Rabu, 20 April 2011

Pengertian dan Signifikasi Ilmu Fiqih, Karakteristik dan Klasifikasi Objek Kajian Ilmu Fiqih.

Nara Sumber : Ade Setiawan, S.H.I.[1]


Pengertian dan Signifikasi Ilmu Fiqih

Fiqih, menurut bahasa, bermakna : tahu dan paham. Sedangkan menurut istilah, ialah ilmu syari’at.[2] Yang dimaksud dengan kata syari’at disini ialah : yang bermakna istilahi yang khusus, yaitu : yang disebut fiqih Islam. Sebenarnya lafadz Syari’at diberbagai tempat, diartikan dengan agama yang disyari’atkan Allah untuk para hamba yang melengkapi hukum I’tiqadiyah, khuluqiyah, dan Amalaiyah, yang berpautan dengan perbuatan, perkataan, perikatan, tasharrufnya dan lain-lain. Orang yang mengetahui ilmu fiqih dinamai Faqih.

Fiqih, secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potesi akal. Sedangkan dalam buku Fiqih mua’malah arti fiqih secara bahasa adalah paham.[3] Adapun pengertian fiqih secara terminologi, pada mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah (Ushuliah) maupun amaliah (Furu’ah). Ini berarti fiqih sama dengan pengertian Syari’ah Islamiah. Pada perkembangan selanjutnya fiqih merupakan bagian dari Syari’ah Islamiah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (Mukallaf) dan diambil dari dalil yang terperinci.

Untuk lebih jelasnya tentang definisi fiqih secara terminologi dapat dikemukakan pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu:
1)   “Ilmu tentang hukum Syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.”
2)  “Himpunan hukum Syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari dalil-dalinya yang terperinci.”
3)  Imam Haramain dan Al-Amidi mengemukakan : bahwa fiqih adalah pengetahuan hukum syara’ melalui penalaran (nadjar dan istidlal). Pengetahuan hukum yang tidak melalui ijtihad (kajian), tetapi yang bersifat daruri, seperti shalat lima waktu itu wajib, zinah itu haram, dan sebagainya. Setiap masalah yang qath’i bukan merupakan bahasan fiqih.
4)   Para fuqaha (Jumhur Mutaakhirin) mentra’rifkan fiqih dengan: “Ilmu yang menerangkan hukum-hukum Syara’ yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang tafshil.”[4] Fiqih dalam Syara’, ialah: orang yang sudah mempunyai malakah.
5)  Sedangkan Imam Syafi’i memberikan defenisi yang komprehensif, yaitu:  Mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang didapatkan dari dalil-dali yang terperinci”.[5]
6)  Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf mengemukakan defenisi fiqih sebagai yurisprudensi atau kumpulan hukum-hukum syari’at Islam mengenai perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalilnya secara rinci.[6]

Jadi definisi ilmu fiqih menurut istilah syara’ ialah : pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at Islam mengenai perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalilnya secara rinci.

Definisi pertama menunjukkan bahwa fiqih dipandang sebagai ilmu yang berusaha menjelaskan hukum. Sedangkan definisi kedua menunjukkan fiqih dipandang sebagai hukum. Hal ini terjadi karena adanya kemiripan antara fiqih sebagai ilmu dan fiqih sebagai hukum. Ketika fiqih didefinisikan sebagai ilmu, diungkapkan secara deskriptif. Manakala didefinisikan sebagai hukum dinyatakan secara deskriptif.

Fiqh begitu signifikan bagi kehidupan umat. Hal ini terjadi karena fiqh merupakan piranti pokok yang mengatur secara mendetail perilaku kehidupan umat selama dua puluh empat jam setiap harinya. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa fiqh adalah “Islam kecil” sedang Islam itu sendiri sebagai “fiqh besar” dalam konteks bahwa Islam sebagai the way of life para pemeluknya.


Karakteristik / ciri-ciri fiqih

Dengan seksama para ulama telah meneliti ciri-ciri khas fiqih Islam dan keistimewaan-keistimewaannya. Maka diantaranya ada yang kembali kepada tabi’i fiqih itu sendiri dan ada yang kembali kepada jalan yang dilalui fiqih menuju puncak kesempurnaan. Maka dengan ringkas dapat kita simpulkan ciri-ciri khas fiqih itu dalam beberapa kesimpulan[7]:
1)   Bahwa fiqih Islam pada dasarnya kembali kepada wahyu Ilahi
2)   Bahwa fiqih Islam didorongpelaksanaannya oleh aqidah dan akhlak
3)   Bahwa pembalasan yang diperoleh dari melaksanakan hukum-hukum fiqih Islam adalah dunia dan akhirat
4)   Bahwa naz’ah (tabi’at kecenderungan) fiqih Islam adalah jama’ah
5)   Bahwa fiqih Islam menerima perkembangan sesuai dengan masa dan tempat
6)   Bahwa fiqih Islam tidak dipengaruhi oleh undang-undang buatan manusia, baik Romawi maupun yang lain-lain
7)  Bahwa tujuan susunan hidup manusia yang khusus dan umum, mendatangkan kebahagiaan alam seluruhnya.

Diantara peraturan-peraturan yang disusun Islam itu, ialah: fiqih. Maka dasar fiqih ini adalah wahyu Allah, yakni wahyu yang kita dapati didalam Al-Qur’an dan sunnatur Rosul. Selain itu karakteristik fiqih dapat dilihat dari maksud kata-kata yang menjadi rangkaian takrif sebagai berikut[8]:
1)   Segala hukum didalam takrif ialah segala perbuatan yang diberikan hukum dan segala hukumnya
2)   Hukum syara’ ialah segala hukum yang diambil dari syara’ yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw
3)   Fiqih merupakan suatu hukum yang berhubungan dengan perbuatan (‘amaliyah) ialah yang berhubungan dengan cara mengerjakannya, baik perbuatan itu berhubungan dengan hati sekalipun, seperti niat umpamanya
4)   Fiqih merupakan hukum yang diperoleh dari dalil-dalil yang jelas, yaitu diperoleh dari kitabullah, sunnah yang bersifat juz-i, ijma’ dan qiyas.


Objek Kajian dan klasifikasi Objek Kajian Fiqih

Hukm-hukum fiqih mencakup segala aspek kehidupan manusia. Maka masalah-masalah fiqih dalam garis besarnya, dibagi dua[9]:
1)   Ibadat, yaitu: segala persoalan yang berpautan dengan urusan akhirat. Jelasnya segala perbuatan yang dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti: shalat, shiyam, zakat, dan haji.
2)   Mu’amalat, yaitu: segala persoalan yang berpautan dengan urusan-urusan dunia dan undang-undang.

Dengan peninjauan yang singkat ini dapatlah kita menetapkan bahwa ilmu fiqih membahas :
1)      Hukum-hukum syara’ yang amaliyahnyang telah dijelaskan oleh Al Kitab dan As Sunnah.
2)      Hukum-hukum yang tidak dinaskahkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah.

Kemudian jika kita perhatikan baik-baik : pembahasan fiqih, kita bagi secara terperinci, dan kita tafshilkan pembahasan-pembahasannya, terbagilah ia kepada delapan bagian.
1)   Hukum yang menyangkut ibadat, yaitu : shalat, shiyam, zakat, hajji, jihad, dan nazar.
2)   Hukum yang berpautan dengan kekeluargaan (ahwal syakhsyiah); seperti perkawinan,talak, nafakah, wasiat, dan pusaka.
3)   Hukum mengenai mu’amalat madaniyah, seperti jual-beli, sewa-menyea, hutang-piutang, gadai, syuf’ah, hawalah, kafalah, mudlarabah, memenuhi aqad dan menunaikan amanat.
4) Hukum-hukum yang mengenai kekayaan Negara yaitu kekayaan yang menjadi urusan baitulmal, penghasilannya macam-macam harta yang ditempatkan dalam baitulmal dan pos-pos pembelanjaannya.
5)  Hukum-hukum yang dinamai ‘uqubat, (hukum-hukum yang disyari’atkan untuk memelihara jiwa, kehormatan, dan akal manusia) seperti hukum qisas, had, dan ta’zier.
6) Hukum-hukum yang mengenai acara pengadilan yaitu : cara mengajukan gugatan, peradilan, pembuktian, dan saksi.
7)  Hukum-hukum yang dimasukan ke dalam bidang hukum tata Negara, seperti : syarat-syarat menjadi kepala Negara, hak-hak penguasa, hak-hak rakyat, dan permusyarakatan.
8)  Hukum-hukum yang menyangkut hubungan antar bangsa (Hukum Internasional), seperti : hukum-hukum perang, tawanan, rampasan perang,perdamaian, perjanjian, jizyah, cara-cara memperlakukan ahluz zimmah dan lain-lain.

Cara Menyikapi Keberagaman Corak Pemahaman Fiqih.

Fakta di lapangan memang terdapat banyak sekali perbedaan dalam memahami suatu dalil nash baik itu al-Qur’an dan al-Hadits sehingga menimbulkan beberapa perbedaan dalam merumuskan hukum yang terkandung didalam nash tersebut, hal ini disebabkan oleh beragamnya tingkat ilmu dan pengetahuan seseorang.

Dengan perbedaan potensi intelektual tersebut, mustahil semua orang bisa menarik kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan nas-nas syariah. Belum lagi ungkapan dan gaya bahasa (uslûb) al-Quran dan Hadis Nabi yang nota bene berbahasa Arab mempunyai potensi multi-interpretasi (ta’wîl), baik karena faktor ungkapan maupun susunan (tarkîb)-nya.

Dalam menyikapi fakta ini agar terhindar dari adanya bentrokan antar kelompok dalam Islam adalah dengan memposisikan fikih dan fuqaha’ pada posisi sejajar, sebagaimana yang pertama digariskan oleh syariah dan diejahwentahkan oleh para Sahabat. Dengan posisi tersebut, tak ada satu pun fikih dan fuqaha’ yang dilebihkan satu sama lain. Sebab, mereka masing-masing adalah mujtahid. Masing-masing akan mendapatkan pahala dan harus diberi ucapan selamat, ketika benar, dan tetap mendapatkan pahala, dan harus dimaafkan, jika kemudian terbukti salah. Selain itu kita juga harus saling menghargai perbedaan pendapat yang diyakini oleh orang lain selama tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an dan al-Hadits.


Editing Text By: Rachmad Aqsa, S.H.I.
Tanpa ada perubahan, sesuai dengan aslinya.

[1] Mahasiswa Program Pasca Sarjana (PPS) Institut Agama Islam Negeri (Iain) Raden Intan Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah
[2] Hasan Ahmad Al-Khatib, Al-Fiqhul Muqarahan. Hal. 8
[3] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, Pustaka Pelajar: Yogjakarta, 2008 hal. xiii
[4] Al-Ghazali, Al-Musthashfa, Jilid I, hal. 24
[5] Muqoddim, Pengantar Fiqih Muamalah
[6] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqih) PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 2
[7] Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, PT. Bulan Bintang , Jakarta: 1967 hal. 152-153
[8] Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, PT. Pustaka Rizki Putra , Semarang: 1997 hal. 22.
[9] Ibid, hal. 30-34