Rabu, 30 November 2011

TEORI HUKUM DAN FILOSOFI KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM AKAD TRANSAKSI ISLAMI


Nara Sumber Oleh: Ade Setiawan[1]

PENDAHULUAN

Islam adalah sebuah system yang sangat komprehensif dan merupakan jalan hidup yang sempurna, Islam mengatur segala sapek persoalan dengan asas agama (religiusitas), Islam tidak hanya membahas permasalahan akhirat saja yang meliputi hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Akan tetapi Islam juga mengatur hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya melalui aspek muamalah.

Muamalah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti saling berbuat, kata ini menggambarkan suatu aktifitas yang dilakukan seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Yang kesemuanya itu diatur didalam fiqih muamalah, yang berarti Hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan Hukum manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan, misalnya dalam persoalan jual-beli, utang-piutang, kerjasama dagang, perserikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah, dan sewa-menyewa.

Dalam pelaksanaannya, organisasi, perkumpulan, dan asosiasi para pelaku bisnis di seluruh dunia telah mengembangkan kode etik dalam dunia bisnis yang berupa syarat-syarat, criteria, atau prinsip yang harus diterima dalam menjaga kelangsungan bisnis mereka, namun apakah kode etik tersebut telah sesuai dengan dengan prinsip-prinsip syari’ah itulah yang menjadi pertanyaan besar hingga saat ini, oleh sebab itu sangat diperlukan perspektif yang lebih religius dan professional dalam melakukan transaksi-transaksi bisnis islam. Sehingga didalam pelaksanaannya para pelaku bisnis diharapkan memperhatikan nilai-nilai syari’ah, yang mengejar keuntungan tanpa menghalalkan segala cara.


PEMBAHASAN

A. DASAR HUKUM KEBEBASAN BERKONTRAK

Terjemahan :
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (Q.S. Al-Maidah:1)

Terjemahan :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 29)

Terjemahan :
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa’:4)

Terjemahan:
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. AL-Isra’ : 23)


B. PENGERTIAN KONTRAK (AKAD)

Dalam istilah Hukum kontrak, kontrak merupakan suatu istilah asing dalam bahasa Inggris yaitu “contract”, sedangkan dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah lama terdapat kata kontrak dan bukan merupakan istilah asing,[2] dalam konsep fiqih muamalah kontrak lebih dikenal dengan sebutan aqad, yang menurut fuqaha berarti perikatan antar ijab dan qabul dengan cara-cara yang disyari’atkan dan mempunyai dampak terhadap apa yang diaqadkan tersebut.[3]

Istilah perjanjian atau kontrak dalam bahasa Indonesia, atau aqad dalam bahasa Arab atau dalam istilah Hukum Islam berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt).[4] Sebagai suatu istilah dalam Hukum Islam, ada beberapa definisi yang diberikan pada aqad atau perjanjian sebagai berikut:
1.      Menurut pasal 262 Mursyid al- Hairan, akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan Kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat Hukum pada ojek akad.[5]
2.      Aqad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak Syari’at yang berpengaruh pada objek perikatan.[6]
3.      Aqad adalah pertemuan antar ijab dan Kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat Hukum pada objeknya.[7]

Dari definisi di atas memperlihatkan bahwa, pertama, akad adalah keterkaitan atau pertemuan ijab dan qabul yang berakibat timbulnya akibat Hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak, dan qabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama. Akad tidak akan terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain, karena akad adalah keterkaitan kehendak keduabelah pihak yang tercermin dalam ijab dan qabul.

Kedua, akad merupakan tindakan Hukum dua pihak karma akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan qabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat Hukum, lebih tegas lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan akad.

Secara umum tujuan akad dapat dikategorikan menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut :
1.      Pemindahan milik dengan imbalan ataupun tanpa imbalan (at-Tamlik).
2.      Melakukan pekerjaan (al-‘amal).
3.      Melakukan persekutuan (al-Isytirak).
4.      Melakukan pendelegasian (at-Tafwidh).
5.      Melakukan penjaminan (at-Tautsiq).

Pemindahan milik meliputi pemindahan milik atas benda dan pemindahan milik atas manfaat. Jual-beli adalah akad untuk memindahkan milik atas benda dengan imbalan. Hibah adalah pemindahan milik atas benda tanpa imbalan. Sewa-menyewa adalah pemindahan milik atas manfaat dengan imbalan. Pinjam pakai adalah akad pemindahan milik atas manfaat benda tanpa imbalan. Muzaraah adalah akad untuk melakukan pekerjaan. Mudharabah adalah akad untuk melakukan persekutuan modal dan usaha guna membagi hasilnya. Wakalah (pemberian kuasa) adalah akad untuk melakukan pedelegasian. Kafalah (penanggungan) adalah akad untuk melakukan penjaminan.

Untuk merealisasikan Hukum pokok akad, maka para pihak memikul beberapa kewajiban yang sekaligus merupakan hak pihak lain. Misalnya, dalam akad jual-beli, penjual berkewajiban menyerahkan barang yang merupakan hak pembeli, dan pembekli berkewajiban menyerahkan harga yang merupakan hak penjual. Hak dan kewajiban ini disebut hak-hak akad, dan disebut juga akibat Hukum tambahan akad. Akibat Hukum tambahan akad ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu akad Hukum yang ditentukan oleh syari’ah dan akibat Hukum yang ditentukan oleh para pihak sendiri.

C. ASAS-ASAS KONTRAK / PERJANJIAN (AKAD)

Asas Ibahah (Mabda’ al-Ibahah)
Asas ibahah adalah asas umum Hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “pada asasnya segala sesuatu itu baleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”. Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam Hukum Islam, untuk tindakn-tindakan ibadah berlaku asas bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil syari’ah. Orang tidak dapat membuat-buat bentuk baru ibadah yang tidak pernah ditetukan oleh Nabi SAW. Bentuk-bentuk baru ibadah yang dibuat tanpa pernah diajarkan oleh Nabi SAW. Itu disebut bid’ah dan tidak sah  hukumnya.

Sebaliknya, dalam tindakan-tindakan muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitu bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu. Bila dikaitkan dengan tindakan Hukum, khususnya perjanjian, maka ini berarti bahwa tindakan Hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian tersebut.

Asas Kebebasan Berkontrak / Berakad (mabda’ hurriyyah at-Ta’aqud)
Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip Hukum yang menyetakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah dientukan dalam undang-undang syari’ah dan memasukkan klausul apa saja kedalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan jalan bathil. Namun demikian, dilingkungan mazhab-mazhab yang berbeda terdapat perbedaan pendapat mengenai luas sempitnya kebebasan tersebut. Nash-nash Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Serta kaidah-kaidah Hukum Islammenunjukkan bahwa Hukum Islam menganut asas kebebasan berakad. Asas kebebasan berakad ini merupakan konkretisasi lebih jauh dan spesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibahah dalam muamalah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 1 sebagai berikut:

Terjemahan :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. Al-Maidah :1)

Cara menyimpulkan kebebasan berakad dari ayat tersebut adalah bahwa menurut kaidah ushul fiqh (metodologi penemuan Hukum islam), perintah dalam ayat ini menunjukkan wajib. Artinya memenuhi akad itu hukumnya wajib. Dalam ayat ini akad disebutkan dalam bentuk jamak yang diberi kata sandang “Al” (al-‘Uqud). Menurut kaidah ushul fiqh, jamak yang diberikan kata sandang “Al” menunjukkan keumuman.[8] Dengan demikian, dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang dapat membuat akad apa saja baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan akad-akad itu wajib dipenuhi.[9]

Asas Konsensualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah)
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam Hukum islam  pada umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual.
Para ahli Hukum islam biasanya menyimpulkan asas konsensualisme dari dalil-dalil Hukum berikut:
a.       AL-Qur’an
Terjemahan :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 29)

Terjemahan :
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa’ : 4)

b.    Sabda Nabi SAW, Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kata sepakat [Hadis riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah].[10]

c.   Kaidah Hukum islam, pada asanya perjanjian (akad) itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji.[11]

Kutipan ayat pada angka 1) menunjukan antara lain bahwa setiap pertukaran secara timbal balik diperbolehkan dan sah selama didasarkan atas kesepakatan. Ayat pada angka 2) menunjukkan bahwa suatu pemberian adalah sah apabila didasarkan kepada perizinan (rela hati) si pemberi. Mengenai kedua ayuat ini, Ibn Taimiyyah (w. 728/1328) menyatakan, …dan boleh karena kerelaan hati itulah yang menjadi sebab dibolehkannya makan mahar, maka seluruh akad Tabaru’ (Cuma-Cuma) lainnya, dengan jalan melakukan qiyas (analogi) atas dasar illat yang dinaskan dan ditunjukkan oleh Al-Qur’an, adalah sama dengan ini. Begitu juga firman-nya, kecuali (jika makan harta sesasma itu dilakukan) dengan jalan tukar menukar atas dasar perizinan timbal balik (kata sepakat) dari kamu hanya mensyaratkan kata sepakat dalam tukar-menukar kebendaan.[12]

Pada bagian lain Ibn Taimiyyah menegaskan lagi, Allah memandang lagi cukup perizinan timbal balik untuk jual-beli dalam firman-Nya, “kecuali dengan jalan tukar-menukar atas dasar perizinan timbal balik dari kamu dan memandang cukup kerelaan hati (consent) untuk Tabaru’ dalam firman-Nya, kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mas kawin itu atas dasar senang hati (perizinan,consent)maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai suatu yang sedap lagi baik akibatnya. Jadi ayat pertama adalah mengenai jenis akad atas beban (muawadah) dan ayat kedua mengenai jenis akad Tabaru’…[13]

Hadis Nabi SAW. Pada angka 3) dengan jelas menunjukkan bahwa akad jual beli didasarkan kepada perizinan timbale balik (kata sepakat). Meskipun hanya akad jual beli saja yang disebutkan dalam hadis ini, namun untuk akad-akad yang lain diqiyaskan (dianalogikan) kepada akad jual beli, sehingga denan dasar analogi itu akad-akad lain juga didasarkan pada kata sepakat.

Kaidah Hukum islam pada angka 4) secara amat jelas menyatakan bahwa perjanjian itu pada asasnya adalah kesepakatan para pihak, sehingga bila telah tercapai kata sepakat para pihak, maka terciptalah suatu perjanjian.

1.      Asas Janji Itu Mengikat 
Dalam Al-Qur’an dan Hadis terdapat banyak perintah agar memenuhi janji. Dalam kaidah usul fiqih, “perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib” ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. Diantara ayat dan hadis dimaksud adalah,
a.       Firman Allah,
Terjemahan :
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. Al-Israa’ : 34)

 b.      Asar dari Ibn Mas’ud, janji itu adalah utang.[14]
c.       Ayat QS. 5: 1 dan hadis al-Hakim yang telah dikutip pada sub C. 2. 1) dan 2. 2) di atas.

2.      Asas Keseimbanggan (Mabda’ at-Tawazun fi al-Mu’awadhah)
Meskipun secara factual jarang terjadi keseimbangan antaras para pihak dalam bertransaksi, namun Hukum perjanjian islam tetap menekankan perlunya keseimbangan itu,baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul resiko. Asas keseimbangan dalam transaksi (antara apa yang diberikan dengan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami  ketidak seimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul resikso tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala resiko atas kerugian usaha, sementara kreditor bebas sama sekali dan harus mendapatkan prosetase tertentu sekalipun pada sat dananya mengalami kembalian negative

3.      Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)
Dengan asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa akadsyang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudrahat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah). Apabila dalam pelaksanaan akad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan sehingga memberatkannya, maka kewajibannya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal.[15]

4.      Asas Amanah
Dengan asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beretikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak sekali objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang amat spesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditransaksikan, pihak lain yang menjadi mitra transaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya. Profesi kedokteran, terutama dokter spesialis, misalnya hanya diketahui dan dikuasai oleh dokter saja.

Masyarakat umum tidak mengetahui seluk beluk profesi tersebut. oleh karena itu, ketika seorang pasien sebagai salah satu pihak transaksi akan diterapkan suatu metode  pengobatan dan penaganan penyakaitnya, sang pasien sangat tergantung kepada informasi dokter untuk mengambil keputusan menjalani metode tersebut. Begitu pula terdapat barang-barang canggih, tetapi juga mungkin menimbulkan resiko berbahaya bila salah penggunaannya. Dalam hal ini, pihak yang bertransaksi dengan objek barang tersebut sangat bergantung kepada informasi produsen yang menawarkan barang tersebut. Oleh karena itu, dalam kaitan ini dalam Hukum perjanjian islam dituntut adanya sikap amanah pada pihak yang menguasainya untuk memberi informasi yang sejujurnya kepada pihak lain yang tidak banyak mengetahuinya.

Dalam Hukum islam, terdapat suatu bentuk perjanjian yang disebut perjanjian amanah, salah satu pihak hanya bergantung kepada  informasi jujur dari pihak lainnya  untuk mengambil keputusan untuk menutup perjanjian beresangkutan. Di antara ketentuannya, adalah bahwa bohong atau penyembuyian informasi yang semestinya disampaikan dapat menjadi alasan pembatalan akad bila dikemudian hari ternyata informasi itu tidak benar yang telah mendorong pihak lain untuk menutup perjanjian. Contoh paling sederhana dalam Hukum islam adalah akad murabahah, yang merupakan salah satu bentuk akad amanah. Pada zaman sekarang wilayah akad amanah tidak saja hanya dibatasi pada akad seperti murabahah, tetapi juga meluas kedalam akad takaful (asuransi) bahkan juga banyak akad yang pengatahuan mengenai objeknya hanya dikuasai oleh salah satu pihak saja.

5.      Asas Keadilan
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua Hukum. Dalam Hukum islam, keadilan langsung merupakan perintah Al-Qur’an yang menegaskan, sebagaimana firman Allah berikut ini :

Artinya :
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah : 8)

Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian dibuat oleh para pihak. Sering kali dizaman modern akad ditutup olaeh satu pihak  dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausul akad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaannya akan timbul kerugian kepada pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam Hukum islam konterporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dalat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alas an untuk itu.[16]


D. KESIMPULAN

Dari uraian di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      kontrak merupakan suatu istilah asing dalam bahasa Inggris yaitu “contract”, sedangkan dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah lama terdapat kata kontrak dan bukan merupakan istilah asing,[17] dalam konsep fiqih muamalah kontrak lebih dikenal dengan sebutan aqad, yang menurut fuqaha berarti perikatan antar ijab dan qabul dengan cara-cara yang disyari’atkan dan mempunyai dampak terhadap apa yang diaqadkan tersebut.[18]
2.      Asas filosofi kebebasan berkontrak adalah sebagai berikut ;
a.  Asas ibahah adalah asas umum Hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “pada asasnya segala sesuatu itu baleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”.
b.      Asas Kebebasan Berkontrak / Berakad (mabda’ hurriyyah at-Ta’aqud)
c.       Asas Konsensualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah)
d.      Asas Janji Itu Mengikat
e.       Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)
f.       Asas Amanah
      g.   Asas Keadilan


[1] Mahasiswa Program Pasca Sarjana (PPS) Institut Agama Islam Negeri (Iain) Raden Intan Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah
[2] Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 2.
[3] TM. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 10.
[4] Ahmad Abu al-Fath, Kitab al-Muamalat fi as-Syari’ah al-Islamiyyah wa al-Qawanin al-Mishriyyah, Mesir, Matba’ah al-Busfir, 1913, I: 139; Lihat juga Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, Mesir, Mushtafa al-Babii al-Halabi, 1964, II: 4.
[5] Basya, Mursyid al-Hairan ila Ma’rifah Ahwal al-Insan, Kairo, Dar al-Furjani, 1403/1983, hlm. 49.
[6] Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, Mesir al-Amiriyah, tt, jilid II, hlm. 255.
[7] Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. Hukum Perjanjian Syari’ah (study tentang teori aqad dalam fiqih muamalah, Jakarata, PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 68.
[8] Muhammad Abu zahrah, Ushul al-Fiqih (ttp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), hlm. 157.
[9] Lihat tafsir ayat ini dalam at-thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (Beirut: Mu’assasah al-A’lam li al-Muthbu’at, 1970), V:158
[10] Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban (Beikut: Mu’assasah ar- Raisalah,1414/1993),XI:340, hadfis no.4967;dan Ibn Majah,sunan Ibn Majah (Berikut: Dar al-Fikr, t.t.), II:737, hadis no.2185.
[11] Az-Zarqa’,op. cit., II: 1083.
[12] Ibn Tamiyyah, M ajmu’ al-fatawa (Riyad: Matabi’ ar-Riyadh, 1383 H) ,XXIX:155
[13] Ibid., XXIX:14-5
[14]Asar ini diriwayatkan secara maukuf oleh al- Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad. Sedangkan at-Tabani dalam al-Mu’jam al-Ausat dan al-Mu’jam ash-shagir meriwayatkannya secara marfuk dari Nabi SAW. Melalui sahabat ‘Ali. Lihat at-Tabani, al-Mu’jam al-Ausat (kairo: Dar al-Haramin, 1415 H), IV:23; dan al-Ausat (Beirut-Amman: al-Maktab al-Islami dan Dar ‘Amman,1985), I:256. selain itu juga diriwayatkan secara marfuk oleh al-Qudha’I dalam musnad asy-Syihab (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1986), I:40. riwayat marfuk ini didaifkan oleh para ahli hadis. Lebih lanjut komentar mengenai hadis ini lihat al-Manawi, faidh al- Qadir (Mesir:al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra,1356 
H), IV:377; dan al-Ajluni,Kasyf al-Khafa’(Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1405
H), II:73-4.
[15] Lihat bahasan pada Bab XI B angka 3.
[16] Lihat bahasan Bab XI B angka 2.
[17] Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 2.
[18] TM. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 10.