Jumat, 24 Juni 2011

HADITS SAHIH DAN HADITS HASAN


Posted Makalah By: Ade Setiawan
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Lampung
Konsentrasi : Hukum Bisnis dan Keuangan Syari’ah
At: 16 Juni 2011

PENDAHULUAN

Hadits merupakan segala ucapan Nabi SAW, segala perbuatan beliau, segala taqrir (pengakuan) beliau, dan segala keadaan beliau, inilah definisi hadits yang pada umumnya disepakati oleh ulama hadits. Sedangkan menurut ulama ushul, hadits berarti segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi SAW yang bersangkut paut dengan hukum. Oleh sebab itu hadits dijadikan sumber hukum yang kedua bagi umat Islam setelah al-Qur’an, dimana hadit-hadits tersebut bermacam-macam tingkatannya untuk menentukan diterimanya hadits tersebut.
Para Muhaditsin, dalam menentukan diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena hadits itu sampai kepada kita melalui mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya. Oleh karena itu, haruslah terpenuhi syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut.
Syarat-syarat termaksud kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan sebagai ukuran untuk mengetahui dapat diterima atau ditolaknya suatu hadits, dilengkapi dengan teknik penerapannya atas keadaan sanad dan matan hadits.
                       

PEMBAHASAN
1.      Hadits Shahih
Pengertian
Menurut bahasa sahih berarti : sehat, selamat dari aib, benar atau betul. Menurut istilah arti hadits sahih ialah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabith, serta tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan cacat. Demikian menurut imam Nawawi, berdasarkan kaidah yang dibuat oleh Ibnu Shalah.[1]
Para ulama telah memberikan definisi hadits sahih yang telah diakui dan telah disepakati kebenarannya oleh para ahli hadits. Namun berikut ini merupak definisi yang bebas dari cacat dan kritik, sebagai berikut ;

hadits sahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi lain yang (juga) adil dan dhabith sampai akhir sanad dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).[2]

Syarat-Syarat Hadits Sahih
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diketahui syarat-syarat sebuah hadits sahih, yaitu sebagai berikut :
1)   Sanad hadits itu harus bersambung (‘Ittishalul Isnad). Maksudnya, sanad hadits itu sejak dari mukharrijnya sampai kepada nabi tidak ada yang terputus. Karenanya, hadits munqathi’, mu’dlal, mu’allaq, mudallas dan sebangsanya tidaklah termasuk hadits sahih. Jadi hadits Nabi yang berkualitas sahih haruslah berupa hadits musnad dan bukan sekedar hadits muttashil. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan bahwa setiap hadits musnad, pasti hadits muttashil, dan tidak setiap hadits muttashil pasti hadits musnad. Sebab, hadits muttashil adakalanya marfu’ dan adakalanya tidak, sedangkan hadits musnad pasti marfu’nya. Kemudian, adakalanya muttashil dan adakalanya tidak muttashil, sedangkan hadits musnad pasti muttashil.
2)      Para Perawi yang meriwayatkan hadits itu, haruslah orang yang bersifat adil, (kepercayaan). Arti adil disini ialah memilik sifat-sifat; pertama, istiqamah dalam agamanya (Islam). kedua, akhlaqnya baik. Ketiga, tidak fasiq (antara lain tidak banyak melakukan dosa-dosa kecil, apalagi besar). Keempat, memelihara muru’ahnya (memelihara kehormatan dirinya). Jadi arti adil disini bukanlah seperti pengertian umum, yakni wadla’a kulla syay’in fi mahallihi atau meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, tetapi mengandung aspek-aspek seperti yang tersebut di atas.
3)  Para perawi yang meriwayatkan hadits itu, haruslah bersifat dlabith. Arti dlabith disini ialah memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dan hafal dengan baik apa yang diriwayatkannya itu, serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki. Gabungan dari sifat adil dan dlabith, biasa disebut dengan tsiqah atau tsabat. Jadi, orang yang tsiqah, pasti adil dan dlabith, tetapi orang yang adil saja atau dlabith saja belum termasuk pada orang yang tsiqah.
4) Apa yang berkenaan dengan periwayatan hadits itu, tidak ada kejanggalan-kejanggalan (syudzudz). Yang dimaksud dengan syudzudz adalah apa yang sebenarnya berlawanan dengan prikeadaan yang terkandung dalam sifat tsiqah, atau bertentangan dengan kaidah-kaidah yang telah berlaku secara umum, atau bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.
5)      Apa yang berkenaan dengan periwayatan hadits itu, tidak ada sama sekali cacatnya.

Tingkatan Hadits Sahih
Sebagian ulama membagi tingkatan hadits sahih, berdasarkan kepada kriteria yang dipedomani oleh para mukharrij (perawinya yang terakhir yang membukukan) hadits sahih tersebut kepada tujuh tingkatan yaitu sebagai berikut:[3]
1)      Hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
2)      Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari saja.
3)      Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim saja.
4)      Hadits yang diriwayatkan sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.
5)      Hadits yang diriwayatkan menurut persyaratan Bukhari.
6)      Hadits yang diriwayatkan menurut persyaratan Muslim.
7)      Tingkatan selanjutnya adalah hadits sahih menurut imam-imam hadits lainnya yang tidak mengikuti persyaratan Bukhari dan Muslim, seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban.

Pembagian atau Macam-Macam Hadits Sahih
Hadits sahih terbagi menjadi dua macam, yaitu hadits sahih li-dzatihi dan hadits sahih li-ghairihi.
1)      Hadits sahih li-dzatihi
Yaitu hadits yang karena keadaan dirinya sendiri telah memenuhi sepenuhnya lima syarat hadits sahih sebagaimana telah dikemukakan di atas. Contoh :

Rasulullah bersabda : “yang dimaksud dengan orang Islam (Muslim) ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya, baik dengan lidahnya maupun dengan tangannya; dan yang dimaksud denan orang yang berhijrah (Muhajir) adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah”.
Hadits ini jika dilihat dari jumlah perawinya, termasuk hadits masyhur, sebab hadits ini antara lain di riwayatkan oleh Bukhari dengan sanad sebagai berikut; Adam bin Iyas, Syu’bah, Isma’il dan Ibnu Safar, As-Sya’by, Abdullah bin Amr bin Ash.

2)      Hadits Sahih li-Ghairihi
Yaitu hadits yang pada dirinya sendiri belum mencapai kualitas sahih, misalnya hanya berkualitas hasan li-dzatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi hadits sahih li-ghairihi. Misalnya, dua buah hadits yang semakna dan sama-sama berkualitas hasan lidzatihi, atau sebuah hadits hasan li-dzatihi kamudian ada ayat yang beresuaian benar dengan hadits tersebut, maka kualitas hadits itu meningkat menjadi hadits sahih li-ghairihi. Demikian juga, bila ada hadits hasan li-ghairihi bersesuaian dengan hadits sahih li-dzatihi, maka dilihat dari jurusan hadits yang tadinya berkualitas hasan tersebut, menjadilah ia sebagai hadits sahih li-ghairihi. Sedang yang tadinya berkualitas sahih li-dzatihi, tetap kualitasnya sebagaimana asalnya. Contoh :

Sekiranya tidak akan memberatkan kepada umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersikat gigi setiap menjelang shalat.

Salah seorang rawi dari sanad hadits ini, ada yang bernama Muhammad bin Amr binAl-Qamah. Dia termasuk orang yang kepercayaannya, tetapi hafalannya oleh ulama diperselisihkan kesempurnaannya. Tetapi, rawi-rawinya yang lain pada sanad itu, semuanya tsiqah. Karenanya, kualitas hadits tersebut hasan li-dzatihi. Kemudian ada sanad yang lain yang memuat hadits tersebut. Maka dengan demikian, hadits tersebut meningkat derajatnya menjadi hadits sahih li-ghairihi.

  1. Hadits Hasan
Pengertian
Hasan secara etimologi adalah merupakan shifat musyabbahah yang berarti al-jamal, yaitu indah, bagus, sedangkan pengertian hadits hasan menurut istilah ilmu hadis tercakup dalam beberapa definisi sebagai berikut : Menurut At-Tirmidzi, hadits hasan adalah :

Setiap hadits yang diriwayatkan dan tidak terdapat pada sanadnya perawi yang pendusta, dan hadits tersebut tidak syadz, serta diriwayatkan pula melalui jalan yang lain

Definisi yang dianggap baik menurut Al-Thahhan adalah definisi yang dikemukakan oleh Ibn Hajar, yaitu sebagai berikut :

Yaitu hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perawi yang adil, ringan (kurang) kedhabith-annya, dari perawi yang sama (kualitas) dengannya sampai keakhir sanad, tidak syadz dan tidak ber’illat.[4]

Sehingga yang dimaksud dengan hadits hasan ialah hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi sedikit kurang dlabith, tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga terdapat cacat.[5]
Dalam pengertian lain, hadits hasan dapat didefinisikan sebaga berikut :

Hadits hasan adalah haditsyang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak bercacat.[6]

Melihat pengertian ini, maka sesungguhnya hadits hasan itu tidak ada perbedaannya dengan hadits sahih, terkecuali hanya dibidang hafalannya. Untuk hadits hasan, hafalan rawi ada yang kurang sedikit bila dibandingkan dengan yang sahih. Adapun untuk syarat-syarat lainya, antara hadits hasan dengan hadits sahih adalah sama.
Sebagaimana telah dikemukakan, kata istilah hasan sudah dikenal sejak zaman imam Turmudzi. Bahkan, dalam kitab sunnahnya, imam Turmidzi banyak juga menggunakan istilah hasan-sahih tersebut, menurut sebagian ulama bahwa hadits tersebut diperselisihkan kualitasnya, yakni ada yang mengatakan sahih dan ada yang mengatakan hasan. Adapula pendapat, bahwa hadits tersebut kualitasnya berbeda antara hasan dan sahih.

Kriteria Hadits Hasan
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas, para ulama hadits merumuskan bahwa kriteria hadits hasan adalah sama dengan hadits sahih kecuali pada hadits hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabith-annya kurang, atau lebih rendah dari perawi yang dimiliki oleh hadits sahih. Dengan demikian, kriteria hadits hasan ada lima yaitu :
1)      Sanad hadits tersebut harus bersambung,
2)      Perawinya adalah orang yang adil,
3)    Perawinya mempunyai sifat dhabith, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadits sahih,
4)   Bahwa hadits yang diriwayatkan tersebut tidak syadz, artinya, hadits tersebut tidak menyalahi riwayat perawi yang lebih tsiqat daripadanya,
5)      Bahwa hadits yang diriwayatkan tersebut selamat dari ‘illat yang merusak.

Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut :

Diriwayatkan oleh Tirmidzi, dia berkata, “telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Ja’far ibn Sulaiman al-Dhaba’i, dari Abi ‘Imran al-Juwaini, dari Abu Bakar ibn Abu Musa al-Asy’ari, dia berkata, ‘Aku mendengar ayah berkata, dihadapan musuh, ‘Rasulullah SAW bersabda, ‘sesungguhnya pintu-pintu surga itu dibawah naungan pedang,...”

Hadits di atas dinyatakan hasan karena pada sanadnya terdapat Ja’far ibn Sulaiman al-Dhaba’i, yang menurut para ulama hadits bahwa Ja’far ini berada pada kualitas shaduq (tidak sempurna dhabith-nya), sehingga tidak mencapai tingkat tsiqat sebagai salah satu persyaratan hadits sahih.

Pembagian atau Macam-Macam Hadits Sahih
Hadits hasan terbagi menjadi dua macam, yaitu hadits hasan li-dzatihi dan hadits hasan li-ghairihi.          
1)      Hasan li-dzatihi
Yakni, hadits yang karena keadaan dirinya sendiri telah memenuhi sepenuhnya lima syarat hadits hasan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Jadi, kehasanannya bukan karena adanya petunjuk atau pengiat lain, tetapi karena sebab dirinya sendiri.
2)      Hasan li-Ghairihi
Yakni, hadits yang sanadnya ada rawi yang tidak diakui keahliannya, tetapi ia bukanlah orang yang terlalu banyak melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat dengan sanad yang lain yang bersesuaian maknanya. Dengan pengertian ini, maka sesungguhnya hadits hasan li-ghairihi itu pada asalnya adalah hadits dha’if. Kemudian ada petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia meningkat menjadi hasan. Jadi, sekiranya tidak ada yang menolongnya, maka hadits tersebut akan tetap berkualitas dha’if. Dalam pengertian lain yang dimaksud hadits hasan lighairihi adalah sebagai berikut:

Yaitu hadits dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadits dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ketingkat hasan dengan dua ketentuan yaitu ;
a)   Hadits tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik daripadanya.
b)      Bahwa sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya bersifat fasiq atau pendusta.
Tingkatan hadits hasan li-ghairihi ini adalah tingkatan yang paling rendah diantara hadits maqbul, yaitiu dibawah hadits sahih, sahih li-ghairihi, dan hasan li-dzatihi. Contoh hadits hasan li-ghairihi adalah sebagai berikut :

Hadits diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan dinyatakannya hasan, dari jalan Syu’bah dari ‘Ashim ibn ‘Ubaid Allah dari ‘Abd Allah ibn ‘Amir ibn Rabi’ah dari ayahnya, bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah kawin dengan mahar sepasang sandal, maka Rasulullah SAW bertanya, “apakah engkau merelakan dirimu sedangkan engkau hanya mendapat mahar sepasang sandal?, “maka wanita tersebut menjawab : “rela’, maka Rasulpun membolehkannya.


Hukum Hadits Hasan
Menurut seluruh fuqaha’, hadits hasan dapat diterima sebagai hujjah dan diamalkan. Demikian pula pendapat kebanyakan muhadditsin dan ahli ushul.
Alasan mereka adalah karena telah diketahui kejujuran rawinya dan keselamatan perpindahannya dalam sanad. Rendahnya tingkat kedhabith-an tidak mengeluarkan rawi yang bersangkutan dari jajaran rawi yang mampu menyampaikan hadits sebagaimana keadaan hadits itu ketika didengar. Karena maksud pemisahan tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa hadits hasan berada pada tingkat terendah dari hadits sahih, tanpa mencela kedhabith-annya. Hadits yang kondisinya demikian cendrung dapat diterima oleh setiap orang yang kemungkinan kebenarannya sangat besar, sehingga ia dapat diterima.
Begitu pula yang terjadi pada hadits hasan li-ghairihi, menurut jumhur ulama dari kalangan Muhadditsin hadits hasan li-ghairihi juga dapat dipakai hujjah dan dapat diamalkan, begitupun menurut ahli ushul dan yang lainnya.
Karena hadits hasan li-ghairihi itu meskipun semula dha’if namun menjadi sempurna dan kuat dengan diriwayatkannya melalui jalan lain, disamping ia tidak bertentangan dengan hadits lain. Dengan demikian terabaikanlah kerendahan daya hafal atau kelalaian rawinya. Dan bila ia dipadukan dengan sanad lain, maka tampak adanya potensi pada rawinya yang menunjukkan bahwa ia dapat merekam dan menyampaikan hadits dengan tepat.


KESIMPULAN
Dari uraian maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pengertian hadits shahih dan hadits hasan
a.    Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi lain yang (juga) adil dan dhabith sampai akhir sanad dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (‘illat).
b.      Hadits hasan adalah haditsyang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak bercacat.
2.    Kriteria hadits shahih dan hadits hasan, sebuah hadits dapat dikatakan sahih bila memenuhi lima kriteria sebagai berikut: Sanad hadits itu harus bersambung (‘Ittishalul Isnad), perawinya haruslah bersifat adil dan dhabith, serta dalam periwayatan hadits tersebut terhindar dari syudzuz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat). Sedangkan hadits hasan pada dasarnya sama, iapun harus memiliki kriteria seperti hadits sahih, akan tetapi pada hadits hasan tingkat kualitas kedhabithan prawinya lebih rendah atau kurang seperti yang dimiliki oleh perawi hadits sahih.
Hadits hasan tetap dapat dijadikan sebagai hujjah dan di amalkan walaupun terdapat tingkat kualitas yang rendah terhadap tingkat kedhabith-an perawinya, sebab kendati demikian perawi hadits hasan tetap memenuhi kriteria sebagaimana yang dimiliki oleh perawi hadits sahih,


[1] Drs. M. Syuhudi Isla’il, Pengantar Ilmu Hadits, Angkasa, Bandung, 1994, hal. 179.
[2] Drs. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum al-Hadits, (Dar al-Fikr Damaskus), PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hal. 2
[3] Dr. Nawir Yuslem, MA., Ulumul Hadits, PT. Mutiara Sumber Widya, Ciputat, 2003, hal. 224
[4] Al-Thahhan, Taisir., hal. 45.
[5] Op.,Cit. Drs. M. Syuhudi Isla’il, hal. 182.
[6] Syarh al-Nukhbah, hal. 17; lihat pula Syarh al-Baiquniyah karya al-Zarqani, hal. 25 dalam Drs. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum al-Hadits, (Dar al-Fikr Damaskus), PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hal. 27.