Senin, 24 Januari 2011

R I B A (Bagian Kedua)

E.     Perbedaan Antara Bunga dan bagi Hasil
Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut.[1]

Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil
1.      Bunga
·        Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
·        Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
·        Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
·        Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah ke­untungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang "booming".
·        Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam.
2.      Bagi Hasil
·        Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
·        Besarnya rasio bagi hasil ber­dasarkan pada jumlah keuntung­an yang diperoleh.
·        Bagi hasil bergantung pada ke­untungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
·        Jumlah pembagian laba me­ningkat sesuai dengan peningkat-an jumlah pendapatan.
·        Tidak ada yang meragukan ke-absahan bagi hasil.

F.     Pendapat Para Fuqaha tentang Bunga
Hampir semua majelis fatwa ormas Islam berpengaruh di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, telah membahas masalah riba. Pembahasan itu sebagai bagian dari kepedulian ormas-ormas Islam tersebut terhadap berbagai masalah yang berkembang di tengah umatnya. Untuk itu, kedua organisasi tersebut memiliki lembaga ijtihad, yaitu Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa'il Nahdlatul Ulama.
1.      Al-Jurjani sebagaimana dikutip oleh Masjfuk Zuhdi mendefinisikan riba sebagai: “Kelebihan/ tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi).” Misalnya si A memberi pinjaman kepada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman beserta sekian persen tambahannya. Ada yang membedakan antara riba dan rente/bunga seperti Mohammad Hatta, bahwa Riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan rente/riba untuk pinjaman yang bersifat produktif. Demikian pula istilah usury dan interest, bahwa usury ialah bunga pinjaman yang sangat tinggi, sehingga melampaui suku bunga yang diperbolehkan oleh hukum.

2.      Menurut Ibn al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam al-Qur’an, pengertian al-bathil dalam ayat di atas adalah sebagai berikut: “riba secara bahasa berarti tambahan. Namun yang dimaksud riba dalam Al-Qur’an adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan oleh syari’ah”. Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegetimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai sewa, atau bagi hasil dan kerugian dari sebuah usaha bisnis atau proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena digunakan oleh penyewa.[2]

3.      Badr al-Diin al-Ayni, pengarang kitab ‘Umdat al- Qaari Syarh al-Shahiih al-Bukhaariy, menyatakan: “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syari’ah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis yang riil”. Al-Imam Sarakhasi dari madzhab hanafiah berpendapat: “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwadh (padanan) yang dibebankan syari’ah atas penambahan tersebut”.

4.      Menurut Fuad Fachruddin bahwa rente yang dipungut oleh bank itu haram hukumnya. Sebab pembayarannya lebih dari uang yang dipinjamkannya. Sedang uang yang lebih dari itu adalah riba dan riba itu haram hukumnya. Kemudian dilihat dari segi lain bahwa bank itu hanya tahu menerima untung tanpa risiko apa-apa. Bank meminjamkan uang kemudian rentenya dipungut sedang rente itu semata-mata menjadi keuntungan bank yang sudah ditetapkan keuntungannya. Pihak bank tidak mau tahu apakah orang yang meminjam uang itu rugi atau untung.

5.      Menurut Abu Ahmad Akif, riba adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara literal berarti peningkatan, baik positif maupun negatif. Di dalam Al-Qur’an istilah ini digunakan juga dalam arti peningkatan yang positif (yurbi al-shadaqat); dalam Q.S. Al-Baqarah (2):276). Pernyataannya yang lebih tegas adalah:
a.       Bunga adalah riba yang jelas dilarang oleh agama Islam, tidak peduli dalam bentuk nama apapun atau pendiskripsian apapun. “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
b.      Keuntungan dari pinjaman apapun adalah haram, meskipun pinjaman itu digunakan untuk konsumsi ataupun produksi.
c.       Riba adalah dilarang tanpa melihat kualifikasi atau tingkatannya, dan semua tingkatan riba termasuk dalam segala jenis bunga. Bunga dalam tingkatan apapun yang melampaui 0% adalah riba dan itu dilarang oleh syari’at Islam. Pelarangan riba yang muncul di dalam hukum Islam klasik, bukanlah semata-mata sebagai upaya untuk mencegah kaum kaya mengeksploitasi kaum miskin.[3]

6.      Zuhdi mengutip pendapat Ali Ahmad al-Jurjawi mengenai dampak akibat praktek riba itu, antara lain ialah:
a.       Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin.
b.      Uang modal besar yang dikuasai oleh The Haves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha produkif, misalnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya yang menciptakan lapangan kerja banyak, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak mampu mengembalikan pinjaman dan bunganya.

7.      Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamarnya di Sidoarjo 1968 memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau sebaliknya termasuk syubhat atau mutasyabihat artinya belum jelas halal haramnya. Sesuai dengan petunjuk Hadis Rasulullah kita harus berhati-hati dalam menghadapi hal-hal yang masih syubhat itu. Dengan demikian kita boleh bermuamalah dengan bank apabila dalam keadaan terpaksa saja. Setelah kita perhatikan dalam garis besarnya ada empat pendapat yang berkembang di kalangan ulama mengenai masalah riba ini yaitu Pendapat yang menghararnkan.[4]

8.      Dawam Raharjo dan Ibrahim Hosen bahwa sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah jelas dan shahih, masih saja beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang, diantaranya karena alasan berikut:[5]
a.       Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
b.      Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang, sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak menzalimi, diperkenankan.
c.       Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.
Berkenaan dengan bunga bank ini para ulama dan cendikiawan muslim berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tersebut dapat disimpulkan:
a.       Pendapat Abu Zahrah, Guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, Abul A’la al-Maududi (pakistan), Muhammad Abdullah al-A’rabi, Penasihat Hukum pada Islamic Congress Cairo dan lain-lain yang menyatakan bahwa bunga bank itu riba nasi’ah, yang dilarang oleh Islam. Karena itu tidak boleh bermua’malah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Dan mereka mengharapkan lahirnya bank Islam yang tidak pakai sistem bunga sama sekali.
b.      Pendapat A. Hassan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis) yang menerangkan bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana dinyatakan dalam Surat Ali ‘Imran ayat 130.
c.       Pendapat Majlis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo Jawa Timur Tahun 1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, adalah termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya belum jelas halal/haramnya. Maka sesuai dengan petunjuk Hadis, kita harus berhati-hati menghadapi masalah-masalah yang masih syubhat itu. Karena itu jika kita dalam keadaan terpaksa atau kita dalam keadaan hajjat, artinya keperluan yang mendesak/penting, barulah diperbolehkan bermu’amalah dengan bank dengan sistem bunganya itu sekadarnya saja.[6]
d.      Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung Tahun 1982 memutuskan bahwa: pendapat pertama, sebagai berikut: 1) bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram; 2) bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi, boleh dipungut sementara sistem perbankan yang Islami atau tanpa bunga belum beroperasi; dan 3) bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi, boleh dipungut sebab ada kebutuhan yang kuat (hajah rajihah). Pendapat kedua, 1) bunga konsumsi sama dengan riba, hukumnya haram. Bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal; 2) bunga yang diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal; 3) bunga yang diterima dari deposito yang disimpan di bank, hukumnya boleh; dan 4) bunga bank tidak haram kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.
e.       Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Tahun 1970 menyepakati bahwa praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam, oleh karena itu perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
f.        Akademi Fiqh Liga Muslim Dunia (Majma’ al-fiqh rabithah al-‘alam al-Islamiy) dan Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam, dan Fatwa, Kerajaan Saudi Arabia menyatakan bahwa bunga bank adalah salah satu bentuk riba yang diharamkan.

9.      Menurut pakar perundangan Islam, riba artinya suatu kontrak atas harta tertentu yang tidak diketahui persamaan dan ukurannya ketika akad dilaksanakan, atau melambatkan penyerahan barang yang dipertukarkan atau melambatkan salah satunya. Riba diharamkan oleh agama Islam berdasarkan ketentuan al-Qur’an dan al-Hadits, dan ijma’.[7] Ketentuan umum dalam Islam menjelaskan bahwa ketiga dasar hukum di atas adalah sangat tegas, apalagi dasar yang disebuntukan al-Qur’an bersifat qat’i.

10.  Majelis Tarjih Muhammadiyah : Majelis Tarjih telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi/atau keuangan di luar zakat, meliputi maslah perbankkan (1968 dan 1972), keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan-pinjam (1989).[8] Majelis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan:
a.       Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al-Qur'an dan As-Sunnah;
b.      Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal;
c.       Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat;
d.      Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam.
Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara kepemilikan dan misi yang diemban, sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga bank pemerintah (pada saat itu) relatif lebih rendah dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).[9]

11.  Lajnah Bahsul Masa'il NahdlatuI Ulama : Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutuskan masalah tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini.
a.       Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rente,
b.      Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat,
c.       Syubhat (tidak tentu halal-haramnya), sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.

Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram, keputusan Lajnah Bahsul Masa'il yang lebih lengkap tentang masalah bank ditetapkan pada sidang di Bandar Lampung (1982). Kesimpulan sidang yang membahas tema Masalah Bank Islam tersebut antara lain sebagai berikut,
a.       Para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga bank konvensional.
1).    Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram.
2).    Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh.
3).    Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram).

Pendapat pertama dengan beberapa variasi keadaan antara lain sebagai berikut.
1).    Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram.
2).    Bunga iki sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi, boleh dipungut sementara sistem perbankan yang islami atau tanpa bunga belum       beroperasi.
3).    Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi, boleh dipungut sebab ada kebutuhan yang kuat (hajah rajihah}.

Pendapat kedua juga dengan beberapa variasi keadaan antara lain sebagai berikut.
1).    Bunga konsumsi sama dengan riba, hukumnya haram. Bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
2).    Bunga yang diperoleh dan tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
3).    Bunga yang diterima dari deposito yang disimpan di bank, hukumnya boleh.
4).    Bunga bank tidak haram kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.

12.  Majelis Tarjih Wiradesa, Pekalongan (1972) memutuskan:
a.       Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan Majelis Tarjih di Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam;
b.      Mendesak Majelis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi tersebut dalam muktamar yang akan datang.

Masalah keuangan secara umum ditetapkan berdasarkan keputusan Muk­tamar Majelis Tarjih Garut (1976). Keputusan tersebut menyangkut bahasan pengertian uang atau harta, hak milik, dan kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan-pinjam dibahas dalam Muktamar Majelis Tarjih Malang (1989). Keputusannya: koperasi simpan-pinjam hukum­nya adalah mubah karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan-pinjam bukan termasuk riba. Berdasarkan keputusan Malang di atas, Majelis Tarjih PP Muhammadi­yah mengeluarkan satu  tambahan keterangan, yakni bahwa tambahan pembayaran atau jasa yang diberikan oleh peminjam kepada koperasi simpan-pinjam bukanlah riba. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, perlu mengingat beberapa hal. Di antaranya, hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak nielampaui laju inflasi.


                [1] Abdul   Manan, Islamic Economic, Penerjemah, Dana Bakhti Waqaf, Yogyakarta, 1985, hlm, 70.
                [2] Menurut Ibn al-Arabi al-Maliki, Ahkam al-Qur’an,
                [3] M.Syafi’I Antonio, Op, Cit, hlm. 77.
                [4] Sidang Muktamar, Majelis Tafjih Muhammadiah, Sidoarjo, 1968.
                [5] Muhammad   Qurais Shihab, Membumikan Al Quran, Mizan, Bandung, 1997, hlm. 258.
                [6] Pendapat Majlis Tarjih Muhammadiyah, Sidoarjo, Jawa Timur, 1968.
                [7] Karnaen Perwataatmadja, “Apakah Bunga sama dengan Riba?”, Kertas Kerja Seminar Ekonomi Islam, LPPBS, Jakarta, 1997. hlm. 56.
                [8] Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Lembaga Study Agama dan Filsafat, Jakarta, 1999, hlm126.
                [9] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammaddiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995, hlm 225.