Rabu, 20 April 2011

Implikasi Positif Serta Dampak Negatifnya Mazhab Bagi Pembinaan dan Pengamalan Hukum Islam

Nara Sumber : Ade Setiawan, S.H.I.[1]


Latar Belakang Munculnya Mazhab Fiqh

Sebenarnya ikhtilaf  telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat. Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru tersebut.

Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis, menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
1)      Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an.
2)      Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat.
3)      Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.

Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.

Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.

Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah “The Golden Age”. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqh Islam, di mana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqh agung yang berjasa mengintegrasikan fiqh Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqh sampai sekarang.

Sebenarnya periode ini adalah kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran di bidang fiqh yang diwakili mazhab ahli hadis dan ahli ra’yu merupakan penyebab timbulnya mazhab-mazhab fiqh, dan mazhab-mazhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum.

Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.


Mazhab-mazhab fiqih dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1)      Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah
Ahl al-Ra’yi, kelompok ini dikenal pula dengan Mazhab Hanafi (Hanafiyah). Imam Abu Hanafi mempunyai penetapan hukum syariat berdasarkan dalil dalil hukum Islam dengan urutan sebagai berikut :
·        Al-Qur’an, Semua mazhab sepakat Al-Qur’an adalah dalil hukum yang pertama dan utama, walaupun demikian mereka kadang kadang berbeda pendapat dalam hal penafsiran dan istimbath (penetapan hukum ayat tersebut).
·        Al-Hadist, Hadist yang diterima olehnya adalah hadist masyur (terkenal), yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang bahkan lebih. Hadist ahad atau diterima, diriwayatkan hanya satu orang tidak diterima, beliau lebih mengutamakan Qiyas (analogi) dari pada memakai hadist ahad. Beliau adalah ulama yang paling banyak menggunakan Qiyas, itulah sebabnya lebih dikenal sebagai Ahlu Al Ra’yi (Rasionalis)
·        Istihsan, prinsip lebih mementingkan keadilan dan kebaikan secara mutlak
·        Ijma para sahabat Nabi.
2)      Ahli al-Hadis terdiri atas :
a)      Mazhab Maliki, Mazhab Malikiyah mempunyai cara penetapan hukum syariat berdasarkan urutan dalil-dalil hukum Islam sebagai berikut :
·        Al-Qur’an, sama dengan mazhab lainya, hanya ada perbedaan perbedaan dalam penafsiran ayat dan istimbath hukum dari padanya.
·        Al-Hadist, Termasuk hadist ahad dan atsar para sahabat yang sah, meskipun tidak Mansur, namun contoh perbuatan penduduk Madinah dan ijma para ulama lebih didahulukan dari pada hadist ahad.
·        Qiyas, dilaksanakan kalau tidak ada hadist dan atsar sahabat yang sah.
·        Mashalil al mursalah, yaitu prinsip mengutamakan kemaslahatan umum secara mutlak.
·        Ijma, para ulama Madinah dianggap lebih kuat dan diutamakan dari pada hadist ahad.
b)      Mazhab Syafi’I, Imam Syafi’I memiliki cara penetapan hukum syariat berdasarkan dalil-dalil hukum Islam sebagai berikut :
·        Al-Qur’an, Sama dengan Mazbah lainya, hanya perbedaan dan penafsiran ayat dan istimbath hukum dari padanya.
·        Al-Hadist, Hadist sahih ataupun hasan meskipun tidak Mansur, hadist didahulkukan daripada Qiyas dan ijma para ulama Madinah.
·        Qiyas, digunakan kalau tak ada nash (teks) Al-Qur’an dan Hadist.
·        Ijma, para ulama mujtahidin seluruhnya dalam satu masa. Ijma ulama Madinah saja yang tidak digunakan dalam dalil hukum.
c)      Mazhab Hambali, Imam Ahmad bin Hambal, menetapkan hukum syariat berdasarkanuerutan dalil-dalil huklum Islam sebagai berikut :
·        Al-Qur’an, sama pula dengan mazhab yang lain.
·        Al-Hadist, Hadist shahih, hasan atau dhaif, termasuk fatwa para sahabat Nabi, ini semua didahulukan dari pada Qiyas.
·        Qiyas, Ini dilaksanakan hanya karena kalau terpaksa, kalau tidak ada nash dan hadist,atsar,dan fatwa sahabat Nabi.
3)      Syi’ah, yang terdiri dari Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah.
4)      Khawarij.


Implikasi positif dan dampak negatif kemunculan mazhab-mazhab fiqih dalam pembinaan dan pengamalan hukum islam.

Dampak Positifnya, Adanya madzhab-madzhab tersebut berarti memberikan peluang yang cukup signifikan terhadp fiqh islam untuk berkembang dan bahkan berpeluang untuk tersebar lebih luas.

Dampak Negatif, Sesudah munculnya madzhab-madzhab muncul pula pola pikir fanatis terhadap madzhab yang berdampak terhadap semakin menipisnya sikap toleransi bermadzhab dan bahkan berdampak terhadap persaingan yang kurang sehat dan bahkan lebih dari itu berdampak terhadap terjadinya permusuhan akibat fanatisme madzhab yang berlebihan.

Setelah munculnya madzhab-madzhab fiqh tersebut, muncul pula anggapan bahwa pintu ijtihad ditutup. Ustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul perayataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut. Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.

Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab. Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhat dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing.

Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu\diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq. Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalar menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada da mazhab masing-masing.



Editing Text By: Rachmad Aqsa, S.H.I.
Tanpa ada perubahan, sesuai dengan aslinya.



[1] Mahasiswa Program Pasca Sarjana (PPS) Institut Agama Islam Negeri (Iain) Raden Intan Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah