Rabu, 23 November 2011

HUKUM KONTRAK DALAM SISTEM EKONOMI SYARI’AH

Sumber : Drs. Mustopa, S.H.[1] dan Muhammad Fadhly Ase, S.H.I.[2]


LATAR BELAKANG

Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan tersebut dapat dilihat dengan adanya tuntunan dan tatanan hukum yang mengatur kehidupan manusia secara lengkap dan menyeluruh. Hubungan manusia dengan Sang Khaliq diatur dalam bidang ibadah, sementara hal-hal yang berhubungan dengan sesama manusia diatur dalam bidang muamalat. Cakupan hukum muamalat sangatlah luas dan bervariasi, baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat umum, seperti perkawinan, kontrak atau perikatan, hukum pidana, peradilan dan sebagainya.

Kontrak atau perjanjian dalam Islam disebut dengan "akad", berasal dari bahasa Arab "al-Aqd yang berarti perikatan, perjanjian, kontrak atau permufakatan (al-ittifaq), dan transaksi.

Menurut WJS. Poerwadarminta, perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang mana berjanji akan menaati apa yang tersebut di persetujuan itu.[3]

Sementara menurut Wahbah al-Zuhaili dan Ibnu Abidin, bahwa yang dimaksud dengan kontrak (akad) secara terminologi adalah pertalian antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syari'ah (Allah dan Rasul-Nya) yang menimbulkan akibat hukum pada obyeknya. Selanjutnya, Nasrun Haroen menjelaskan bahwa pencantuman kalimat yang sesuai dengan kehendak syari'at dimaksudkan bahwa seluruh kontrak yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syari'at Islam seperti melakukan kontrak untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain atau melakukan perampokan dan sebagainya. Sedangkan pencantuman kalimat berpengaruh pada obyek perikatan dimaksudkan adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan qabul). Ijab dan qabul dimaksudkan untuk menunjukkan adanya keinginan dan kerelaan timbal balik para pihak yang bersangkutan terhadap isi kontrak. Oleh karena itu ijab dan qabul ini menimbulkan hak dan kewajiban atas masing-masing pihak yang melakukan kontrak.


PEMBAHASAN

Asas-Asas Kontrak

Ada beberapa asas kontrak yang berlaku dalam Hukum Perdata Islam, asas-asas tersebut sangat berpengaruh pada pelaksanaan kontrak yang dilaksanakan oleh para pihak yang berkepentingan. Jika asas-asas tersebut tidak terpenuhi dalam pelaksanaan suatu kontrak, maka akan berakibat pada batalnya atau tidak sahnya kontrak yang dibuatnya. Menurut Prof. Fathurrahman Djamil,[4] setidaknya ada 6 macam asas yang harus ada dalam suatu kontrak, sebagai berikut:

1.      Kebebasan (Al-Hurriyyah)
Pihak-pihak yang melakukan kontrak mempunyai kebebasan untuk melakukan suatu perjanjian, baik tentang obyek perjanjian maupun syarat-syaratnya, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian sengketa apabila terjadi dikemudian hari. Kebebasan menentukan syarat-syarat ini dibenarkan selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam.

2.      Persamaan dan Kesetaraan (Al-Musawah)
Asas ini memberikan landasan bahwa kedua belah pihak yang melakukan kontrak mempunyai kedudukan yang sama atau setara antara satu dengan yang lain. Asas ini penting untuk dilaksanakan oleh para pihak yang melakukan kontrak terhadap suatu perjanjian karena sangat erat hubungannya dengan penentuan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak untuk pemenuhan prestasi dalam kontrak yang dibuatnya.

3.      Keadilan (Al-'Adalah)
Pelaksanaan asas ini dalam kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah disepakati bersama dan memenuhi segala hak dan kewajiban, tidak saling menzalimi dan dilakukannya secara berimbang tanpa merugikan pihak lain yang teriibat dalam kontrak tersebut.
Dawam Rahardjo[5] mengemukakan bahwa berbuat adil adalah standar minimal bagi perilaku manusia. Kebanyakan dari bersikap adil itu adalah berbuat kebajikan dan beramal sosial, setidak-tidaknya kepada kaum kerabatnya sendiri. Berbarengan dengan itu, orang juga harus mampu menghindarkan diri dari berbagai perilaku keji, munkar dan permusuhan dengan sesama manusia. Perbuatan-perbuatan seperti yang terakhir ini dilarang karena berakibat merugikan orang lain maupun diri sendiri. Dengan demikian adil adalah nilai nilai dasar yang berlaku dalam kehidupan sosial dan nilai adil ini merupakan pusat orientasi dalam interaksi antar manusia.

4.      Kerelaan (Al-Ridha)
Asas ini menyatakan bahwa semua kontrak yang dilakukan oleh para pihak harus didasarkan kepada kerelaan semua pihak yang membuatnya. Kerelaan para pihak yang berkontrak adalah jiwa setiap kontrak yang Islami dan dianggap sebagai syarat terwujudnya semua transaksi. Jika dalam suatu kontrak asas ini tidak terpenuhi maka kontrak yang dibuatnya telah dilakukan dengan cara yang batil. Kontrak yang dilakukan itu tidak dapat dikatakan telah mencapai sebuah bentuk usaha yang dilandasi saling rela antara pelakunya jika didalamnya terdapat unsur tekanan, paksaan, penipuan atau ketidak jujuran dalam pernyataan.

5.      Ash-Shidq (Kejujuran dan Kebenaran)
Kejujuran adalah salah satu nilai etika yang paling tinggi dalam islam. Islam mengajarkan umatnya untuk jujur dalam segala hal dan melarang dengan tegas kebohongan dan penipuan dalam bentuk apapun. Nilai kebenaran ini memberikan pengaruh pada pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, menipu dan melakukan penipuan. Pada saat asas ini tidak terpenuhi, legalitas akad yang dibuat bisa menjadi rusak. Pihak yang merasa dirugikan akibat ketidakjujuran yang dilakukan salah satu pihak, dapat menghentikan proses akad tersebut.

6.      Tertulis (Al Kitabah)
Asas lain dalam melakukan kontrak adalah keharusan untuk melakukannya secara tertulis supaya tidak terjadi permasalahan dikemudian hari. Ketentuan ini didasarkan kepada Al Qur'an surat al Baqarah ayat 282-283 yang artinya:
Hai orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menulisnya. Dan seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menulisnya sebagaimana Allah telah mengajarkan-Nya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganiah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antaramu. Jika tak ada dua laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil dan janganiah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. Tulislah muamalah itu, kecuali muamalah itu dilaksanakan secara tunai...............dst.

Di samping asas-asas tersebut di atas, Gemala Dewi[6] menambah satu asas lagi yaitu asas ilahiyah. Asas ilahiyah diperlukan karena setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak luput dari ketentuan Allah SWT sebagaimana tersebut dalam al Qur'an surat al Hadid ayat 4 yang artinya "Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan". Kegiatan muamalat termasuk dalam perbuatan perikatan (kontrak) tidak akan pernah lepas dari niiai-nilai ketauhidan, sehingga manusia dalam setiap perbuatannya memiliki tanggung jawab terhadap apa yang dibuatnya.


Rukun Dan Syarat Kontrak

Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang rukun kontrak, sebagian mereka mengatakan rukun kontrak adalah al-'aqidain, mahallul 'aqad dan al- 'aqad. Selain ketiga hal ini, ada juga para fuqaha yang menambah rukun kontrak dengan tujuannya (maudhu'ul-'aqd). Menurut Gemala Dewi[7], dikalangan mazhab Hanafi rukun kontrak hanya satu saja yaitu shigat al-aqd, yakni ijab dan qabul, sedangkan syarat kontrak adalah al-'aqidain (subyek akad) dan mahallul 'aqad (obyek 'aqad).

1.      Ijab Qabul (Shigat Kontrak)
Menurut Wahbah Zuhaili[8] ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu ijab dan qabul dipandang sah serta memiliki akibat hukum yakni pertama : jala'ul ma'na yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis kontrak yang dikehendaki, kedua: tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul, dan ketiga : jazmul iradataini yaitu antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ada keraguan sedikitpun, tidak berada dibawah tekanan dan tidak berada dalam keadaan terpaksa.
Pelaku kontrak disyaratkan harus mukhallaf (aqil baligh, berakal sehat, dewasa dan cakap hukum). Jadi tidak sah kontrak apabila dilakukan oleh anak-anak dan orang gila serta orang-orang yang berada di bawah pengampuan. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa batasan umur pelaku kontrak diserahkan kepada 'urf (Adat) setempat dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara.

2.      Mahal al 'Aqd (Obyek Kontrak)
Para ahli hukum Islam (para Fuqaha) sepakat bahwa sesuatu obyek kontrak harus memenuhi empat syarat yakni pertama : kontrak harus sudah ada secara konkrit ketika kontrak dilangsungkan atau diperkirakan akan ada pada masa akan datang. Dalam kontrak-kontrak tertentu ketentuan ini dapat dibenarkan seperti kontrak salam (pesan barang dengan pembayaran harga sebagian atau seluruhnya lebih dahulu), kontrak ijarah/leasing (sewa menyewa), atau juga dalam bentuk bagi hasil (mudharabah), di mana obyek akad cukup diperkirakan akan ada pada masa yang akan datang, kedua : dibenarkan oleh syara', jadi sesuatu yang tidak dapat menerima hukum kontrak tidak dapat menjadi obyek kontrak, harta yang diperoleh secara halal dan halal dimanfaatkan (mutaqawwam) adalah sah pula dijadikan obyek kontrak, ketiga : kontrak harus dapat diserahkan ketika terjadi kontrak, namun tidak berarti harus diserahkan seketika, maksudnya dapat diserahkan pada saat yang telah ditentukan dalam kontrak, keempat : kontrak harus jelas atau dapat ditentukan (mu'ayyan) dan harus diketahui oleh kedua belah pihak yang membuat kontrak. Apabila tidak ada kejelasan tentang kontrak yang dibuatnya, maka akan menimbulkan perselisihan dikemudian hari. Disini peranan adat (Uruf) sangat diperlukan.

3.      Pihak-Pihak yang Melaksanakan Kontrak (alAqidain)
Pihak-pihak yang melaksanakan kontrak disebut dengan subyek hukum yang mengandung hak dan kewajiban. Subyek hukum ini dapat manusia dan badan hukum. Pada umumnya, berlakunya manusia sebagai pembawa hak adalah pada saat ia dilahirkan dan akan berakhir seketika yang bersangkutan meninggal dunia. Bahkan seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya menurut hukum dapat dianggap sebagai pembawa hak atau dianggap sebagai telah lahir jika kepentingannya memerlukan, terutama masalah waris. Tetapi dalam hukum Islam tidak semua orang dapat melaksanakan sendiri dan kewajibannya dan keadaan ini disebut dengan "Mahjur 'Alaih" sebagaimana tersebut dalam al Qur'an Surat An-Nisa ayat 5 yang artinya "Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan".
Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam hukum Islam dikenal dengan orang yang tidak cakap bertindak dalam hukum yaitu mereka yang disebut dengan "as-syufah". Menurut Muhammad Ali As Sayis sebagaimana yang dikutip oleh Hasbalah Thaib[9] yang dimaksud dengan As Shufaha ialah orang yang tidak sempurna akalnya dalam hal memelihara hartanya dan kebaikan tasharruf padanya, dalam hal ini anak-anak yang belum dewasa, orang gila dan orang yang selalu membuat mubazir dalam hidupnya. Menurut Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K Lubis[10], orang yang termasuk mahjur 'alaih (tidak cakap bertindak) adaiah anak yang masih dibawah umur, orang yang tidak sehat akalnya dan orang yang boros yang selalu membuat mubazir dalarn hidupnya.

4.      Tujuan Kontrak (Maudhu'ul 'Aqd)
Tujuan kontrak merupakan suatu hal yang sangat penting dalam sebuah kontrak yang dilaksanakan. Dalam hukum Islam yang dimaksud dengan maudhu'ul 'Aqd (tujuan kontrak) adalah untuk apa suatu kontrak dilakukan (al maqshad al ashli alladzi syariah al 'aqd min ajlih) oleh seseorang dengan orang lain dalam rangka melaksanakan suatu muamalah avitara manusia, dan yang menentukan akibat hukum dari suatu kontrak adalah al mysyarri. (yang menetapkan syari'at) yakni Allah sendiri. Dengan kata lain, akibat hukum dari suatu kontrak harus diketahui melalui syara' dan harus sejalan dengan kehendak syara'. Atas dasar ini, semua kontrak yang tujuannya bertentangan dengan syara. (hukum Islam) adalah tidak sah dan oleh karena itu tidak menimbulkan akibat hukum, misalnya menjual barang haram (minuman khamar), jika ini terjadi maka akibat hukum tidak tercapai dan tidak mempunyai effek hukum.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Ahmad Azhar Basyir[11] menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan kontrak dipandang sah dan mempunyai akibat hukum sebagai berikut yaitu pertama : tujuan kontrak tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa kontrak yang diadakan, tujuan hendaknya baru ada pada pada saat akad diadakan, misalnya kontrak ijarah (perjanjian kerja) yang diadakan antara suami isteri untuk meiakukan pekerjaan dalam rumah tangga. Kontrak ini tidak sah sebab tujuan kontrak telah menjadi kewajiban isteri untuk meiakukan pekerjaan itu menurut ketentuan agama, meskipun tanpa adanya kontrak tersebut, kedua : tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan kontrak, misalnya dalam kontrak sewa menyewa rumah dalam jangka waktu dua tahun, tujuannya untuk mengambil manfaat dari kontrak tersebut. Jika manfaat tidak tercapai maka kontrak menjadi rusak sejak tujuannya hilang, ketiga : tujuan kontrak harus dibenarkan oleh syara', jika syarat ini tidak terpenuhi, maka kontrak tidak sah, seperti kontrak riba dan sebagainya.


Hal-Hal Yang Dapat Merusak Kontrak
Para pakar hukum Islam sepakat bahwa suatu kontrak dipandang tidak sah atau sekurang-kurangnya dapat dibatalkan apabila terdapat hal-hal seperti tersebut dibawah ini:

1.      Keterpaksaan
Salah satu asas kontrak menurut hukum Islam adalah kerelaan (al Ridha) para pihak yang melakukan kontrak. Implementasi asas ini diwujudkan dalam bentuk ijab qabul yang merupakan unsur terpenting dalam kontrak. Jika suatu kontrak dilakukan tanpa unsur kerelaan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut, maka kontrak tersebut dianggap telah dibuat dengan cara terpaksa. Hal ini tidak dapat dibenarkan dan kontrak tersebut dianggap cacat hukum dan dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan.

2.      Kekeliruan dalam Objek Kontrak (Ghalath)
Kekeliruan yang dimaksud disini adalah kekeliruan atau kesalahan orang yang melakukan kontrak tentang obyak kontrak, baik dari segi jenisnya (zatnya) maupun dari segi sifatnya. Misalnya seseorang membeli perhiasan yang diduga adalah emas, pada kenyataannya barang yang dibeli itu adalah tembaga. Kontrak seperti ini sama dengan kontrak pada sesuatu yang tidak ada obyeknya. Dengan demikian, status hukum jual beli tersebut batal karena obyek kontrak yang dikehendaki oleh pembeli tidak ada.

3.      Penipuan (Tadlis) dan Tipu Muslihat (Taghir)
Menurut Abdul Halim Mahmud al Ba'ly[12] yang dimaksud dengan penipuan (tadlis) adalah suatu upaya untuk menyembunyikan cacat pada obyek kontrak dan menjelaskan dengan gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataannya untuk menyesatkan pihak yang berkontrak dan berakibatkan merugikan salah satu pihak yang berkontrak tersebut. Lebih lanjut al Ba'ly[13] menjelaskan bahwa penipuan (tadlis) ada tiga macam yakni, pertama : penipuan yang bentuk perbuatan yaitu menyebutkan sifat yang tidak nyata pada obyek kontrak, kedua : penlpuan yang berupa ucapan, seperti berbohong yang diiakukan oleh salah seorang yang berkontrak untuk mendorong agar pihak lain mau melakukan kontrak. Penipuan juga dapat terjadi pada harga barang yang dijual dengan menipu memberi penjelasan yang menyesatkan, ketiga : penipu dengan menyembunyikan cacat pada obyek kontrak, padahal ia sudah mengetahui kecacatan tersebut.


Hak Menentukan Pilihan Dalam Kontrak (Khiyar)

Khiyar menurut harfiah adalah memilih mana yang lebih baik dari dua hal atau lebih. Secara terminologis al Zuhaily mendefinisikan[14] khiyar adalah hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan kontrak untuk meneruskan atau tidak meneruskan kontrak dengan mekanisme tertentu. Menurut Ahmad Azhar Basyir[15] Khiyar berarti hak memiliki antara barang-barang yang diperjualbelikan bila hal dimaksud menyangkut penentuan-penentuan barang yang akan dibeli. Hak khiyar ini dimaksudkan guna menjamin agar kontrak yang diadakan benar-benar terjadi atas kerelaan penuh pihak-pihak bersangkutan karena sukarela itu merupakan asas bagi sahnya suatu kontrak.
Para ahli hukum Islam membedakan khiyar yang bersumber dari kedua belah pihak yang melakukan kontrak seperti khiyar syarath dan khiyar ta'yin, dan khiyar yang bersumber dari syara' itu sendiri seperti khiyar 'aib, khiyar ru'yah dan khiyar majlis. Di bawah ini akan diuraikan masing-masing khiyar tersebut.

1.      Khiyar Syarath
Khiyar syarath adalah hak memilih antara melangsungkan atau membatalkan kontrak yang telah terjadi, bagi masing-masing, atau salah satu pihak dalam waktu tertentu. Misalnya pembeli mengatakan "saya beli barang ini dari engkau dengan syarat saya berhak memilih antara meneruskan atau membatalkan kontrak tersebut selama satu minggu". Ahmad Azhar Basyir[16] menjelaskan bahwa Imam Hambali tidak membatasi berapa hari lamanya, panjang pendek dibolehkan asal dapat ditentukan atas kerelaan masing-masing pihak yang bersangkutan. Sedangkan Abu Hanifah dan Imam Syafi'i membatasi syarat tersebut tidak boleh lebih dari tiga hari. Imam Maliki berpendapat lama khiyar itu tergantung kepada barang yang diperjualbelikan, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

2.      Khiyar Ta'yin
Khiyar ta'yin adalah hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang menjadi obyek kontrak. Khiyar at ta'yin berlaku apabila obyek kontrak hanya satu dari sekian banyak barang yang berbeda kualitas dan harganya dan satu pihak pembeli, misalnya diberi hak menentukan mana yang akan dipilihnya. Khiyar ta'yin dibolehkan apabila identitas barang yang menjadi obyek kontrak belum jelas. Oleh sebab itu, khiyar at ta'yin berfungsi untuk menghindarkan agar kontrak tidak terjadi terhadap sesuatu yang tidak jelas (majhul).

3.      Khiyar 'Aib
Khiyar 'aib yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan kontrak bagi kedua belah pihak yang mengadakan kontrak, apabila terdapat suatu cacat pada obyek kontrak dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika kontrak berlangsung. Misalnya seseorang membeli satu kilogram kurma, tetapi sebahagian dari kurma itu sudah busuk dan tidak diketahui oleh sipembeli kurma itu sebelumnya. Dalam kasus ini, para ahli hukum Islam sepakat untuk ditetapkan khiyar bagi pembeli. Dasar hukumnya adalah Hadist Riwayat Ibnu Majah dari Uqabah Ibn Amir, Rasulullah Saw. Bersabda bahwa sesama muslim itu bersaudara, tidak halal bagi seseorang menjual barangnya kepada muslim lainnya, padahal pada barang itu terdapat cacat (aib) yang tersembunyi.

4.      Khiyar ar Ru'yah
Khiyar ar ru'yah adalah hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terahadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika kontrak berlangsung. Dasar hukum dari khiyar ar Ru'yah ini adalah Hadist Riwayat al Daruqutni dari Abu Hurairah r.a "Manisytara Syaian lam yarahu fahua bil khiyari iza ra-ahu" (siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu). Akad seperti ini menurut ulama Hanafiah, Malikiyyah dan Zahiriyah terjadi karena obyek yang akan dibeli itu tidak ada ditempat berlangsungnya kontrak, atau karena sulit dilihat seperti ikan kaleng. Khiyar ar Ru'yah ini mulai berlaku sejak pembeli melihat barang yang akan dia beli.[17]

5.      Khiyar Majelis
Khiyar majelis adalah hak pilih bagi kedua belah pihak yang berkontrak untuk meneruskan atau tidak meneruskan kontrak selama keduanya masih dalam majelis akad dan belum berpisah. Khiyar Majelis hanya berlaku dalam kontrak yang bersifat mengikat kedua belah pihak seperti jual beli dan sewa menyewa.


Berakhirnya Suatu Kontrak (Intiha' Al 'Aqd)

1.      Terpenuhinya Tujuan Kontrak
Suatu kontrak dipandang berakhir apabila tujuan kontrak sudah tercapai. Dalam kontrak jual beli misalnya, kontrak dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah tangan kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. Dalam kontrak gadai (rahn) dan pertanggungan (kafalah), kontrak dipandang telah berakhir apabila hutang telah terbayar. Kontrak bisa dianggap berakhir jika telah berakhirnya masa kontrak, misalnya kontrak sewa menyewa sudah habis, kontak menjadi berakhir dengan sendirinya.

2.      Berakhir karena Pembatalan (Fasakh)
Kontrak dapat dibatalkan karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syara', seperti yang disebutkan dalam kontrak yang rusak karena tidak memenuhi rukun dan syaratnya. Kontrak semacam ini harus difasakh, baik oleh para pihak itu sendiri maupun oleh hakim, kecuali terdapat hal-hal yang menyebabkan fasakh tidak dapat dilakukan seperti pihak pembeli sudah menjual barang yang dibelinya. Dalam kasus yang terakhir ini, pembeli wajib mengembalikan nilai barang yang dijualnya itu dengan nilai pada saat ia menerima barang, dan bukan mengembalikan harga yang disepakati.

3.      Putus demi Hukum (Infisakh)
Berakhirnya kontrak karena putus dengan sendirinya atau putus demi hukum, karena disebabkan isi kontrak tidak mungkin untuk dilaksanakan (istihalah al tanfidz), misalnya adanya bencana alam (force majeure), atau sebab-sebab lain yang tidak mungkin dilaksanakan oleh pihak-pihak yang melaksanakan kontrak kalau dilaksanakan ia akan menderita rugi.

4.      Karena Kematian (Wafat)
Tentang hal ini para ahli hukum Islam berbeda pendapat, sebahagian dari mereka mengatakan bahwa tidak semua kontrak otomatis berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak yang melaksanakan kontrak. Sebahagian lagi menyatakan bahwa kontrak dapat berakhir dengan meinggalnya orang yang melaksanakan kontrak, diantaranya kontrak sewa menyewa, gadai (rahn), al hafalah, asy syirkah, al wakalah dan al muzara'ah. Kontrak juga dapat berakhir dalam kontrak bai' al fudhul yakni suatu bentuk jual beli yang keabsahannya tergantung pada persetujuan orang lain, dalam hal ini dapat dibatalkan apabila tidak mendapat persetujuan dari pemilik modal.

5.      Tidak Ada Persetujuan ('Adam al Ijazah)
Kontrak dapat berakhir karena pihak yang memiliki kewenangan tidak memberikan persetujuannya terhadap pelaksanaan kontrak yang telah dibuatnya. Pada umumnya para pihak yang berwenang tidak memberikan persetujuannya karena kontrak tersebut pembuatannya menyimpang dari ketentuan yang telah digariskan oleh hukum syara', atau tidak memenuhi syarat dan rukun kontrak yang telah ditetapkan oleh hukum Islam.


KESIMPULAN

Kontrak merupakan hal penting dalam kehidupan manusia, sebab dengan kontrak hubungan antara manusia dalam mencari kehidupan akan terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Hukum kontrak dalam Islam telah diatur secara rinci dengan prinsip bahwa kontrak itu adalah pertalian antara ijab qabul yang dibenarkan oleh syara' yang menimbulkan akibat hukum terhadapnya. Ada tiga unsur dalam suatu kontrak yang dibuat oleh para pihak yakni, adanya pertalian ijab qabul, dibenarkan oleh syara' dan mempunyai akibat hukum terhadap obyeknya.
Para ahli hukum Islam juga sepakat bahwa obyek kontrak adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek kontrak dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Obyek kontrak ini dapat berbentuk benda berwujud seperti tanah atau rumah dan dapat berbentuk benda yang tidak berwujud seperti manfaat dari suatu benda. Demikian tulisan ini disusun, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a.lamu bishawab...



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Mahmud al Ba'ly, Al Istitsmar wa al Riqabah al Syar'iyyah fi al Bunuk wa al Mu assasah al Maliyyah al Islamiyyah, Maktabah Wahbah al Qahirah, kairo Mesir, 1991.
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat, UII Press Yogyakarta, 2004.
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur-an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina bekerjasama dengan Jurnal Ulumul Qur'an, Jakarta, 2002.
Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syari'ah, dalam Mariam Dams Baadrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Adtya Bakhti Bandung, 2001.
Gemala Dewi et al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, diterbitkan atas kerjasama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum UI Jakarta, dengan Prenada Media Jakarta, 2005.
Hasballah Thaib, Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1992.
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000.
Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Dar al Fikr al Mu'ashir, Damaskus, Jilid 4, 1997.
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986.


[1] Ketua Pengadilan Agama Kisaran, E-mail: mustopa_pakis@hotmail.com
[2] Hakim pada Pengadilan Agama Kisaran, E-mail: fadhly_ase@hotmail.com
[3] WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal. 402.
[4] Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syari'ah, dalam Mariam Dams Baadrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Adtya Bakhti Bandung, 2001, hal. 249-251.
[5] Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur-an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina bekerjasama dengan Jurnal Ulumul Qur'an, Jakarta, 2002, hal. 369-388
[6] Gemala Dewi et al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, diterbitkan atas kerjasama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum UI Jakarta, dengan Prenada Media Jakarta, Cet. II, tahun 2006, hal. 30.
[7] Ibid., hal. 50.
[8] Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Dar al Fikr al Mu'ashir, Damaskus, Jilid 4, 1997.
[9] Hasballah Thaib, Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1992, hal.9
[10] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal. 10.
[11] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat, UII Press Yogyakarta, 2004, hal.99-101
[12] Abdul Halim Mahmud al Ba'ly, Al Istitsmar wa al Riqabah al Syar'iyyah fi al Bunuk wa al Mu .assasah al Maliyyah al Islamiyyah, Maktabah Wahbah al Qahirah, kairo Mesir, 1991 , hal. 30
[13] Ibid.
[14] Wahbah al Zuhaili, Op. cit., hal. 3086-3095
[15] Ahmad Azhar Basyir, Op. cit., hal. 125
[16] Ibid., hal. 127
[17] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hal. 137