak tidak mengizinkan mohon kabari saya. Terima Kasih.


[1] Suhartono, Prospek Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional, www.Badilag.net tgl. 31-10-2007
[2] Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syariah, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007, hal. 8
[3] Ibid, hal. 9.
[4] Kernaen Perwataatmadja dkk., Op. Cit. hal. 296.
[5] Ariyanto dkk., Tak Sekadar Menangani Kawin Cerai (Kolom Hukum), Trust Majalah Berita ekonomi dan Bisnis Edisi 27 Tahun IV, 17-23 April 2006, hal 70.
[6] Abdul Manan, Op.Cit. hal. 3.
[7] Karnaen Perwataatmadja dkk, Op.Cit, hal. 296.

PARADIGMA PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA


Nara Sumber Oleh :
Suhartono, S.Ag.,SH.,MH. (Hakim PA Martapura)[1]


Abstrak

Pengadilan sebagai the first and last resort dalam penyelesaian sengketa ternyata masih dipandang oleh sebagian kalangan hanya menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial, belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsive, menimbulkan antagonisme di antara pihak yang bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Hal ini dipandang kurang menguntungkan dalam duniai bisnis sehingga dibutuhkan institusi baru yang dipandang lebih efisien dan efektif.

Sebagai solusinya, kemudian berkembanglah model penyelesaian sengketa non litigasi, yang dianggap lebih bisa mengakomodir kelemahan-kelemahan model litigasi dan memberikan jalan keluar yang lebih baik. Proses diluar litigasi dipandang lebih menghasilkan kesepakatan yang win-win solution, menjamin kerahasiaan sengketa para pihak, menghindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga hubungan baik.

Tidak dipungkiri, selain alasan-alasan di atas, dasar pemikiran lahirnya model penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi seperti BAMUI yang pada akhirnya menjelma menjadi BASYARNAS, saat itu memang belum ada lembaga hukum yang mempunyai kewenangan absholut karena Peradilan umum tidak menggunakan perdata Islam (fikih muamalah) dalam hukum formil maupun materiilnya, sedangkan Peradilan Agama saat itu sebagaimana Pasal 49 ayat (1) UU No. 7/1989, kewenangannya masih terbatas mengenai perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Sehingga lahirnya model BASYARNAS saat itu seakan-akan sebagai payung hukum alternatif -jika tidak boleh dikatakan kondisi darurat-, ibarat pepatah: “tidak ada rotan akar pun jadi”. Sedangkan saat ini kewenangan Peradilan Agama sudah diperluas melalui UU No. 3 Tahun 2006 diantaranya adalah kewenangan mutlak mengadili perkara-perkara ekonomi syariah included perbankan syariah, tentu saja hal ini memberikan paradigma berbeda dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah dibandingkan sebelum adanya undang-undang tersebut.


Pendahuluan

Lahirnya UU No. 7 Tahun 1992, UU No.10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1999 sebenarnya sudah menjadi dasar hukum yang kuat bagi terselenggaranya perbankan syariah di Indonesia, kendatipun masih ada beberapa hal yang masih perlu disempurnakan, diantaranya perlunya penyusunan dan penyempurnaan ketentuan maupun perundang-undangan mengenai operasionalisasi bank syari’ah secara tersendiri, sebab undang-undang yang ada sesungguhnya merupakan dasar hukum bagi penerapan dual banking system.

Keberadaan bank syariah hanya menjadi salah satu bagian dari program pengembangan bank konvensional, padahal yang dikehendaki adalah bank syariah yang betul-betul mandiri dari berbagai perangkatnya sebagai bagian perbankan yang diakui secara nasional. Karena pengembangan perbankan syariah sendiri pada awalnya ditujukan dalam rangka pemenuhan pelayanan bagi segmen masyarakat yang belum memperoleh pelayanan jasa perbankan karena sistem perbankan konvensional dipandang tidak sesuai dengan prinsip syariah yang diyakini.

Pengembangan perbankan syariah juga dimaksudkan sebagai perbankan alternatif yang memiliki karakteristik dan keunggulan tertentu. Unsur moralitas menjadi faktor penting dalam seluruh kegiatan usahanya. Kontrak pembiayaan yang lebih menekankan sistem bagi hasil mendorong terciptanya pola hubungan kemitraan (mutual investor relationship), memperhatikan prinsip kehati-hatian dan berupaya memperkecil resiko kegagalan usaha.[2]

Selain penyempurnaan terhadap sisi kelembagaan, perlu juga memperhatikan sisi hukum sebagai landasan penyelenggaraannya hal ini untuk mengantisipasi munculnya berbagai macam permasalahan dalam operasionalisasinya.

Pada awalnya yang menjadi kendala hukum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah hendak dibawa ke mana penyelesaiannya, karena Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan saat itu menurut UU No. 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Sehingga kemudian untuk mengantisipasi kondisi darurat maka didirikan Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung RI dan MUI, namun badan tersebut tidak bekerja efektif dan sengketa perdata di antara bank-bank syariah dengan para nasabah diselesaikan di Pengadilan Negeri.[3]

Sampai saat ini penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan melalui dua model, yakni penyelesaian secara litigasi dan non litigasi. Pilihan penyelesaian sengketa non litigasi dapat dibagi dua, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Dari beberapa model penyelesaian sengketa tersebut masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan dan akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan ini.


Beberapa Pilihan Penyelesaian Sengketa Perbankan syariah di Indonesia

Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial Power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970 secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Diluar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Namun berdasarkan Pasal 1851,1855,1858 KUHPdt, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 serta UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah)[4]. Untuk memperjelas masing-masing kelebihan dan kelemahan baik model penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi maupun non litigasi maka perlu ditelaah satu persatu:

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Non Litigasi
Di Indonesia, penyelesaian sengketa melaui jalur non litigasi di atur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

-          Arbitrase
Dalam perspektif Islam arbitrase dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata hakkama, secara etimologis berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan pengertian menurut terminologisnya.[5] Lembaga ini telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada masa itu, meskipun belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada perselisihan mengenai hak milik, waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih.[6]
Gagasan berdirinya lembaga arbitrase Islam di Indonesia, diawali dengan bertemunya para pakar, cendekiawan muslim, praktisi hukum, para kyai dan ulama untuk bertukar pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini dimotori Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 1992. Setelah mengadakan beberapa kali rapat dan setelah diadakan beberapa kali penyempurnaan terhadap rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)[7], sekarang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 sebagai lembaga arbiter yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa di bidang ekonomi syariah.

Kedudukan BASYARNAS Ditinjau Dari Segi Tata Hukum Indonesia

UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun demikian, di dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) undang-undang tersebut disebutkan antara lain, bahwa:

“Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan”

Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227).

Dengan diberlakukannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui Pasal 81 undang-undang tersebut secara tegas mencabut ketiga macam ketentuan tersebut terhitung sejak tanggal diundangkannya. Maka berarti segala ketentuan yang berhubungan dengan arbitrase, termasuk putusan arbitrase asing tunduk pada ketentuan UU No. 30 Tahun 1999, meskipun secara lex spesialis ketentuan yang berhubungan dengan (pelaksanaan) arbitrase asing telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1968 yang merupakan pengesahan atas persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antar-Negara dan Warga Negara Asing mengenai penanaman modal (International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) Convention), Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan New York Convention 1958 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990.[8]

Menurut pendapat H.M. Thahir Azhari, bahwa kehadiran Arbitrase Islam (BASYARNAS pen.) di Indonesia merupakan suatu condition sine qua non, secara yuridis formal kedudukan BASYARNAS dalam Tata Hukum Indonesia memiliki landasan hukum yang kokoh.[9]

Kewenangan BASYARNAS

BASYARNAS sebagai lembaga permanen yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa. Pendirian lembaga ini awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
Disamping itu badan ini dapat memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum (bindend advice), yaitu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu persoalan tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian” yang sudah barang tentu atas permintaan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan.[10]

Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaian perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus memperhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan dan untuk menghindari lamanya proses penyelesaian.

Keunggulan dan Kekurangan BASYARNAS

BASYARNAS memiliki keunggulan-keunggulan, diantaranya[11]:
1.      Memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab;
2.      Para pihak menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena ditangani oleh orang-orang yang ahli dibidangnya (expertise);
3.      Proses pengambilan putusannya cepat, dengan tidak melalui prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya yang murah;
4.      Para pihak menyerahkan penyelesaian persengketaannya secara sukarela kepada orang-orang (badan) yang dipercaya, sehingga para pihak juga secara sukarela akan melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter, karena hakekat kesepakatan itu mengandung janji dan setiap janji itu harus ditepati;
5.      Di dalam proses arbitrase pada hakekatnya terkandung perdamaian dan musyawarah. Sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan keinginan nurani setiap orang.
6.      Khusus untuk kepentingan Muamalat Islam dan transaksi melalui Bank Muamalat Indonesia maupun BPR Islam, Arbitrase Muamalat (BASYARNAS pen.) akan memberi peluang bagi berlakunya hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara, karena di dalam setiap kontrak terdapat klausul diberlakuannya penyelesaian melalui BASYARNAS.

Disamping keunggulan-keunggulan di atas juga terdapat beberapa kelemahan. Apabila melihat perkembangan BASYARNAS yang belum maksimal untuk mengimbangi pesatnya perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia, sebaiknya BASYARNAS melakukan perapihan manajemen dan SDM yang ada. Apabila dibandingkan dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang relative baru berdiri, maka BASYARNAS masih harus berbenah diri. Untuk dapat menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat, maka harus mempunyai performance yang baik, mempunyai gedung yang representative, administrasi yang baik, kesekretariatan yang selalu siap melayani para pihak yang bersengketa, dan arbiter yang mampu membantu penyelesaian persengketaan mereka secara baik dan memuaskan. Kondisi intern yang baik tersebut akan bertambah baik apabila didukung dengan law enforcement dari pemerintah tentang putusan yang final and binding dalam penyelesaian sengketa di arbitrase.

Selain itu sosialisasi kebeadaan lembaga ini masih terbatas, menurut penulis upaya sosialisasi dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman mengenai arbitrase syariah dapat dilakukan secara kontinyu yang melibatkan banker, alim ulama, tokoh masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum.

Keterbatasan Jaringan kantor BASYARNAS di daerah hal ini juga menjadi kelemahan karena BASYARNAS baru beroperasi di Jakarta, pengembangan jaringan kantor BASYARNAS diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat.


-          Alternatif Penyelesaian Sengketa

Di dalam terminologi Islam dikenal dengan Ash-Shulhu, yang berarti memutus pertengkaran atau perselisihan. Dalam pengertian syariat ash-shulhu adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 (dua) orang yang bersengketa.[12]

Alternatif penyelesaian sengketa hanya diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa yang menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Sengketa atau beda pendapat dalam bidang perdata Islam dapat diselesaikan oleh para pihak melaui Alternatif Penyelesaian Sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi.

Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil juga mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi lembaga Alternatif Penyelesaian Pengketa untuk menunjuk seorang mediator.

Setelah penunjukan mediator oleh lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.

Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator tersebut dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat tersebut wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.

Tidak seperti arbiter atau hakim, seorang mediator tidak membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi tetapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka dan menemukan pemecahan masalah dengan hasil win-win solution.[13] Tidak ada pihak yang kalah atau yang menang, semua sengketa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, sehingga hasil keputusan mediasi tentunya merupakan konsensus kedua belah pihak. Pemerintah telah mengakomodasi kebutuhan terhadap mediasi dengan megeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Kecenderungan memilih Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternatif Dispute Resulotion) oleh masyarakat dewasa ini didasarkan pada:[14]
1.      Kurang percayanya pada sistem pengadilan dan pada saat yang sama kurang dipahaminya keuntungan atau kelebihan sistem arbitrase di banding pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih mencari alternatif lain dalam upaya menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat atau sengketa-sengketa bisnisnya;
2.      Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase mulai menurun yang disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendiri, melainkan mengikuti dengan klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan.

Model yang dikembangkan oleh Alternatif Penyelesaian Sengketa memang cukup ideal dalam hal konsep, namun dalam prakteknya juga tidak menutup kemungkinan terdapat kesulitan jika masing-masing pihak tidak ada kesepakatan atau wanprestasi karena kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dengan perantara mediator tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.

Apabila jalur arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan atau jalur litigasi adalah gawang terakhir sebagai pemutus perkara.


Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Litigasi

Mengenai badan peradilan mana yang berwenang menyelesaikan perselisihan jika terjadi sengketa perbankan syariah memang sempat menjadi perdebatan di berbagai kalangan apakah menjadi kewenangan Pengadilan Umum atau Pengadilan Agama karena memang belum ada undang-undang yang secara tegas mengatur hal tersebut, sehingga masing-masing mencari landasan hukum yang tepat. Dengan diamandemennya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka perdebatan mengenai siapa yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sudah terjawab.


[1] Take From Internet dalam bentuk PDF Document
[2] Rachmat Syafe’I, Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan syariah,
http://www.pikiran rakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.htm
[3] Asmuni M. Thaher, Kendala-kendala Seputar Eksistensi Perbankan Syariah di Indonesia, MSI-UII.Net-3/9/2004
[4] Karnaen Perwataatmaja, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta:Prenada Media), 2005, hal. 288.
[5] A. Rahmat Rosyadi, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Bandung:Citra Aditya Bakti), 2002, hal. 43.
[6] NJ. Coulson, a History of Islamic Law, (Edinburg: University Press), 1991, hal. 10).
[7] Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia), (Jakarta:Raja Grafindo Persada), 2004, hal. 167.
[8] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada), 2000, Cet. I hal. v-vi.
[9] A. Rahmat Rosyadi, Op.Cit., hal. 117.
[10] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti), 2002, hal. 105.
[11] Warkum Sumitro, Op.Cit., hal. 167-168.
[12] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Terjemahan Jilid 13), (Bandung:PT. Al-Ma’arif), 1997, hal. 189.
[13] Karnaen Perwataatmadja dkk., Op.Cit., hal. 292.
[14] Suyud Margono, ADR dan Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), (Jakarta:Ghalia Indonesia), 2000, hal. 82