Selasa, 20 September 2011

Bagian Ke-2: AKAD-AKAD DALAM FIQIH MUAMALAH



A.     Unsur-unsur yang membentuk akad
Di dalam pembahasan ini hanya mengenai Rukun dan syarat akad, adalah sebagai berikut:
Di dalam Fiqih muamalah untuk terbentuknya akad yang sah dan mengikat harus dipenuhi rukun-rukun akad dan syarat-syarat akad.
Dengan penjelasan sebagai berikut:
1.      Rukun-rukun Akad
Unsur-unsur akad sama maksudnya dengan rukun-rukun akad. Rukun dimaksudkan unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang menjadi bagian-bagian yang membentuknya.
Terbentuknya akad karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang membentuknya. Menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad ada empat yakni :
·        Para pihak yang membuat akad
·        Pernyataan kehendak dari para pihak, c). obyek akad, d). tujuan akad.[1]
Tujuan akad tersebut adalah tambahan ahli-ahli hukum Islam modern yang merupakan hasil ijtihad ahli-ahli hukum kontemporer dengan melakukan penelitian induktif dengan disyaratkan tidak bertentangan dengan syarak.[2]
2.      Syarat-syarat akad
Syarat-syarat akad dibagi menjadi empat macam yakni:
·        Syarat-syarat terbentuknya akad.
Tiap-tiap rukun pembentukan akad tersebut di atas diperlukan syarat-syarat agar dapat berfungsi membentuk akad. Dalam arti tanpa adanya syarat-syarat akad maka rukun-rukun akad tidak dapat membentuk akad. Rukun pertama, yaitu para pihak yang membuat akad harus memenuhi dua syarat yakni : (1). Tamyiz, dan (2). Berbilang pihak. Rukun yang kedua yakni, pernyataan kehendak, harus memenuhi dua syarat ialah (1). Adanya persesuaian ijab dan kabul dalam arti tercapainya kata sepakat dan (2). Kesatuan majelis akad. Rukun ketiga yakni obyek akad, harus memenuhi tiga syarat yakni (1). Obyek itu dapat diserahkan, (2). Tertentu atau dapat ditentukan, dan (3). Obyek itu dapat ditransaksikan (bernilai dan dimiliki). Rukun keempat yakni tujuan akad, syaratnya tujuan akad itu harus sesuai dengan syariah atau tidak bertentangan dengan syariah.
Syarat-syarat yang terkait dengan rukun akad tersebut, menurut pandangan ahli-ahli hukum Islam disebut syarat terbentuknya akad. Yang jumlahnya yakni :
1). Kecakapan minimal (tamyiz), 2). Berbilang pihak, 3). Persesuaian ijab dan qabul, 4). Kesatuan majelis akad, 5). Obyek akad dapat diserahkan, 6). Obyek akad tertentu atau dapat ditentukan, 7). Obyek akad dapat ditransaksikan (berupa benda bernilai dan dimiliki), 8). Tidak bertentangan dengan syariah.[3]
Rukun-rukun dan syarat-syarat yang tersebut di atas dinamakan pokok. Apabila pokok ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi akad dalam arti tidak memiliki wujud yuridis syar’i atau disebut akad batil.

·        Syarat-syarat keabsahan akad.
Dengan dipenuhi rukun dan syarat terbetuknya akad, memang sudah mempunyai wujud yuridis syar’i namun belum serta merta sah. Untuk sahnya suatu akad, maka rukun dan syarat tersebut masih memerlukan sifat-sifat tambahan sebagai unsur penyempurna.
Rukun pertama, yakni para pihak, dengan dua syaratnya, yaitu tamyiz dan berbilang pihak, tidak memerlukan sifat penyempurna.
Rukun kedua, yakni pernyataan kehendak dengan dua syarat yaitu syarat kesatuan majelis akad tidak memerlukan unsur penyempurna, sedangkan syarat kesesuaian ijab dan Kabul, memerlukan syarat penyempurna, yakni bahwa kesesuaian ijab dan Kabul itu dicapai secara bebas tanpa paksaan. Apabila tercapainya kesepakatan itu karena paksaan, maka akad menjadi fasid. Oleh karena itu bebas dari paksaan adalah syarat keabsahan akad.
Rukun ketiga, yakni obyek, dengan tiga syaratnya, memerlukan unsur penyempurna syarat “dapat diserahkan” hal ini memerlukan sifat-sifat yakni bahwa penyerahan itu tidak menimbulkan kerugian (darar) dan apabila menimbulkan kerugian, maka akadnya fasid. Mengenai syarat “obyek harus tertentu” memerlukan sifat-sifat penyempurna, yaitu tidak boleh mengandung garar, dan apabila mengandung garar akadnya menjadi fasid. Dan syarat obyek harus dapat ditransaksikan memerlukan unsur penyempurna dengan sifat tambahan, yaitu bebas dari fasid dan riba. [4]
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui ada lima sebab-sebab yang menjadikan fasid suatu akad yangtelah terpenuhi rukun dan syarat terbentuknya, yakni : 1) Paksaan, 2). Penyerahan yang menimbulkan kerugian, 3). Garar, 4). Syarat-syarat fasid, dan 5) Riba. Oleh karena itu sempurnanya rukun dan syarat terbentuknya akad, bila bebas dari kelima faktor sifat-sifat tersebut maka dinamakan syarat keabsahan akad.[5]
Jadi akad yang telah memenuhi rukun-rukunnya, syarat-syarat terbentuknya dan syarat-syarat keabsahannya dinyatakan sebagai akad yang sah. Apabila syarat-syarat keabsahan yang lima itu tidak terpenuhi, meskipun rukun dan syarat terbentuknya terpenuhi, maka akad tidak sah.

·        Syarat-syarat berlakunya akibat hukum akad.
Suatu akad dinyatakan sah yakni telah terpenuhi rukun-rukunnya, syarat-syarat terbentuknya dan syarat-syarat keabsahannya, namun ada kemungkinan akibat-akibat hukum akad tersebut belum dapat dilaksanakan. Bila kemungkinan ini terjadi disebut akad mauquf (terhenti atau tergantung).
Agar dapat dilaksanakan akibat hukumnya akad yang sudah sah itu harus ada dua syarat yang mempertautkan ketiga rukun akad yakni : 1). Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan, dan 2). Adanya kewenangan para pihak atas obyek akad.
Kewenangan atas tindakan hukum terpenuhi bila telah mencapai tingkat kecakapan bertindak hukum yang dibutuhkan bagi tindakan hukum yang dilakukannya. Ada kalanya tindakan hukum yang hanya memerlukan tingkat kecakapan bertindak hukum minimal yaitu Tamyiz. Ada tindakan hukum yang memerlukan kecakapan bertindak hukum sempurna yaitu kedewasaan. Bagi anak mumayyis (remaja usia tujuh tahun hingga menjelang dewasa) untuk melakukan akad timbal balik belum cukup kewenangannya meskipun tindakannya sah. Tetapi akibat hukumnya belum dapat dilaksanakan karena masih tergantung kepada izin wali karena itu akadnya disebut akad mauquf apabila walinya kemudian mengizinkan, tindakan hukumya dapat dilaksanakan akibat-akibat hukumnya, dan apabila wali tidak mengizinkan akadnya harus dibatalkan.
Kewenangan para pihak atas obyek akad, kewenangan atas obyek dapat terpenuhi bila para pihak mempunyai kepemilikan atas obyek yangbersangkutan, atau mendapat perwakilan dari para pemilik dan pada obyek tersebut tidak tersangkut hak orang lain. Seperti penjual yang menjual barang milik orang lain, adalah sah tindakannya, akan tetapi akibat hukum tindakan itu tidak dapat dilaksanakan karena akadnya mauquf, yaitu tergantung pada izin pemilik barang. Bila tidak diizinkan akadnya harus batal. [6]
Dari apa yang dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa akad yang sah, dapat dibedakan menjadi dua macam yakni:
-          Akad Maukuf, yakni akad yang sah, tetapi belum dapat dilaksanakan akibat hukumnya.
-          Akad Nafiz, yaitu akad yang sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya.

·        Syarat-syarat mengikatnya akad.
Bahwa akad yang sah dan nafiz (dapat dilaksanakan akibat hukumnya) adalah mengikat bagi para pihak dan tidak boleh salah satu pihak menarik kembali persetujuannya secara sepihak tanpa kesepakatan pihak lain. Namun ada beberapa akad yang menyimpang dari asas ini dan tidak serta merta mengikat. Hal ini disebabkan oleh sifat akad itu sendiri atau oleh adanya hak-hak khiyar (hak opsi untuk meneruskan atau membatalkan perjanjian secara sepihak). Akad ini mengikat apabila di dalamnya tidak lagi ada hak khiyar.[7]


B.     Kedudukan Akad dalam Fiqih Muamalah
Di dalam pembahasan ini meliputi, akad sebagai perbuatan hukum, sah dan batalnya akad, cacat dalam akad dengan uraian sebagai berikut:
1.      Akad Sebagai Perbuatan Hukum
Akad sebagai perbuatan hukum atau tindakan hukum dapat dilihat dari definisi-definisi akad atau kontrak diantaranya :
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikemukakan bahwa akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan.[8]
Yang dimaksud dengan “yang sesuai dengan kehendak syariat” adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh apabila tidak sejalan dengan kehendak syarak. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan Kabul).
Selanjutnya definisi akad yang dikutip oleh Symasul Anwar yakni, “Pertemuan ijab (penawaran) yang datang dari salah satu pihak dengan Qabul (akseptasi) yang diberikan oleh pihak lain secara sah menurut hukum yang tampak akibatnya pada obyek akad.” [9]
Definisi di atas menggambarkan bahwa akad dalam hukum Islam merupakan suatu tindakan hukum yang berdasarkan kehendak murni dan bebas dari paksaan. Hanya saja akad haruslah merupakan tindakan hukum berdasarkan kehendak dari dua pihak yang saling bertemu.
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk yaitu; Tindakan berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan kemudian tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua yaitu yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad.
Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terjadi bila dua atau beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi dua macam yakni : a). Yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan atau melimpahkan hak, membatalkannya atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah dan talak. Akad seperti ini tidak memerlukan qabul. b). Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau yang menggugurkan suatu hak, tetapi perkataan itu memunculkan tindakan hukum seperti gugatan di pengadilan, pengakuan di depan sidang.
Berdasarkan pembagian tindakan hukum tersebut di atas maka dapat dikemukakan bahwa suatu tindakan hukum lebih umum dari akad dan oleh karena itu setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari dua atau beberapa pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad. [10]
Menurut Taufiq dalam uraiannya sama dengan Az Zarqa tersebut, yakni Tindakan hukum (tasharruf) adalah semua yang timbul dari seseorang yang berasal kehendaknya, baik berupa perbuatan, maupun perkataan yang mempunyai akibat hukum. [11]
Dari definisi tersebut dengan jelas tindakan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni :
·        Tindakan hukum yang berupa perbuatan, seperti menguasai barang-barang yang halal, menggunakan barang bukan miliknya secara melawan hukum, menerima pembayaran hutang, menerima barang yang dijual dan lain-lain.
·        Tindakan hukum yang berupa perkataan dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
-          Yang berupa akad yaitu kesepakatan antara dua kehendak, seperti berkongsi dan jual beli.
-          Yang berupa bukan akad, yaitu yang berupa pemberian informasi tentang adanya hak seperti gugatan dan pengakuan, dapat dimaksud untuk menimbulkan atau mengakhirinya, seperti wakaf, talak dan pembebasan kewajiban.
Dari uraian tersebut dimuka bahwa tindakan hukum lebih luas daripada akad dan perikatan sebab tindakan hukum mencakup perbuatan, mencakup perkataan dan juga mengikat dan tidak mengikat. Oleh karena akad merupakan bagian dari tindakan hukum, tindakan yang berupa perkataan tertentu, maka yang lebih khusus tunduk kepada pengertian umum, tidak sebaliknya. Maka setiap akad adalah tindakan hukum dan tidak sebaliknya.
Ijab dan qabul, tidak hanya berbentuk ucapan (lisan) tetapi bisa dengan Kitabah, Isyarah, perbuatan dan ta’athi (beri memberi). [12]
Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat difahami, bahwa akad sebagi perbuatan hukum. Setiap akad adalah tindakan hukum, tetapi setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad.

2.      Sah dan Batalnya Akad
Akad menjadi sah jika rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut dipenuhi dan tidak sah apabila rukun dan syarat tersebut tidak dipenuhi. Namun berhubung syarat-syarat akad itu bermacam-macam jenisnya. Maka keabsahan dan kebatalan akad, menjadi bertingkat-tingkat, hanya sejauh mana rukun dan syarat-syarat itu dipenuhi.
Dalam Mazhab Hanafi tingkat kebatalan dan keabsahan dibagi menjadi lima tingkat yang sekaligus menggambarkan urutan akad dari yang paling tidak sah hingga sampai yang paling tinggi tingkat keabsahannya yakni :[13]
·        Akad batil.
·        Akad fasid
·        Akad maukuf
·        Akad nafiz gair lazim, dan
·        Akad nafiz lazim.
Menurut Jumhur Ulama fasid semakna dengan batil, tidak membedakan keduanya yakni sama-sama satu bingkai, sama-sama akad yang batal tidak menimbulkan konsekuensi apapun. [14]
Dari akad dalam beragam tingkat kebatalan dan keabsahan tersebut di atas dibagi menjadi dua golongan pokok yakni: 1). Akad yang tidak sah yaitu terdiri akad batal dan akad fasid, 2). Akad yang sah ada tiga tingkatan yakni akad maukuf, akad nafiz gair lazim, dan akad nafiz lazim.
Dalam pembahasan berikut ini hanya empat peringkat akad yang belum mencapai tingkat akad sempurna di dalam rukun dan syaratnya, tidak termasuk akad nafiz lazim adalah sebagai berikut :
·        Akad Batil
Akad batal apabila terjadi pada orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat kecakapan atau obyeknya tidak menerima hukum akad hingga pada akad itu terdapat hal-hal yang menjadikannya dilarang syarak. [15]
Menurut Adiwarman A. Karim, akad batal, bila rukun-rukun akad tidak terpenuhi (baik satu rukun atau lebih), maka akad menjadi batal. [16]
Menurut Gemala Dewi, akad batal yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syarak.[17] Misalnya obyek jual beli tidak jelas.
Ahli-ahli hukum Hanafi mendefinisikan akad batil yakni akad yang secara syarak tidak syah pokok dan sifatnya[18] yang dimaksud adalah akad yang tidak memenuhi seluruh rukun dan syarat pembentukannya akad, apabila salah satu saja dari rukun dan syarat pembentukannya akad tidak terpenuhi, maka akad itu disebut batal.
Hukum akad batil, bahwa dipandang tidak pernah terjadi menurut hukum oleh karenanya tidak mempunyai akibat hukum sama sekali.

·        Akad Fasid
Akad Fasid yakni, bila rukun sudah terpenuhi tetapi syarat tidak terpenuhi, maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi fasid.[19]
Menurut Gemala Dewi akad Fasid adalah akad yang pada dasarnya disyari’atkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas.[20]
Menurut ahli-ahli hukum Hanafi, akad fasid adalah, ”akad yang menurut syarak sah pokoknya, tetapi tidak sah sifatnya”.[21]
Yang dimaksud pokok, adalah rukun-rukun dan syarat-syarat keabsahan akad, jadi akad fasid adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat pembentukan akad, akan tetapi tidak memenuhi syarat keabsahan akad.
Hukum akad fasid, menurut Jumhur ulama, tidak membedakan antara akad batil dan akad fasid, keduanya sama-sama akad yang tidak ada wujudnya, yaitu sama-sama tidak sah karena akad tersebut tidak memenuhi ketentuan undang-undang syarak.
Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, membedakan akad batil dan akad fasid kalau akad batil sama sekali tidak ada wujudnya, tidak pernah terbentuk, sedangkan akad fasid telah terbentuk dan telah memiliki wujud syar’i hanya saja terjadi kerusakan pada sifat-sifatnya.
Hukum akad fasid menurut Mazhab Hanafi bila belum dilaksanakan wajib dibatalkan oleh para pihak maupun oleh Hakim. Bila sudah dilaksanakan akad mempunyai akibat hukum tertentu dapat memindahkan hak milik, tetapi tidak sempurna.[22]
·        Akad Maukuf
Akad Maukuf ialah akad yang terjadi dari orang yang memenuhi syarat kecakapan, tetapi tidak mempunyai kekuasaan melakukan akad.[23]
Akad Mauquf hanya mempunyai akibat hukum apabila mendapat izin secara sah dari orang yang mempunyai kekuasaan melakukan akad.
Sebab-sebab akad menjadi Maukuf ada dua yakni :
-          Tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan hukum yang dilakukan dengan kata lain kekurangan kecakapan. Orang-orang tersebut yakni : a). Remaja yang mumayyiz, b). Orang yang sakit ingatan tetapi tidak mencapai gila, c). Orang pandir yang memboroskan harta, d). Orang yang mempunyai cacat kehendak karena paksaan.
-          Tidak adanya kewenangan yang cukup atas obyek akad karena adanya hak orang lain pada obyek tersebut. Yang meliputi : a) Akad fuduli (pelaku tanpa kewenangan). b) Akad orang sakit mati yang membuat wasiat lebih dari sepertiga hartanya. c) Akad orang di bawah pengapuan. d) Akad penggadai yang menjual barang yang sedang digadaikannya. e) Akad penjualan oleh pemilik terhadap benda miliknya yang sedang disewakan. [24]
Hukum akad maukuf adalah sah, hanya saja akibat hukumnya digantungkan artinya hukumnya masih ditangguhkan hingga akad itu dibenarkan atau dibatalkan oleh pihak yang berhak untuk memberikan pembenaran atau pembatalan tersebut.

·        Akad Nafiz Gair Lazim
Akad Nafiz Gair lazim ialah akad Nafiz yang mungkin difasakh oleh masing-masing pihak, atau hanya oleh salah satu pihak yang mengadakan akad tanpa memerlukan persetujuan pihak lain. [25]
Hukum Akad Nafiz gair lazim adalah sah, akan tetapi terdapat beberapa macam akad yang karena sifat aslinya terbuka untuk di fasakh secara sepihak. Seperti akad pemberian kuasa, hibah, penitipan, pinjam pakai, gadai, penanggungan dan akad yang salah satu pihak mempunyai hak khiyar.

3.      Cacat dalam Akad
Tidak setiap akad (kontrak) mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus dilaksanakan. Namun ada kontrak-kontrak tertentu yang mungkin menerima pembatalan, hal ini karena disebabkan adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridaan (kerelaan) atau kehendak sebagian pihak. Adapun faktor-faktor yang merusak ketulusan atau keridaan seseorang adalah sebagai berikut :
·        Paksaan / Intimidasi (Ikrah)
Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan. [26]
Suatu kontrak dianggap dilakukan di bawah intimidasi atau paksaan bila terdapat hal-hal seperti, yaitu :
-          Pihak yang memaksa mampu melaksanakan ancamannya.
-          Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan terhadapnya.
-          Ancaman itu ditujukan kepada dirinya atau keluarganya terdekat.
-          Orang yang diancam itu tidak punya kesempatan dan kemampuan untuk melindungi dirinya.
Kalau salah satu dari hal-hal tersebut tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, sehingga tidak berpengaruh sama sekali terhadap kontrak yang dilakukan. [27]
Menurut Ahmad Azhar Basyir, bila akad dilaksanakan ada unsur paksaan, mengakibatkan akad yang dilakukan menjadi tidak sah dan menurut Abdul Manan, bila kontrak atau akad dibuat dengan cara paksa diianggap cacat hukum dan dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan. [28]
·        Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath)
Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal :
-          Pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin itu terbuat dari tembaga.
-          Pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warna abu-abu.
Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan. [29]
·        Penyamaran Harga Barang (Ghubn)
Ghubun secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara obyek akad (barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga sesungguhnya. [30]
Di kalangan ahli fiqh ghubn ada dua macam yakni :
-          Penyamaran ringan. Penyamaran ringan ini tidak berpengaruh pada akad.
-          Penyamaran berat yakni penyamaran harga yang berat, bukan saja mengurangi keridaan tapi bahkan melenyapkan keridaan. Maka kontrak penyamaran berat ini adalah batil.
·        Penipuan (al-Khilabah)
Penipuan yaitu menyembunyikan cacat pada obyek akad agar tampil tidak seperti yang sebenarnya. Maka pihak yang merasa tertipu berhak fasakh.
·        Penyesatan (al-Taqrir)
           Menggunakan rekayasa yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan akad yang disangkanya   menguntungkannya tetapi sebenarnya tidak menguntungkannya. Taqrir tidak mengakibatkan tidak sahnya akad, tetapi pihak korban dapat mengajukan fasakh. [31]


[1] Syamsul Anwar, ”Hukum Perjanjian Syariah”., hal. 12
[2] Ibid.
[3] ibid., hal. 13
[4] ibid., hal. 15
[5] ibid.
[6] ibid., hal. 17
[7] ibid
[8] Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal 63, artikel “Akad”.
[9] Syamsul Anwar, “HukumPerjanjian Syariah”., hal. 7.
[10] Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi., hal. 63
[11] Taufiq, “Nadhariyyatu al-Uqud al-Syar’iyyah”. , hal. 100.
[12] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah., hal. 25. Asmuni. “Akad Dalam Prespektif.” hal. 6
[13] Syamsul Anwar,”Hukum Perjanjian Syariah”., hal. 21.
[14] Asmuni, “Akad Dalam Prespektif.”, hal. 10.
[15] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas., hal. 114.
[16] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Cet. III. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 47.
[17] Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan., hal. 147.
[18] Syamsul Anwar, ”Hukum Perjanjian Syariah.”, hal. 37.
[19] Adiwarman A. Karim, Bank Islam., hal. 47.
[20] Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan., hal. 147
[21] Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Syariah.” hal 24
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Syariah.”, hal 28
[25] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas., hal. 119
[26] Nur Kholis, “Modul Transaksi Dalam Ekonomi Islam”, (Yogyakarta : tnp., 2006), hal. 27
[27] Ibid.
[28] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas., hal. 101. Abdul Manan, “Hukum Kontrak.” hal. 44
[29] ibid.
[30] Nur Kholis, “Modul”., hal. 28
[31] Taufiq, Nadhariyyatu Al-Uqud., hal. 110