Senin, 23 Februari 2015

Zakat: Pendayagunaan Zakat Dan Peran Lembaga Amil Zakat (Laz)



Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.[1]

Zakat merupakan sumber dana potensial bagi umat Islam yang dapat didayagunakan untuk mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan umat serta memperkuat sendi ketahanan ekonomi bangsa. Untuk mewujudkan fungsi zakat yang strategis maka dibutuhkan sistem kinerja lembaga pengelola atau amil yang professional, berkompeten, dan amanah. Profesionalisme menyangkut strategi pengumpulan (fundraising), sistem akuntansi dan
menejemen keuangan yang accountable, dan juga stategi pendayagunaan zakat yang tepat guna dan berhasil guna.[2]

Pendayagunaan berarti pengusahaan agar mendatangkan hasil, pengusahaan (tenaga dsb) agar mampu menjalankan tugas dengan baik.[3] Pengusahaan berarti proses, cara, perbuatan mengusahakan, menyelenggarakan, dan sebagainya.[4]

Jadi menurut istilah pendayagunaan zakat untuk usaha produktif adalah proses, atau cara dalam mengusahakan zakat untuk usaha produktif yang dilakukan oleh BAZ/LAZ agar mampu mendatangkan hasil (mengubah mustahiq menjadi muzakki zakat).

Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang – undang No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No.581 tahun 1999 tentang pelaksanaan Undang–undang No.38 tahun 1999 dan keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No.D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.[5]

Meskipun harus diakui bahwa dalam peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar misalnya tidak dijatuhkannya sanksi bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya (tidak mau berzakat), tetapi undang – undang tersebut mendorong upaya pembentukan lembaga pengelolaan zakat yang amanah, kuat, dan dipercaya oleh masyarakat.[6]

Pendayagunaan zakat diatur sebagai berikut ( Pasal 16,17, Undang-undang jo pasal 28,29 KMA ) :
1.       Hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama. Dalam penjelasan pasal 16 disebutkan bahwa mustahiq delapan ashnaf ialah fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu sabil, yang di dalam aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang paling tidak berdaya secara ekonomi, seperti anak yatim, orang jompo, penyandang cacat, orang yang menuntut ilmu, pondok pesantren, anak terlantar, orang yang terlilit hutang, pengungsi yang terlantar dan korban bencana alam.
2.       Pendayagunaan zakat untuk mustahiq dilakukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut :
a.       Hasil pendataan dan penelitian kebenaran mustahiq delapan ashnaf yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil.
b.      Mendahulukan orang-orang yang paling tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan.
c.       Mendahulukan mustahiq dalam wilayahnya masing-masing.
3.       Pendayagunaan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha produktif.
4.       Hasil penerimaan infaq, shadaqoh, hibah, wasiat, waris dan kafarat didayagunakan terutama untuk usaha yang produktif.
5.       Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif dilakukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut:
a.       Apabila pendayagunaan zakat untuk mustahiq, sudah terpenuhi dan ternyata masih terdapat kelebihan,
b.      Terdapat usaha-usaha nyata yang berpeluang menguntungkan,
c.       Mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Pertimbangan.
6.       Prosedur pendayagunaan zakat untuk usaha produktif ditetapkan sebagai berikut:
a.       Melakukan studi kelayakan,
b.      Menetapkan jenis usaha produktif,
c.       Melakukan bimbingan dan penyuluhan,
d.      Melakukan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan,
e.      Mengadakan evaluasi, dan
f.        Membuat pelaporan.[7]

Mustahiq zakat atau orang yang berhak menerima zakat harta benda (zakat maal) ada delapan asnaf (golongan) yakni fakir, miskin, amil (petugas  zakat), muallaf qulubuhum (orang yang baru masuk Islam), riqab (orang yang telah memerdekakan budak –zaman dulu), ghorim (orang yang berhutang), orang yang berjihad di jalan Allah (fi sabilillah), dan ibnu sabil (yang dalam perjalanan). Dari delapan asnaf itu, yang mesti didahulukan adalah fakir dan miskin.
Biasanya fakir didefinisikan sebagai orang yang tidak berpunya apa-apa, juga tidak bekerja alias pengangguran. Sementara orang miskin adalah yang bisa mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya tapi serba berkekurangan.

Umumnya zakat yang diberikan kepada mereka bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini kurang begitu membantu mereka untuk jangka panjang, karena uang atau barang kebutuhan sehari-hari yang telah diberikan akan segera habis dan mereka akan kembali hidup dalam keadaan fakir atau miskin. Bahwa zakat yang disalurkan kepada dua golongan ini dapat bersifat “produktif”, yaitu untuk menambah atau sebagai modal usaha mereka.

Disyaratkan bahwa yang berhak memberikan zakat yang bersifat produktif adalah yang mampu melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahiq agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik. Di samping melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahiq dalam kegiatan usahanya, juga harus memberikan pembinaan rohani dan intelektual keagamaannya agar semakin meningkat kualitas keimanan dan keislamanannya.[8]

Dengan banyaknya Lembaga Amil Zakat yang bermunculan tentu dapat memberikan angin segar dalam hal penanggulangan/pengurangan angka kemiskinan, lembaga tersebut dapat menjadi mitra pemerintah untuk mengadakan penyuluhan terhadap penduduk miskin. Beban berat pemerintah dapat terkurangi, memutus mata rantai birokrasi pemerintah ketika akan mendistribusikan bantuan karena biasanya tiap Lembaga Amil Zakat mempunyai pasukan Relawan yang berfungsi sebagai penyalur/distributor yang akan terjun langsung ke lapangan memberikan bantuan yang bersifat konsumtif (biasanya dikemas dalam dengan acara Baksos/Aksos dan pengobatan gratis dll), untuk bantuan yang bersifat produktif biasanya lembaga zakat akan memberikan pendampingan, pendidikan, pengamatan dan evaluasi terhadap usaha yang dikelola oleh mustahiq, dengan tujuan sector usaha tersebut dapat berjalan secara optimal, dan harapannya adalah usahausaha yang dibiayai oleh Lembaga Amil Zakat dapat meningkat sehingga tingkat kesejahteraan ekonomi mustahiq (fakir miskin) dapat meningkat. Dan tentunya dengan peningkatan usaha dan kesejahteraan tersebut akan terjadi perubahan kondisi dari mustahiq (fakir miskin) menjadi muzakki (orang yang wajib mengeluarkan zakat).[9]

Pendayagunaan zakat adalah inti dari seluruh kegiatan pengumpulan dana zakat (fundraising). Konsep dasar pendayagunaan zakat adalah mengubah mustahiq menjadi muzakki dalam arti :
a.       Mengubah orang miskin menjadi mampu (fakir, miskin)
b.      Mengubah orang terbelenggu menjadi bebas (muallaf, ghorimin, riqob dan fisabilillah)
c.       Mengubah orang bodoh menjadi pintar (ibnu sabil) Secara garis besar tipe penyaluran dana zakat dapat dilakukan dengan tiga cara :
1)      Penyaluran murni
·         Target : Setiap dana yang ada digunakan untuk hibah konsumtif (santunan langsung)
·         Alokasi dana : Saat dibagikan dana langsung habis
·         Orientasi : Sampainya dana kepada mustahiq
2)      Semi pendayagunaan
·         Target : Dana yang ada digunakan untuk hibah konsumtif dan pengembangan SDM (santunan langsung dan tidak langsung)
·         Alokasi dana : Saat dibagikan dana langsung habis
·         Orientasi : Sampainya dana dan juga kemanfaatannya bagi mustahiq
3)      Pendayagunaan
·         Target : Dana yang ada digunakan untuk kegiatan hibah (santunan langsung dan tidak langsung), untuk pengembangan SDM dan untuk kegiatan ekonomi produktif
·         Alokasi dana : Dana yang dibagikan tidak langsung habis
Orientasi : Kemanfaatan dan perubahan mustahiq


[1] H. Ahmad Thib Raya, Hj. Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk-beluk Ibadah DalamIslam, Cet.3, Jakarta: Kencana, 2003, hlm.14
[2] www.suaramuballigh.com, strategi pendayagunaan zakat. Oleh Rizaldy Siregar, hari Rabu, 19 November 2008, jam 19.00 WIB
[3] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 3, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 189
[4] Ibid., hlm. 998
[5] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia, Edisi 2, Cet.2, 2004, hlm. 240.
[6] Didin Hafidhuddin, Op. Cit, hlm:126.
[7] Suparman Usman, Hukum Islam; Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam danTata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004, hlm 173 -174.
[8] www.nu.or.id, Produktifitas dan Pendayagunaan Harta Zakat, Oleh: A. Khoirul Anam, 14 November 2007.
[9] WWW.blogspot.Com, Zakat Produktif Solusi Pengurangan Kemiskinan, Oleh: Sucipto, Hari Senin 12 Mei 2008