Rabu, 20 April 2011

Aspek-Aspek Filosofi Tentang Korelasi Iman dan Mencari Harta

Nara Sumber : Ade Setiawan, S.H.I.[1]

Download This File : 
By Ziddu - here ( Ms. Word )
By Mediafire - here ( pdf )

Qur'an in Word Tool ( Must installed ) - here
Klik aja SKIP-AD / LEWATI setelah 5 detik, trims....

Pendahuluan

Sejak manusia lahir ke dunia sudah memerlukan materi (harta) sebagai bekal hidup, karena manusia perlu makan, pakaian, dan papan (rumah tempat berlindung), pada zaman lampau tututan hidup manusia tidaklah sebanyak sekarang ini, sekarang ini banyak orang yang tergoda melihat berbagai hasil teknologi moderen dan ingin pula memilikinya, bahkan karena pengaruh lingkungan banyak orang yang memaksakan dirinya untuk mendapatkannya, walaupun pada hakikatnya belum dapat terjangkau.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia memang ingin memiliki harta supaya keperluannya terpenuhi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 14. Semua keinginan manusia yang disebutkan pada ayat tersebut adalah sesuatu yang wajar, karena demikianlah kecendrungan hati manusia.

Di dalam agama Islam tidak ada suatu pembatasan untuk memiliki harta dan tidak ada larangan untuk mencari karunia Allah sebanyak-banyaknya asal jelas penyaluran dn pemanfaatannya. Sebab sebenarnya Allah secara langsung atau tidak memerintahkan hamba-hamba-Nya ini menjadi orang yang berada (kaya).

Sebab bagaimana mungkin manusia diperintahkan membayar zakat tanpa adanya harta, bagaimana mungkin manusia malaksanakan ibadah haji tanpa adanya dana yang lumayan besar, dan bagaimana mungkin manusia membnagun masjid, sekolah, rumah sakit, dan sarana-sarana lainnya tanpa adanya dana yang diperlukan dalam jumlah yang amat besar.
           

Pembahasan

A.        Dasar Hukum Korelasi Iman Dengan Pencarian Harta

Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang harta yang dapat dijadikan dalil mengenai korelasi iman dengan mencari harta; sebagai berikut.

Q.S. Ali-Imraan : 14

Terjemahan :
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Q.S. Ali-Imran :14)


Q.S. Al-A’raaf : 32

Terjemahan :
“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-A’raaf : 32)


Q.S. Al-BAqarah: 198

Terjemahan :
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”  (Q.S. Al-BAqarah: 198)


Q.S. Al-Kahfi: 46

Terjemahan :
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”  (Q.S. Al-Kahfi: 46)


B.        Pengertian Harta

Harta diartikan, segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam manfaat. Demikianlah pengertian secara etimologi, sebagaimana yang dikemukakan dalam Ensiklopedi Hukum Islam.

Sedangkan secara terminologi harta adalah sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan (dimanfaatkan) pada saat diperlukan. (Ibnu Abidin dari golongan Hanafi) sedangkan menurut Ulama Hanafi yang lainnya harta didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat dihimpun, disimpan (dipelihara) dan dapat dimanfaatkan menurut adat (kebiasaan)[2].

Menurut Jumhur Ulama selain Hanafiyah, harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan diwajibkan ganti rugi bagi orang yang merusakkannya atau menghilangkannya. Hal ini berkaitan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 29:

Terjemahan :
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. al-Baqarah:29)

Kandungan ayat di atas adalah, bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah di muka bumi ini adalah untuk dimanfaatkan oleh umat manusia.


C.        Kedudukan Harta dan Fungsinya

Harta mempunyai kedudukan yang amat pemting dalam kehidupan manusia, harta (uang) lah yang dapat menunjang segala kegiatan manusia, trmasuk untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia.

Sekiranya kita berbicara mengenai harta lebih jauh lagi, maka pembangunan semesta yang didambakan oleh umat manusia ini, tidak akan terlaksana tanpa harta, walaupun demikian, harta bukanlah satu-satunya yang diandalkan dalam mewujudkan pembangunan (material-spiritual) karena masih ada faktor lain yang ikut menentukan.

Harta adalah termasuk ke dalam lima kebutuhan pokok manusia, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan (keturunan), dan harta. Begitu pentingnya memelihara harta, sehingga Islam mengharamkan perolehan harta dengan cara yang bathil seperti mencuri, menipu, menjalankan dan memakan riba, merusak harta baik milik sendiri maupun milik orang lain.

Untuk memperoleh harta disyari’atkan melalui usaha-usaha atau cara yang halal seperti bertani, berdagang, mengelola industri dan masih banyak lagi usaha-usaha yang halal lainnya.

Kemudian manusia diberi kesempatan oleh Allah untuk memiliki harta, banyak atau sedikit, seseorang tidak boleh sewenang-wenang dalam mengunakan hartanya itu, kebebasan seseorang untuk memiliki dan memanfaatkan hartanya tersebut dibatasi oleh yang dibenarkan syara’, disamping untuk kepentingan pribadi, juga harus ada melimpahkan kepada pihak lain,seperti menunaikan zakat, memberikan infaq dan shadaqah untuk kepentingan umum dan untuk orang-orang yang memerlukan bantuan seperti fakir-miskin dan anak yatim. Hal ini berarti bahwa harta juga berfungsi sosial[3].


D.        Macam-Macam Harta

Ulama fiqih membagi harta menjadi beberapa macam[4].
1.      Dilihat dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut Syara’, harta terdiri atas;
a.       Halal untuk dimanfaatkan
b.      Tidak halal untuk dimanfaatkan
Perbedaan pembagian harta tersebut di atas akan terlihat jelas dalam hal keabsahan pemanfaatan harta tersebut menurut syara’. Bangkai babi dank homer bukanlah harat yang halal dimanfaatkan dalam Islam. Oleh karena itu, tidak sah dilakukan akad terhadap benda-benda tersebut.
2.      Dilihat dari segi jenisnya, harta terdiri atas;
a.       Harta yang tidak bergerak seperti tanah dan rumah.
b.      Harta yang bergerak seperti barang dagangan
3.      Dilihat dari segi pemanfaatannya, harta terdiri dari;
a.       Harta yang pemanfaatannya tidak menghabiskan benda tersebut dan tetap utuh, seperti rumah, lahan pertanian.
b.      Harta yang pemanfaatannya menghavbiskan benda tersebut, seperti makanan, pakaian, minuman dan lainnya.


E.         Korelasi Iman Dalam Mencari Harta

Budaya kerja Islam bertumpu pada Akhlakul Karimah maka umat Islam akan menjadikan akhlak sebagai energi batin yang terus menyala dan terus mendorong setiap langkah kehidupannya dalam koridor jalan yang lurus dengan semangat Minallah, Fi Sabilillah, Ilallah (dari Allah, dijalan Allah, dan untuk Allah). Oleh sebab itu ada hubungan yang amat erat dan terpisahkan antara Iman dalam mencari harta yang dilakukan oleh umat Islam[5]:

1.      Ilahiyah
Ekonomi Islam adalah ekonomi Ilahiyah, sehingga dalam pencarian harta pun senantiasa tidak lain hanya disebabkan untuk mencari ridho Allah SWT, dan tidak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta tersebut sekehendak diri sendiri tanpa memperhatikan koridor-koridor Syari’ah yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. 

2.      Menghargai Waktu
Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang menghayati, memahami, dan merasakan betapa pentingnya waktu, baginya waktu adalah aset Illahiah yang sangat berharga, adalah ladang subur yang membutuhkan ilmu dan amal untuk diolah serta dipetik hasilnya. Bila kita menghargai waktu berarti kita sedang berada di atas jalan keberuntungan, hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an.

Terjemahan :
 “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (Q.S. Al-‘Ashr : 1-3)

Seorang muslim bagaikan kecanduan waktu, dia tidak mau ada waktu yang hilang dan terbuang tanpa makna, jiwanya merintih bila ada satu detik yang hilang tanpa makna, baginya waktu adalah rahmat yang tak terhitung.

Al-Qur’an meminta setiap muslim untuk memperhatikan dirinya dalam rangka persiapan menghadapi hari esok, secara sederhana salah satu bukti mengaktualkan ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan wakltu tersebut tampaklah bahwa setiap muslim adalah manusia yang senang menyusun jadwal harian, mampu merencanakan dan memprogram kerjanya[6].

Seorang yang memiliki etos kerja sadar betul bahwa kehadiran dirinya di muka bumi bukanlah hanya sekedar untuk “Being”, melainkan ada semangat yang menggelora diseluruh pori-pori tubuhnya untuk mengisi waktu menuju kepada tingkatan Becoming dan akhirnya memperoleh nilai disisi Allah, menjadi bagian dari khairu Ummah.

3.      Memiliki moralitas yang bersih (ikhlas)
Salah satu moral yang dimiliki seseorang yang berbudaya kerja Islami itu adalah nilai keikhlasan. Ikhlas yang berasal dari bahasa arab tersebut mempunyai arti bersih, murni (tidak terkontaminasi) sebagai antonim dari syirik. Ikhlas merupakan bentuk dari cinta, bentuk kasih sayang, dan pelayanan tanpa ikatan. Cinta yang putih adalah bentuk keikhlasan yang tidak ingin menjadi rusak karena tercampur hal lain selain terpenuhinya dahaga cinta.

Sikap ikhlas bukan hanya output dari cara dirinya melayani, melainkan juga input atau masukan yang membentuk kepribadiannya didasarkan pada sikap yang bersih. Bahkan cara dirinya mencari rizki, makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuhnya adalah bersih semata-mata. Dengan demikian ikhlas merupakan energi batin yang akan membentengi diri dari segala bentuk yang kotor (rizsun) sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Muddatstsir ayat 5[7].

Termasuk syirik adalah cara seseorang mencari rizki yang haram. Korupsi dan penipuan yang lain juga pada dasarnya adalah syirik secara amali karena mereka tidak mampu menepis godaan setan untuk melakukan perbuatan keji tersebut. Bahkan dengan korupsi, berbohong atau menipu pada hakikatnya seseorang tersebut telah menjadi hamba setan walaupun setiap saat sampai berbusa mulutnya ia berkata “Iyyaka na’budu”.

4.      Jujur.
Imam Al-Qusairi mengatakan bahwa kata shadiq “orang yang jujur” berasal dari kata shidq “kejujuran”. Kata Shiddiq adalah bentuk penekanan (mubalaghah) dari shadiq dan berarti orang yang didominasi kejujuran. 

Dengan demikian di dalam jiwa seseorang yang jujur itu terdapat komponen nilai ruhani yang memantulkan berbagai sikap yang berpihak kepada kebenaran dan sikap moral yang terpuji (morally upright). Dirinya telah dibelenggu, dikuasai, dan diperbudak oleh kejujuran. Dia merasa bangga menjadi hamba Allah (‘Abdullah). Dia merasa merdeka karena terpenjara oleh kejujuran karena tindakan yang menyimpang dari nilai ruhani kejujurannya itu berarti dia telah menghianati diri dan keyakinannya sendiri sebab orang tidak jujur berarti menipu dirinya sendiri dihadapan Allah SWT.

5.      Adil
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah Al-Qur’an yang menegaskan, sebagaimana firman Allah berikut ini :

Terjemahan :
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (Q.S. Al-Maidah : 8)

Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian dibuat oleh para pihak. Sering kali di zaman modern akad ditutup oleh satu pihak  dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausul akad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaannya akan timbul kerugian kepada pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam hukum Islam konterporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dapat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan untuk itu.[8]

6.      Amanah
Dengan asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak sekali objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang amat spesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditransaksikan, pihak lain yang menjadi mitra transaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya. Profesi kedokteran, terutama dokter spesialis, misalnya hanya diketahui dan dikuasai oleh dokter saja.

Masyarakat umum tidak mengetahui seluk beluk profesi tersebut. oleh karena itu, ketika seorang pasien sebagai salah satu pihak transaksi akan diterapkan suatu metode  pengobatan dan penaganan penyakitnya, sang pasien sangat tergantung kepada informasi dokter untuk mengambil keputusan menjalani metode tersebut. Begitu pula terdapat barang-barang canggih, tetapi juga mungkin menimbulkan resiko berbahaya bila salah penggunaannya. Dalam hal ini, pihak yang bertransaksi dengan objek barang tersebut sangat bergantung kepada informasi produsen yang menawarkan barang tersebut. Oleh karena itu, dalam kaitan ini dalam hukum perjanjian Islam dituntut adanya sikap amanah pada pihak yang menguasainya untuk memberi informasi yang sejujurnya kepada pihak lain yang tidak banyak mengetahuinya.

Dalam hukum Islam, terdapat suatu bentuk perjanjian yang disebut perjanjian amanah, salah satu pihak hanya bergantung kepada  informasi jujur dari pihak lainnya  untuk mengambil keputusan untuk menutup perjanjian beresangkutan. Di antara ketentuannya, adalah bahwa bohong atau penyembuyian informasi yang semestinya disampaikan dapat menjadi alasan pembatalan akad bila dikemudian hari ternyata informasi itu tidak benar yang telah mendorong pihak lain untuk menutup perjanjian. Contoh paling sederhana dalam hukum Islam adalah akad murabahah, yang merupakan salah satu bentuk akad amanah. Pada zaman sekarang wilayah akad amanah tidak saja hanya dibatasi pada akad seperti murabahah, tetapi juga meluas kedalam akad takaful (asuransi) bahkan juga banyak akad yang pengatahuan mengenai objeknya hanya dikuasai oleh salah satu pihak saja.

7.      Memiliki komitmen
Yang dimaksudkan dengan commitment (dari bahasa latin : Commitere, to connect, entrust-the state of being obligatet or emotionally impelled) adalah keyakinan yang mengikat (Aqad) sedemikian kukuhnya sehingga membelenggu seluruh hati nuraninya dan kemudian menggerakkan perilaku menuju arah tertentu yang diyakininya (I’tiqad).
Goldman mengidentifikasikan ciri-ciri orang yang berkomitmen antara lain sebagai berikut;[9]
a.       Siap berkorban demi pemenuhan sasaran perusahaan yang lebih penting.
b.      Merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar.
c.       Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan penjabaran pilihan-pilihan.

8.      Istiqamah, Kuat Pendirian
Pribadi muslim yang professional dan berakhlak memiliki sikap konsisten (dari bahasa latin consistere; harmony of conduct or practice with profession; ability to be asserted together without contradiction), yaitu kemampuan untuk bersikap secara taat asas, pantang menyerah, dan mampu mempertahankan prinsip serta komitmennya walau harus berhadapan dengan resiko yang membahayakan dirinya.

Mereka mampu mengendalikan diri dan mengelola emosinya secara efektif. Tetapi teguh pada komitment, positif, dan tidak rapuh kendati berhadapan dengan situasi yang menekan. Sikap konsisten telah melahirkan kepercayaan diri yang kuat serta integritas serta mapu mnegelola stress dengan penuh gairah.

Seseorang yang istiqamah tidak mudah berbelok arah betapa godaan untuk mengubah tujuan begitu memikatnya, dia tetap pada niat semula. Istiqamah berarti berhadapan dengan segala rintangan masih tetap Qiyam (berdiri). Konsisten berarti tetap menapaki jalan yang lurus meskipun sejuta halangan menghadang, ini bukan idelisme tetapi sebuah karakter yang melekat pada jiwa setiap prinadi muslim yang memiliki semangat tauhid Laa ilaaha illallah.


Kesimpulan

Dari uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Secara terminologi harta adalah sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan (dimanfaatkan) pada saat diperlukan. (Ibnu Abidin dari golongan Hanafi) sedangkan menurut ulama Hanafi yang lainnya harta didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat dihimpun, disimpan (dipelihara) dan dapat dimanfaatkan menurut adat (kebiasaan)[10]. Sedangkan Menurut Jumhur Ulama selain Hanafiyah, harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan diwajibkan ganti rugi bagi orang yang merusakkannya atau menghilangkannya.

2.      Adapun korelasi atau hubungan iman dengan mencari harta adalah sebagai berikut;
a.       Hubungan Ilahiyah antara manusia dengan sang Khaliq, sehingga dalam pencarian harta akan dilandaskan kepada mencari ridho Allah semata.
b.      Menghargai waktu
c.       Memiliki moralitas yang bersih
d.      Jujur
e.       Adil
f.        Amanah
g.       Memiliki komitmen
h.       Istiqamah, kuat pendirian



Editing Text By: Rachmad Aqsa, S.H.I.
Tanpa ada perubahan, sesuai dengan aslinya.



[1] Mahasiswa Program Pasca Sarjana (PPS) Institut Agama Islam Negeri (Iain) Raden Intan Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah
[2] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada, (Jakarta:2003). Hal. 1-4
[3] Ibid., hal. 20
[4] Ibid., hal. 28-30
[5] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Bab. 12. Bandung: PT Alma’arif , 1987, hlm.46-47.
[6] M. Antonio Syafi’I Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Gema Insani 2001
[7] “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah”. Zulkifli Sunarto, Panduan praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, Zikrul Hakim 2003.
[8] Lihat bahasan Bab XI B angka 2.
[9] Abdul Mannan, Teori dan Peraktik Ekonomi Islam, PT. Dana Bhakti Wakaf, (Yogyakarta:1993).
[10] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada, (Jakarta:2003). Hal. 1-4