Rabu, 20 April 2011

Makkiyah Madaniyah dan Asbabun Nuzul


Nara Sumber: Zulhakki Himawan [1]

Pendahuluan

Al-Qur’an merupakan mu’jizat Islam yang kekal, yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Tujuan diturunkannya Al-Qur’an ialah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, berbeda dengan kitab-kitab suci sebelum Al-Qur’an yang diturunkan hanya kepada suatu kaum tertentu saja. Al-Qur’an juga diturunkan sebagai penyempurnaan terhadap kitab-kitab terdahulu.

Al-Qur’an memiliki ciri-ciri kemukjizatan yang luar biasa, tak bisa ditiru dan dipalsukan, dan diturunkan sebagai bukti atas kebenaran kenabian seseorang. Tampak jelas bahwa Al-Qur’an merupakan bukti yang paling akurat dan kuat atas kebenaran klaim Muhammad SAW sebagai Nabi Allah. Dan agama Islam yang suci adalah hak dan karunia Ilahi yang paling besar bagi umat Islam. Al-Qur’an diturunkan sebagai mukjizat abadi hingga akhir masa, kandungannya merupakan bukti atas kebenarannya. Sebegitu sederhananya argumentasi ini hingga dapat dipahami oleh setiap orang dan dapat diterima tanpa mempelajarinya secara khusus.

Allah SWT selalu menjaga nilai kesucian pada Al-Qur’an hingga akhir masa. Nilai kesucian tersebut dijaga yang secara langsung bisa kita awasi dengan mempelajari ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an itu sendiri. Banyak manfaat yang didapat dengan mempelajari dan mendalami isi Al-Qur’an, sehingga dengan hasil tersebut kita dapat turut serta menjaga kesucian Al-Qur’an.

Ilmu Makki Madani dan juga Ilmu Asbabun Nuzul merupakan termasuk dari ulumul Qur’an, keduanya memiliki hubungan dalam hal menafsirkan suatu ayat pada Al-Qur’an. Pada makalah ini akan sedikit dibahas mengenai pengertian dari Makkiyah dan Madaniyah, dasar dalam penentuan Makkiyah dan Madaniyah, ketentuan dan ciri khas Makkiyah dan Madaniyah. Dan juga pengertian dari Asbabun Nuzul, cara mengetahui riwayat Asbabun Nuzul, dan juga kaidah Asbabun Nuzul dalam hal penetapan hukum.


Makkiyah dan Madaniyah

1.       Pengertian Makkiyah dan Madaniyah
Selama 23 tahun dan secara bertahap Al-Qur’an diturunkan. Dan Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW di dua tempat yang berbeda, yaitu ketika Nabi bertempat tinggal di Mekkah sebelum hijrah ke Madinah dan ketika Nabi bermukim di Madinah sesudah hijrah. Surat atau ayat yang diturunkan ketika Nabi bertempat tinggal di Mekkah sebelum hijrah disebut surat atau ayat Makkiyah, sedangkan surat atau ayat yang diturunkan ketika Nabi bermukim di Madinah sesudah hijrah disebut surat atau ayat Madaniyah.
Ilmu yang membahas mengenai pemahaman dalam mempelajari tentang penentuan antara Makiyah dan Madaniyah, disebut Ilmu Makki dan Madani. Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai penentuan batasan yang mana Makkiyah dan Madaniyah.  Adapun pebedaan dasar yang dijadikan patokan para ulama untuk menentukan yang mana Makkiyah dan Madaniyah, antara lain:
a.       Dari segi waktu turunnya.
Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan di Mekkah. Madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di Madinah. Yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun di Mekkah atau Arafah, adalah Madani, seperti yang diturunkan pada tahun penaklukan kota Mekkah, misalnya firman Allah:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (Q.S. An-Nisa:58)

Pendapat ini lebih baik dari kedua pendapat berikut, karena ia lebih memberikan kepastian dan konsisten[2].

b.      Dari segi tempat turunnya.
Setiap ayat yang diturunkan di Mekkah dan sekitarnya adalah Makkiyah. Setiap ayat yang diturunkan di kota Madinah dan sekitarnya adalah Madaniyah, baik ayat itu turun sebelum hijrah atau setelah hijrah.[3]Makki ialah yang turun di Mekkah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil’. Pendapat ini mengakibatkan tidak adanya pembagian secara konkrit yang mendua, sebab yang turun dalam perjalanan di Tabuk atau di Baitul Makdis tidak termasuk ke dalam salah satu bagiannya, sehingga ia tidak dinamakan Makki dan tidak juga madani. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan di Mekkah sesudah hijrah disebut Makki.

Jalaluddin Suyuthi menukil sebuah riwayat terkait masalah ini, bahwa Rasulullah bersabda, “Ayat al-Qur’an diturunkan di tiga tempat; Mekkah, Madinah, dan Syam”. Menurut Ibnu Katsir, maksud dari Syam adalah Tabuk.[4]

c.       Dari Segi Sasarannya.
Makki adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Mekkah, dan Madinah adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Madinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa ayat Qur’an yang mengandung seruan ya ayyuhan nas (wahai manusia) adalah Makki, sedang ayat yang mengandung seruan ya ayyuhal lazina amanu (wahai orang-orang yang beriman) adalah Madani. Namun melalui pengamatan cermat, nampak bagi kita bahwa kebanyakan surah Qur’an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan itu. Misalnya, surat Al-Baqarah merupakan Madani, tetapi didalamnya terdapat ayat:

 “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.
(Q.S. Al-Baqarah:21)

2.       Ciri-ciri Khas Makki dan Madani
      Para ulama telah meneliti surah-surah Makki dan Madani, dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri tersebut.[5]
a.       Ketentuan dan Ciri Khas Makki.
1)       Ketentuan Makki.
a)       Setiap surat yang didalamnya mengandung “sajdah” maka surat itu makki.
b)      Setiap surat yang mengandung lafal kalla, berarti Makki. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surat.
c)       Setiap surat yang mengandung ya ayyuhan nas dan tidak mengandung ya ayyuhal lazina amanu, berarti makki, kecuali surat Al-Hajj yang pada akhir surat terdapat ya ayyuhal lazina amanur-ka’u wasjudu. Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makki.
d)      Setiap surat yang mengandung kisah para nabi dan umat teradahulu adalah Makki, kecuali surat Baqarah.
e)      Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makki, kecuali surat Baqarah.
f)         Setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan, seperti alif lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lain-lainnya, adalah Makki, kecuali surat Baqarah dan Ali Imron. Sedang surat Ra’d masih diperselisihkan.

2)       Ciri Khas Tema Makki
a)       Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
b)      Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-perundangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dn tradisi buruk lainnya.
c)       Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka, dan sebagai hiburan buat Rasulullah sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
d)      Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataan singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkutat lafal-lafal sumpah, seperti surah-surah yang pendek-pendek. Dan perkecualiannya hanya sedikit.

b.      Ketentuan dan Ciri Khas Madani
1)       Ketentuan Madani
a)       Setiap surat yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madani.
b)      Setiap surat yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah Madani, kecuali surat al-Ankabut adalah Makki.
c)       Setiap surat yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab adalah Madani.

2)       Ciri Khas Tema Madani.
a)       Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik di waktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
b)      Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.
c)       Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisis kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahayanya bagi agama.
d)      Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.

3.       Kegunaan Ilmu Makki dan Madani
      Pengetahuan tentang Makki dan Madani banyak faedahnya, di antaranya adalah:
a.       Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Al-Qur’an.
b.      Untuk mengetahui langkah-langkah kebijaksanaan dakwah yang berlangsung secara bertahap sesuai dengan kondisi dan situasi tertentu, bahkan juga untuk mengetahui sejauh mana relevansi dakwah itu dengan lingkungan masyarakat Arab di Mekkah dan Madinah.
c.       Dengan meresapi gaya bahasa Al-Qur’an dapat memanfaatkannya dalam metode berdakwah di jalan Allah SWT, sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri.
d.      Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur’an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya. Dan juga dapat mengetahui sejarah hukum Islam dan perkembangannya yang bijaksana secara umum.
e.      Dapat meningkatkan keyakinan kita terhadap kebesaran, kesucian dan keaslian Al-Qur’an, karena melihat besarnya perhatian umat Islam sejak turunnya terhadap hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, sampai hal-hal yang sedetail-detailnya.
Dengan demikian, maka siapa pun yang ingin berusaha merusak kesucian dan keaslian Al-Qur’an, pastilah segera diketahui oleh umat Islam.


A.      Asbabun Nuzul
1.       Pengertian Asbabun Nuzul
Allah menjadikan segala sesuatu melalui sebab-musabab dan menurut suatu ukuran. Tidak seorang pun manusia lahir dan melihat cahaya kehidupan tanpa melalui sebab-musabab dan berbagai tahap perkembangan. Tidak sesuatu pun terjadi di dalam wujud ini kecuali setelah melewati pendahuluan dan perencanaan. Begitu juga dengan turunnya al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun.

Dalam buku “Pengantar Ulumul Qur’an” yang disusun oleh Drs. Masfjuk Zuhdi, Asbabun Nuzul diartikan sebagai berikut:

 “Semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang yang mengandung sebabnya, atau memberi jawaban terhadap sebabnya, atau menerangkan hukumnya, pada saat terjadinya peristiwa itu.”

Dari pengertian mengenai Asbabun Nuzul, Sebab turunnya sesuatu ayat itu berkisar pada dua hal:[6]
a.       Bila terjadi sesuatu peristiwa, maka turunlah ayat Qur’an mengenai peristiwa itu.
b.      Bila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Qur’an menerangkan hukumnya.
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak semua ayat Qur’an diturunkan karena timbul suatu peristiwa dan kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada di antara ayat Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban Islam dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial.[7]

Fakta sejarah menunjukkan, bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an itu ada dua macam:[8]
a.       Turunnya dengan didahului oleh suatu sebab.
      Contoh ayat yang turun karena ada suatu peristiwa, ialah surat al-Baqarah ayat 221.[9]

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

Peristiwa turunnya ayat ini ketika Nabi mengutus Murtsid al-Ghanawi ke Mekkah bertugas untuk mengeluarkan orang-orang Islam yang lemah. Setelah ia sampai di sana, ia dirayu oleh wanita musyrik yang cantik dan kaya, tetapi ia menolak karena takut kepada Allah. Kemudian wanita tersebut datang lagi dan meminta agar dia dikawini. Murtsid pada prinsipnya dapat menerimanya, tetapi dengan syarat setelah mendapat persetujuan dari Nabi. Setelah ia kembali ke Madinah ia menerangkan kasus yang dihadapi dan ia minta izin kepada Nabi untuk kawin dengan wanita itu. Maka turunlah surat al-Baqarah ayat 211.

b.      Turunnya tanpa didahului oleh suatu sebab.
Ayat-ayat semacam ini banyak terdapat di dalam Al-Qur’an dan jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat hukum yang mempunyai Asbabun Nuzul. Misalnya ayat-ayat yang mengkisahkan hal ihwa umat-umat terdahulu beserta para Nabinya, atau menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa yang lalu, atau menceritakan hal-hal ghaib yang akan terjadi, atau menggambarkan keadaan hari kiamat beserta nikmat surga dan siksaan neraka.

2.       Cara Mengetahui Riwayat Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. Oleh karena itu, tidak boleh tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar (naql as-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya ayat Al-Qur’an.[9]

Al-wahidi berkata :

Tidak boleh berbicara tentang Asbabun Nuzul kecuali dengan riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat itu dan mengetahui sebab-sebab turunnya, serta membahas tentang Ilmu Asbabun Nuzulnya dan sungguh-sungguh pula dalam mencari yang demikian itu”.

Sejalan dengan itu, al-Hakim menjelaskan dalam Ilmu Hadits bahwa apabila seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan Al-Qur’an diturunkan, meriwayatkan tentang suatu ayat Al-Qur’an bahwa ayat tersebut turun tentang suatu (kejadian). Ibnu al-Salah dan lainnya juga sejalan dengan pandangan ini.

Berdasarkan keterangan di atas, maka sebab an-nuzul yang diriwayatkan dari seorang sahabat diterima sekalipun tidak dikuatkan dan didukung riwayat lain. Adapun asbab an-nuzul dengan hadits mursal (hadits yang gugur dari sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in). riwayat seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan hadits mursal lainnya.

Biasanya ulama menggunakan lafadz-lafadz yang tegas dalam penyampaiannya, seperti: “sebab turun ayat ini begini”, atau dikatakan dibelakang suatu riwayat “maka turunlah ayat ini”.
Contoh : “beberapa orang dari golongan Bani Tamim mengolok-olok Bilal, maka turunlah ayat Yaa aiyuhal ladzina amanu la yaskhar qouman”.[10]

3.       Kaidah Penetapan Hukum Dikaitkan dengan Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul sangatlah erat kaitannya dengan kaidah penetapan hukum. Seringkali terdapat kebingungan dan keraguan dalam mengartikan ayat-ayat Al-Qur’an karena tidak mengetahui sebab turunnya ayat. Contohnya firman Allah  dalam surat al-Baqarah ayat 115:
  
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

Ayat tersebut turun berkenaan dengan suatu peristiwa yaitu beberapa orang mukmin menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. Pada suatu malam yang gelap gulita sehingga mereka tidak dapat memastikan arah kiblat dan akhirnya masing-masing menunaikan shalat menurut perasaan masing-masing sekalipun tidak menghadap arah kiblat karena tidak ada cara untuk mengenal kiblat.

Seandainya tidak ada penjelasan mengenai asbabun nuzul tersebut mungkin masih ada orang yang menunaikan shalat menghadap ke arah sesuka hatinya dengan alasan firman Allah surat al-Baqarah ayat 115.[11]

3.       Manfaat Ilmu Asbabun Nuzul
Ilmu Asbabun Nuzul mempunyai manfaat yang sangat besar bagi siapa saja yang hendak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, karena ilmu ini dapat membantu seseorang untuk bisa memahami ayat Al-Qur’an secara tepat dan sekaligus dapat menghindarkan dari salah pengertian.


Kesimpulan

Ilmu Makki dan Madani merupakan ilmu yang membahas mengenai pemahaman dalam mempelajari tentang penentuan antara Makiyah dan Madaniyah. Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai penentuan batasan yang mana Makkiyah dan Madaniyah. Pebedaan dasar yang dijadikan patokan para ulama untuk menentukan yang mana Makkiyah dan Madaniyah, antara lain: dari segi waktu turunnya, dari segi tempat turunnya, dan dari segi sasarannya.

Sedangkan ilmu Asbabun Nuzul adalah ilmu yang membahas mengenai sebab turunnya Al-Qur’an (berupa peristiwa/pertanyaan) yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.

Faedah dengan mengetahui Ilmu Makki Madani dan Ilmu Asbabun Nuzul ialah dapat membantu dalam menafsir dan memahami ayat dengan benar, juga dapat meresapi gaya bahasa Al-Qur’an sehngga dapat memanfaatkannya dalam metode berdakwah di jalan Allah SWT. Juga dapat mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur’an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya. Dan juga dapat mengetahui sejarah hukum Islam dan perkembangannya yang bijaksana secara umum.

Dengan demikian Ilmu Makki Madani dan Ilmu Asbabun Nuzul, mempunyai peranan dalam meningkatkan keyakinan kita terhadap kebesaran, kesucian dan keaslian Al-Qur’an, karena melihat besarnya perhatian umat Islam sejak turunnya terhadap hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, sampai hal-hal yang sedetail-detailnya. Dengan demikian, maka siapa pun yang ingin berusaha merusak kesucian dan keaslian Al-Qur’an, pastilah segera diketahui oleh umat Islam.


Editor Text By: Rachmad Aqsa, S.H.I.
Isi Bacaan sesuai dengan teks yang aslinya, hanya dirapikan saja.


[1] Mahasiswa Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Program Pasca Sarjana Iain Raden Intan Lampung.
[2] Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulumil Qur’an, (Cet. III, diterbitkan oleh Mansyurat al-Asr al-Hadis, 1973), Terj. Drs. Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Cet.VI, Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2001), hal. 84.
[3] Hadi Ma’rifat, “Sejarah Al-Qur’an”. Al-Huda, Jakarta, 2007, hal. 69.
[4] Ibid.
[5] Ibid. Hal. 86
[6] Ibid. Hal. 108.
[7] Ibid.
[8] Drs. Masfjuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1980, hal.37
[9] Ibid.
[10] http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/11/ilmu-asbabunnuzul.html
[11] Dr. Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm. 72