Kamis, 20 Januari 2011

Perjanjian (kontrak) dalam Islam

Secara etimologi, perjanjian dalam bahasa Arab sering disebut dengan istilah al-mu’ahadah (janji), al-ittifa’ (kesepakatan) dan al-‘aqdu (ikatan), dan dari segi terminologinya, perjanjian atau akad secara umum adalah diartikan sebagai suatu janji setia kepada Allah Swt, atau suatu perjanjian yang dibuat oleh manusia dengan manusia lainnya dalam pergaulan hidupnya sehari-hari.
Sementara menurut WJS Poerwadarminta, perjanjian adalah suatu persetujuan (baik dalam bentuk tertulis atau lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang berjanji akan menaati apa disebut dalam persetujuan tersebut.[1]
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa, perjanjian adalah suatu kesepakatan yang dibuat antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya, untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
Oleh karenanya, kaitannya dengan apa yang telah menjadi kesepakatan dalam perjanjian, masing-masing pihak hendaknya saling menghormati hak dan kewajibannya maing-maing,sebagaimana ketentuan hukum yang diatur dalam al-Qur’an, antara lain surat al-Maidah ayat (1) :

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.

Dasar Kebebasan membuat Perjanjian (Kontrak)
Dalam hukum Islam kalau dilihat secara sekilas tidak menjelaskan tentang asas kebebasan berkontrak, sebaliknya justru membatasi suatu perjanjian, hal ini misalnya perjanjian dalam Islam adakalanya suatu perjanjian dianggap sah dan adakalanya dipandang batal. Akan tetapi kalau dilihat lebih detail bahwa sesungguhnya dalam Islam juga mengatur (ada dasarnya) tentang asas kebebasan berkontrak.[2]
Di antara dasar asas kebebasan berkontrak dalam Islam adalah Firman Allah :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”  (QS. An-Nisa’: 29)

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”. (QS. Al-Maidah: 1)

Dari keterangan ayat-ayat al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa kebebasan berkontrak adalah boleh selama tidak mengandung sifat memakan harta orang lain dengan jalan batil. Atau tidak bertentangan dengan kitab Allah, juga tidak terdapat dalil yang mengharamkanya.

Rukun dan Syarat Perjanjian
Perjanjian dalam Islam pada dasarnya dapat dilakukan dalam segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum (penyebab munculnya hak dan kewajiban) bagi pihak-pihak yang terkait. Bentuk perjanjian yang terjadi antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian adalah tergantung pada bentuk atau jenis obyek perjanjian yang dilakukan. Sebagai misal, perjanjian dalam transaksi jual-beli (bai’), sewa-menyewa (ijarah), bagi hasil (mudharabah), penitipan barang (wadi’ah), perseroan (syirkah), pinjam meminjam (ariyah), pemberian (hibah), penangguhan utang (kafalah), wakaf, wasiat, kerja, gadai atau perjanjian perdamaian dan lain sebagainya.
Secara umum, rukun perjanjian dalam hukum Islam adalah adanya shigat aqad itu sendiri, yang terdiri dari ijab dan qabul, yaitu suatu cara bagaimana rukun-rukun akad tersebut dinyatakan dan menunjuk kepada kehendak kedua belah pihak.

Rukun Perjanjian
Menurut jumhur fuqaha, rukun perjanjian terdiri atas:[3]
a.     Al-‘Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad
b.      Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan
c.      Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul

Fuqaha Hanafiyah mempunyai pandangan yang berbeda dengan Jumhur fuqaha di atas. Bagi mereka, rukun akad adalah unsur-unsur pokok pembentuk akad dan unsur tersebut hanya ada satu yakni sighat akad (ijab dan qabul). Al-aqidain dan mahallul akad bukan merupakan rukun akad melainkan lebih tepat dimasukkan sebagai syarat akad. Pendirian seperti ini didasarkan pada pengertian rukun sebagai sesuatu yang menjadi tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan ia bersifat internal (dakhiliy) dari sesuatu yang ditegakkannya.[4]
Berdasarkan pengertian ini, maka jika dihubungkan dengan pembahasan rukun akad, dapat dijelaskan bahwa rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijab dan qabul

Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya karena pelaku bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Dengan demikian para pihak dan objek akad adalah unsur yang berada di luar akad, tidak merupakan esensi akad, karenanya ia bukan merupakan rukun akad. Hal ini dapat dikiyaskan kepada perbuatan sholat, di mana pelaku solat tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatan sholat. Oleh karena itu, berdasarkan argumen ini maka al-aqid (orang/pihak yang melakukan akad) tidak dapat dipandang sebagai rukun akad. [5]

Adapun syarat menurut pengertian istilah fuqaha dan ahli usul adalah: “segala sesuatu yang dikaitkan pada tiadanya sesuatu yang lain, tidak pada adanya sesuatu yang lain, sedang ia bersifat eksternal (kharijiy).[6] Maksudnya adalah, tiadanya syarat mengharuskan tiadanya masyrut (sesuatu yang disyaratkan), sedang adanya syarat tidak mengharuskan adanya masyrut. Misalnya kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang berlaku pada setiap akad sehingga tiada kecakapan menjadikan tidak berlangsungnya akad.

Adapun syarat-syarat sighat akad ini adalah:
a.    Harus jelas atau terang pengertiannya, dalam artian bahwa lafaz yang dipakai dalam ijab dan qabul harus jelas maksud dan tujuannya menurut kebiasaan (‘urf) yang berlaku.
b.    Harus ada kesesuaian (tawaffuq) antara ijab dan qabul dalam semua segi perjanjian, untuk menghindari terjadinya kesalah-pahaman di antara para pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari.
c.    Harus memperlihatkan kesungguhan dan keridhaan (tidak ada paksaan) dari para pihak yang terkait untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang penuh. 

Sementara bentuk-bentuk shigat akad itu sendiri dapat dilakukan secara lisan (dengan kata-kata), tulisan (catatan), isyarat (khusus bagi mereka yang tidak dapat melakukannya dengan dua cara sebelumnya, seperti karena bisu dan buta huruf) ataupun dengan perbuatan (seperti dalam akad sewa-menyewa dan sebagainya). Apapun bentuk shigat akad itu tidak menjadi masalah, namun yang terpenting adalah dapat menyatakan kehendak dari kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.
 
Syarat Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian, menurut hukum Islam yaitu sebagai berikut :
a.       Syarat Al-‘Aqidain (para pihak yang terlibat dengan akad)
Ijab dan qabul dinyatakan oleh sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz[7] yakni bisa menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan, hingga ucapannya itu benar-benar menyatakan keinginan hatinya. Dengan kata lain ijab dan qabul harus keluar dari orang yang cakap melakukan tindakan-tindakan hukum.
Syarat kedua adalah bahwa untuk terwujudnya akad harus berbilang pihak atau lebih dari satu pihak, karena pada hakekatnya, akad merupakan pertemuan antara ijab di satu pihak dan qabul di pihak yang lain.
Akad tidak terwujud hanya dengan satu pihak saja, sebab dalam setiap akad harus ada dua pihak. Namun, adakalanya seseorang melakukan akad dengan mewakilkannya atau memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan akad atas namanya. Demikian juga seseorang dapat menjadi wakil atau kuasa bagi orang lain untuk menutup suatu perjanjian. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan seseorang melakukan akad dengan dirinya sendiri baik sebagai pihak asil (prinsipil) di satu sisi dan di pihak lain dalam waktu yang sama juga menjadi wakil pihak lain, atau sekaligus menjadi wakil dari dua pihak dalam penutupan perjanjian. Bentuk kedua akad perwakilan ini adalah tidak sah, karena pada asasnya dalam hukum Islam penutupan perjanjian dengan diri sendiri tidak boleh dilakukan kecuali ayah atau kakek yang mewakili anak atau cucu di bawah perwaliannya.[8] Hal ini karena tindakan tersebut membawa pertentangan kepentingan sebab satu orang yang sama menjadi kreditor dan debitur serta penyerah dan penerima sekaligus dalam waktu yang sama. Satu orang yang sama tidak dapat menjadi sangkutan hak-hak yang saling berhadapan.[9]
b.      Syarat Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan, yaitu : [10]
1)      Objek akad harus sudah ada ketika berlangsung akad. Barang yang belum ada tidak dapat menjadi objek akad menurut pendapat mayoritas fuqaha, sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum terwujud.
Di kalangan para fuqaha, syarat ini masih terjadi selang sengketa tentang keabsahannya. Imam Malik misalnya memandang sah akad yang sifatnya melepaskan hak atau harta tanpa imbalan (tabarru’) terhadap benda-benda yang mungkin eksis di masa mendatang, meskipun pada waktu akad masih belum eksis, seperti wakaf, wasiat, hibah dan sebagainya.[11] Ibn Taimiyyah, pengikut mazhab Hanbali, juga memandang sah akad yang objeknya belum ada dalam berbagai bentuknya, selagi dapat dipastikan tidak akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari. Masalahnya dalam akad yang seperti ini bukan ada atau belum adanya objek akad, akan tetapi apakah akan mudah menimbulkan persengketaan di kemudian hari. Dengan kata lain, unsur gharar-nya dipastikan tidak ada.
Lebih tegas lagi, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menyatakan pendapatnya tentang maksud gharar tersebut dengan membedakan antara ‘barang yang tidak eksis’ dengan ‘ketidakpastian’ yang menimbulkan keraguan eksisnya benda tersebut di masa akan datang. Ia menekankan bahwa yang dilarang syariat bukanlah karena tidak atau belum eksis akan tetapi unsur ketidakpastiannya.[12] Dengan demikian, objek akad yang tidak ada pada waktu akad namun dapat dipastikan ada di kemudian hari, maka akadnya tetap sah. Sebaliknya, objek yang tidak ada pada waktu akad dan tidak dapat dipastikan adanya di kemudian hari maka akadnya tidak sah.
2)      Objek akad dapat menerima hukum akad. Para fuqaha sepakat, bahwa akad yang tidak dapat menerima hukum akad, tidak bisa menjadi objek akad. Dalam akad jual beli misalnya, barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual beli. Minuman keras bukan merupakan benda bernilai bagi kaum muslimin. Oleh karenanya keadaan ini tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek akad jual beli antara pihak-pihak yang keduanya atau salah satu pihak beragama Islam.
Akad jual beli, tidak dapat dilakukan terhadap benda mubah yang belum menjadi milik seorangpun, sebab benda mubah masih menjadi milik semua orang untuk menikmatinya. Begitu juga benda-benda negara yang tidak boleh menjadi milik perseorangan, juga tidak memenuhi syarat objek akad perseorangan, seperti hutan, jembatan dan sungai.[13]
3)      Objek akad harus dapat ditentukan dan diketahui.
Objek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Ketidakjelasan objek akad akan mudah menimbulkan sengketa di kemudian hari, sehingga tidak memenuhi syarat objek akad. Syarat ini diperlukan agar para pihak dalam melakukan akad benar-benar atas dasar kerelaan bersama. Ketidakjelasan tidak mesti berkaitan dengan semua satuan barang yang akan menajdi objek akad, tetapi cukup sebagian saja, apabila barang tersebut merupakan suatu jenis yang dapat diketahui conntohnya atau keterangan yang jelas tentang sifat-sifatnya. Untuk menentukan apakah syarat kejelasan suatu objek akad itu sudah terpenuhi atau belum, adat kebiasaan (‘urf) mempunyai peranan penting. Apabila ‘urf memandang jelas, misalnya jual beli kacang tanah yang sudah waktunya dipanen, tetapi masih berada dalam tanah, maka kacang yang ada dalam tanah tersebut dipandang sudah memenuhi syarat kejelasan. Yang penting jangan sampai mengenyampingkan prinsip keadilan dalam muamalat; penjual jangan menerima harga yang jauh di bawah harga yang wajar dan dapat dijamin tidak akan terjadi sengketa di belakang hari.
Objek akad itu harus tertentu maksudnya adalah diketahui dengan jelas oleh para pihak sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sengketa. Apabila objek tidak jelas secara mencolok sehingga dapat menimbulkan persengketaan, maka akadnya tidak sah. Ketidakjelasan yang bersifat sedikit yang tidak membawa pada persengketaan tidak membatalkan akad. Ahli hukum Hanfi menjadikan adat kebiasaan dalam masyarakat sebagai ukuran menentukan menyolok atau tidaknya suatu ketidakjelasan.[14]
4)      Objek akad dapat ditransaksikan.
Hal ini tidak berarti harus dapat diserahkan seketika. Yang dimaksud adalah pada waktu akad yang telah ditentukan, objek akad dapat diserahkan, karena memang benar-benar berada di bawah kekuasan yang sah pihak yang bersangkutan. Dengan demikian, ikan di laut, burung di udara, binatang yang masih berkeliaran di hutan tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek akad.
c.       Syarat Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul, yaitu :
Pernyataan kehendak yang biasanya disebut sebagai sighat akad, yakni suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Ijab dan qabul ini merepresentasikan perizinan (ridha, persetujuan) yang menggambarkan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak atas hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari akad.[15] Agar ijab dan qabul ini menimbulkan akibat hukum, maka disyaratkan dua hal. Pertama, adanya persesuaian (tawafuq) antara ijab dan qabul yang menandai adanya persesuaian kehendak sehingga terwujud kata sepakat. Kedua, persesuaian kehendak tersebut haruslah disampaikan dalam satu majelis yang sama (kesatuan majelis).
Sebagai salah satu azaz dari akad dalam Islam adalah bahwa dari suatu perjanjian yang dipegangi adalah pernyataan lahir, bukan kehendak batin. Ijab dan qabul adalah merupakan manifestasi eksternal atau pernyataan lahir dari kehendak batin tersebut, yang mana kehendak batin tersebut tidak dapat diketahui oleh orang lain melainkan melalui manifestasi eksternal berupa kata-kata atau cara lain yang dapat menyatakan kehendak batin tersebut. Kehendak nyata inilah yang menjadi pegangan dalam berakad, kecuali dalam keadaan kehendak nyata tidak jelas, barulah kehendak batin dijadikan sebagai pegangan. Perkataan atau hal lain yang digunakan untuk menyatakan kehendak batin inilah yang disebut sebagai sighat akad.[16]
Perlu ditegaskan bahwa, meskipun secara praktis yang dinyatakan sebagai rukun akad adalah ijab dan qabul yang merupakan manifestasi eksternal dari kehendak batin, akan tetapi yang dituju dan yang dimaksudkan adalah substansi yang terkandung di balik ijab dan qabul tersebut, yaitu perizinan (ridha dan persetujuan). Oleh karena itu, antara perizinan dan ungkapannya yang berupa ijab dan qabul hendaknya tidak dipisahkan, karena keduanya merupakan satu kesatuan. Perizinan adalah substansinya dan ijab dan qabul adalah penandanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa substansi ijab dan qabul adalah perizinan. Inilah yang disebut sebagai teori kepercayaan (kehendak nyata) dalam hukum perjanjian barat, sebagai lawan dari teori kemauan (kehendak batin).[17]

Ijab dan qabul yang tidak ada substansinya, hampa dari perizinan, tidak dapat menciptakan perjanjian yang sah secara hukum. Perizinan sendiri mengandaikan adanya kehendak. Orang yang tidak mempunyai kehendak tidak memiliki perizinan, seperti orang gila, hilang akal, anak yang belum muamayyiz. Akad pada dasarnya merupakan tindakan hukum yang berlandaskan pada kehendak untuk melahirkan akibat hukum.[18]

Tatacara Perjanjian
Dalam surat Al-Baqarah ayat 282 dijelaskan tentang tatacara perjanjian, yaitu sebagai berikut :

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah (2): 282)[19]

Penjelasan ayat tersebut akan dirinci sebagai berikut :[20]
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kepada orang yang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah setiap melakukan perjanjian perserikatan yang tidak tunai, yaitu melengkapinya dengan alat-alat bukti, sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselihan yang mungkin timbul dikemudian hari.
Pembuktian itu adalah :
a.       Bukti Tertulis
Bukti tertulis hendaklah ditulis oleh seorang “juru tulis”, yang menuliskan isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat-syarat juru tulis ini adalah :
1)      Hendaklah “juru tulis” itu orang yang adil, tidak memihak kepada salah satu dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak yang lain.
2)      Hendaklah “juru tulis” itu mengetahui hukum-hukum Allah terutama yang berhubungan dengan hukum perjanjian, sehingga ia dapat membri nasihat dan memberikan petunjuk yang benar terhadap pihak-pihak yang berjanji itu, karena juru tulis itu ikut bertanggung jawab dan menjadi juru pendamai antara pihak yang berjanji, seandainya terjadi perselisihan dikemudian hari.
Dalam susunan ayat ini didahulukan menyebutkan sifat “adil” daripada sifat “berilmu”, adalah karena sifat adil lebih utama ada pada seorang juru tulis. Banyak orang yang berilmu, tetapi mereka tidak adil, karena itu diragukan kebenaran petunjuk dan nasihat yang diberikannya. Orang yang adil sekalipun ilmunya kurang dapat diharapkan dari padanya nasihat dan petunjuk yang benar dan tidak memihak.
Tugas juru tulis itu ialah menuliskan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang berjanji. Caranya ialah, pihak yang berhutang mendiktekan kepada juru tulis tentang sesuatu yang telah dipinjamnya dan cara serta pelaksanaan perjanjian itu dan sebagainya. Tujuannya ialah agar yang ditulis itu merupakan pengakuan dari pihak yang berhutang, karena dengan tulisan semata-mata tanpa ada ucapan yang dilakukan oleh pihak yang berhutang, maka yang ditulis itu saja tidak dapat dijadikan sebagai pengakuan.
Dalam pada itu Allah memperingatkan orang-orang yang berjanji agar ia selalu menepati janjinya dengan baik. Hendaklah ia takut kepada Allah, hati-hati terhadap janji yang telah diucapkan, jangan sekali-sekali dikurangi atau sengaja lalai dalam melaksanakannya. Hendaklah bersyukur kepada Allah yang telah melunakkan hati orang yang telah membantunya dalam kesukaran. Bila ia bersyukur, Allah akan selalu menjaga, memelihara serta memberinya petunjuk ke jalan yang mudah dan ke lana kebahagiaan.
Jika orang yang berjanji itu adalah orang yang lemah akalnya atau dia sendiri tidak berkesanggupan untuk mendiktekan, maka hak untuk mendiktekan itu pindah ke tangan wali yang bersangkutan. Hendaklah wali itu orang yang adil dan mengetahui hukum-hukum yang berhubungan dengan mu’amalah. Hendaklah para wali berhati-hati dalam melaksanakan tugas perwalian itu.
Yang dimaksu dengan ‘orang yang lemah akalnya’ ialah orang yang belum cakap memelihara dan menggunakan hartanya. Orang yang tidak sanggup mengimlakkan ialah seperti orang bisu, orang yang gagap dan sebagainya.
b.      Saksi
“Saksi’ ialah orang yang melihat dan mengetahui terjadinya sesuatu kejadian atau peristiwa. Persaksian termasuk salah satu dari alat-alat bukti (bayyinah) yang dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan sesuatu perselisihan atau perkara.
Menurut ayat ini persaksian dalam mu’amalah sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang laki-laki, atau jika tidak ada dua orang laki-laki boleh dilakukan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
Mengenai syarat-syarat “laki-laki” yang akan menjadi saksi adalah sebagai berikut :
1)      Saksi itu hendaklah seorang muslim. Pendapat ini berdasarkan perkataan “min Rijalikum” (dari orang laki-laki di antara kamu orang-orang yang beriman) yang terdapat dalam ayat. Dari perkataan itu dipahami bahwa saksi itu adalah seorang muslim. Menurut sebagian ulama : beragama Islam itu bukanlah merupakan syarat bagi seorang saksi dalam mu’amalah. Karena tujuan persaksian itu dalam mu’amalah ialah agar adal alat-alat bukti, seandainya terjadi perselisihan atau perkara antara pihak-pihak yang terjadi di kemudian hari. Karena itu orang yang tidak beragama Islam dibolehkan menjadi saksi asal saja tujuan mengadakan persaksian itu dapat tercapai.
2)      Saksi itu hendaklah seorang yang adil, tidak memihak sehingga tercapailah tujuan diadakannya persaksian, sesuai dengan firman Allah SWT :
... dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. ....” (QS. At-Thalaq: 2)
Selanjutnya ayat ini membedakan persaksian laki-laki dengan persaksian perempuan. Seorang saksi laki-laki dapat diganti dengan dua orang saksi perempuan.
Para ulama berbeda pendapat tentang apa sebabnya Allah membedakan jumlah saksi laki-laki dengan jumlah saksi perempuan itu. Alasan yang sesuai ddengan akal pikiran ialah bahwa saksi laki-laki dan perempuan itu masing-masing diciptakan Allah mempunyai kelebihan dan kekurangan. Masing-masing mempunyai kesanggupan dan kemampuan dalam suatu lapangan lebih besar dari kesanggupan pihak yang lain. Dalam bidang mu’amalah laki-laki lebih banyak memiliki kemampuan dibandingkan dengan perempuan dan pada umumnya bidang mu’amalah itu lebih banyak laki-laki yang mengerjakannya. Karena perhatian perempuan kurang dibandingkan dengan perhatian laki-laki dalam bidang mu’amalah, maka pemikiran dan ingatan mereka dalam bidang inipun kurang pula. Bila persaksian dilakukan oleh seorang wanita, kemungkinan ia lupa, karena itu hendaklah ada wanita lain yang ikut sebagai saksi yang dapat mengingatkannya.
Menurut Syekh Ali Ahmad Al Jurjani, laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedangkan wanita lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu wanita lebih lemah iradahnya, kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila ia dalam keadaan benci dan marah, ia akan gembira atau sedih karena sesuatu hal yang kecil. Lain halnya dengan laki-laki, ia sanggup, tabah dan sabar menanggung kesukaran, ia tidak menetapkan sesuatu urusan, kecuali setelah memikirkannya dengan matang.[21].
Bidang mu’amalah adalah bidang yang banyak menggunakan pikiran daripada perasaan. Daripada itu seorang saksi dalam mu’amalah juga berfungsi sebagai juru pendamai antara pihak-pihak yang berjanji bila terjadi perselisihan di kemudian hari. Berdasarkan keterangan Syekh Ali Ahmad Al Jurjani dan keterangan-keterangan berikutnya diduga itulah di antara hikmah mengapa Allah menyamakan saksi seorang laki-laki dengan saksi dua orang perempuan.
Menurut Imam Asy Syafi’i, penerimaan persaksian seorang saksi hendaklah dengan bersumpah. Beliau beralasan dengan sunnah Rasulullah SAW yang mana beliau menyuruh saksi mengucapkan sumpah sebelum mengucapkan kesaksiannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, penerimaan kesaksian seorang tidak perlu disertai dengan sumpah.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa “janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil”, maksudnya ialah:
a)      Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi dalam suatu kejadian atau peristiwa, bila kesaksian itu diperlukan.
b)      Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi bila terjadi suatu perkara, sedang ia adalah orang yang mengetahui terjadinya peristiwa itu.
c)      Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi terhadap suatu peristiwa yang terjadi, bila tidak ada orang lain yang menajdi saksi.
Diriwayatkan oleh Ar Rabi’ bahwa ayat ini diturunkan ketika seorang laki-laki mencari saksi di kalangan orang banyak untuk meminta persaksian mereka, tetapi tidak seorang pun yan bersedia.
Menurut suatu pendapat, yang dimakasud dengan “janganlah mereka enggan” melaksanakannya. Enggan melakukan keduanya itu hukumnya haram. Hukum melakukan persaksian itu hukumnya Fardhu Kifayah.
Kemudian Allah SWT menjelaskan lagi perintah-Nya, agar orang-orang yang beriman jangan malas dan jangan jemu menuliskan perjanjian yang akan dilakukannya baik kecil maupun besar dan dijelaskan syarat-syarat dan waktunya.
Dalam ayat itu Allah mendahulukan menyebut “yang kecil” dan “yang besar” karena kebanyakan manusia selalu memandang enteng dan menganggap mudah perjanjian yang kecil. Orang yang bermudah-mudah dalam perjanjian yang kecil tentu dia akan bermudah-mudah dalam perjanjian yang besar. Dari ayat ini juga dapat dipahami bahwa Allah memperingatkan kepada manusia agar berhati-hati dalam persoalan hak dan kewajiban, sekalipun hak dan kewajiban itu kecil.
Allah SWT menyebutkan hikmah perintah dan larangan yang terdapat pada permulaan ayat ini, ialah unutk menegakkan keadilan, menegakkan persaksian, untuk menimbulkan keyakianan dan menghilangkan keragu-raguan.
Selanjutnya Allah SWT memperinagtkan agar juru tulis, saksi dan orang yang melakukan perjanjian memudahkan pihak-pihak yang lain, jangan menyulitkan dan jangan pula salah satu pihak bertindak yang berakibat merugikan pihak yang lain. Sebab terlaksananya perjanjian dengan baik bila masing-masing pihak mempunyai niat yang baik terhadap pihak yang lain.
Jika seseorang mempersulit atau merugikan orang lain maka perbuatan yang demikian adalah perbuatan orang-orang fasik, dan tidak mentaati ketentuan-ketentuan dari Allah SWT.
           

Batasan-batasan Asas Kebebasan membuat Perjanjian (Kontrak)
Dalam hukum Islam dalam melihat batasan kebebasan berkontrak pun dijelaskan. Hal ini misalnya adanya perbedaan para ahli fuqaha tentang asas ini, dimana kebebasan untuk membuat perjanjian dan menentukan syarat-syarat di dalamnya sesuai dengan kesepakatan di antara pihak telah menjadi perbedaan para ahli fuqaha, secara umum terbagi dalam dua kelompok:
a.       Kelompok pertama tidak mengakui asas kebebasan berkontrak, ini diwakili oleh ulama-ulama Zahiri, khususnya Ibn Hazm.
b.      Kelompok kedua mengakui asas kebebasan berkontrak, ini diwakili oleh ulama-ulama Hanabilah, khususnya Ibn Taimiyah.

Dari perbedaan di atas, kalau dipahami dalam konteks batasan asas ini, menunjukkan bahwa asas kebebasan berkontrak dalam Islam bukan bersifat mutlak, tetapi terbatas. Pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan batasan menurut hukum positif Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Taimiyah. Bahwa ada beberapa pembatasan yang diberikan olehnya terhadap asas ini yang membuatnya merupakan asas yang tidak tak terbatas, yaitu :
a.      Perjanjian tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus (taradli) atau sepakat dari para pihak yang membuat perjanjian. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nisa’: 29 dan 4. Ayat ini mensyaratkan adanya rela atau sepakat dalam perjanjian, atau kerelaan hati pihak yang membuat perjanjian.
b.      Kebebasan mengadakan perjanjian harus dibatasi oleh kecakapan para pihak untuk melakukan perjanjian. Artinya, menurut hukum Islam bahwa seseorang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, tidak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian.
c.       Para pihak tidak bebas membuat perjanjian terhadap obyek yang dilarang oleh syara’.
d.     Semua perjanjian harus menghindari dari unsur judi dan riba. Tentang hal ini, banyak sekali ketentuan syara’ yang menerangkannya, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an, maupun sunnah.
e.       Setiap perjanjian harus mengupayakan terwujudnya keadilan dan menjauhi kezaliman.
f.      Peranan pemerintah untuk mengawasi dan mengatur setiap perjanjian, guna menegakkan kebajikan/kemaslahatan masyarakat.


Batalnya Perjanjian dan Prosedur Pembatalan
Secara umum tentang pembatalan perjanjian tidak mungkin dilakukan, sebab hal ini terkait dengan kesepakatan kedua belah pihak. Namun demikian pembatalan perjanjian dapat dilakukan apabila :

a.       Jangka waktu perjanjian berakhir
Biasanya suatu perjanjian selalu didasarkan pada jangka waktu tertentu (terbatas), sehingga jika jangka waktu yang telah ditentukan telah habis, secara otomatis batallah (berakhir) perjanjian yang telah terjadi. Adapun dasar hukum yang secara umum membahas tentang hal ini adalah ayat (4) surat at-Taubah :

“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu Telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya[22]. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At-Taubah: 4 )

b.      Salah satu pihak menyimpang atau penghianatan atas perjanjian.
Apabila salah satu pihak telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari ketentuan yang disepakati dalam perjanjian, maka pihak lain dapat membatalkan perjanjian tersebut. Hal ini didasarkan dari beberapa ayat al-Qur’an, antara lain dalam ayat (7) dari surat at-Taubah :

“Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu Telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil Haraam[23]? Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”

Adapun mengenai prosedur pembatalan perjanjian dapat dilakukan dengan memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak yang bersangkutan, bahwa kesepakatan atau perjanjian yang telah dibuat akan dihentikan (dibatalkan) berikut pemberitahuan alasan pembatalannya. Hal ini dilakukan untuk memberikan waktu kepada pihak yang terkait dengan perjanjian untuk bersiap-siap menghadapi resiko yang ditimbulkan oleh pembatalan tersebut.



[1] WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 281.
[2] As-Sanhuri, Masadir al-Haqq fi al-fiqh al-Islami, Juz II, Dar al-Fikr, Beirut, tt, hlm. 80-81.
[3] Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Cetakan ke-IV, Dar al-Fikr, Damaskus, 1989, hlm. 92.
[4] Mustafa Ahmad az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al’Am, Dar al-Fikr, Beirut, tt., hlm. 300.
[5] Ibid., hlm. 300. Lihat juga Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontempore, Rajawali Pers, Jakarta, 2002.
[6] Mustafa Ahmad az-Zarqa, Op. Cit., hlm. 301.
[7] Pengertian kedewasaan dan tamyiz yang dikemukakan oleh para ahli ushul di atas beserta dalil pendukungnya, lebih berkaitan dengan  lapangan  ibadah, seperti (1) QS. 24: 56,  hadis yang menerangkan bahwa dihapus tanggung jawab dari anak sampai ia baligh yang ditandai dengan ihtilam dan  hadis yang menerangkan bahwa tidak sah solat seorang wanita yang sudah haid tanpa memakai mukena. Sementara dasar penetapan usia 15 tahun sebagai batas dewasa adalah hadis Ibn Umar yang diizinkan ikut berperang ketika sudah 15 tahun. Adapun penetapan usia tamyiz dengan usia 7 tahun adalah hadis tentang perintah Nabi untuk menyuruh anak-anak solat pada usia tersebut. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian dalam Islam, Kajian Terhadap Masalah Perizinan (Toestemming) dan Cacat Kehendak (Wilsgerbrek), Laporan Penelitian Pada Balai Penelitian P3M Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1996, hlm. 112-113.
[8] Muhammad Hasyim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 162
[9] Ada dua bentuk kemungkinan yang terjadi bila seseorang melakukan akad dengan dirinya sendiri. Pertama, ia menjadi pihak asil (prinsipil) dalam suatu akad dan pada waktu yang sama menjadi wakil pihak lain dalam akad tersebut. Seperti seorang pengurus yayasan mewakili yayasan untuk menjual barang milik yayasan kepada pembeli asli (principal) yang merupakan pengurus yayasan tersebut. Kedua, ia menjadi wakil dari dua pihak yang berbeda. Seperti A menjadi wakil B untuk menjual barang kepada C, di mana C diwakili oleh A sendiri. Dengan kata lain, A menjadi wakil B dan sekaligus wakil C. Lihat Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian dalam Islam, Kajian Terhadap Masalah Perizinan (Toestemming) dan Cacat Kehendak (Wilsgerbrek), Laporan Penelitian Pada Balai Penelitian P3M Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1996, hlm. 121.
[10] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz IV, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989, hlm. 172-182.
[11] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Juz II, dar al-Ma’rifah, Beirut, 1981, hlm. 324.
                [12] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in, Juz I, Dar al-Jil, Beirut, 1970, hlm. 357-351.
[13] Wahbah Al-Zuhaili, Op. Cit., hlm. 177-178.
[14] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian dalam Islam, Kajian Terhadap Masalah Perizinan (Toestemming) dan Cacat Kehendak (Wilsgerbrek), Laporan Penelitian Pada Balai Penelitian P3M Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1996, hlm. 202-203
[15] Mustafa Ahmad Az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al’Am Juz I, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., hlm. 292.
[16] Ali Al-Khafif, Mukhtasar Ahkam al-Mu’amalat asy-Syar’iyyah, tp, Kairo, 1952,  hlm. 75.
[17] Wirjono Prodjodikoro, Azaz-azaz Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 27
[18] Syamsul Anwar, Op. Cit., Hlm. 124
[19] Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 1, PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hlm. 485.
[20] Ibid., hlm. 488-493.
[21] Ali Ahmad Al Jarjawi, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu Jilid II, hlm. 68.
[22] Maksud yang diberi tangguh empat bulan itu ialah: mereka yang memungkiri janji mereka dengan nabi Muhammad SAW. adapun mereka yang tidak memungkiri janjinya Maka perjanjian itu diteruskan sampai berakhir masa yang ditentukan dalam perjanjian itu. sesudah berakhir masa itu, Maka tiada lagi perdamaian dengan orang-orang musyrikin.
[23] Yang dimaksud dengan dekat Masjidil Haram ialah: Al-Hudaibiyah, suatu tempat yang terletak dekat Makkah di jalan ke Madinah. pada tempat itu nabi Muhammad saw mengadakan perjanjian gencatan senjata dengan kaum musyrikin dalam masa 10 tahun.