Hukum
Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf
yang diakui dan
diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.[1]
Zakat
merupakan sumber dana potensial bagi umat Islam yang dapat didayagunakan untuk
mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan umat serta memperkuat sendi
ketahanan ekonomi bangsa. Untuk mewujudkan fungsi zakat yang strategis maka
dibutuhkan sistem kinerja lembaga pengelola atau amil yang professional,
berkompeten, dan amanah. Profesionalisme menyangkut strategi pengumpulan (fundraising), sistem akuntansi dan
menejemen
keuangan yang accountable, dan juga stategi pendayagunaan
zakat yang tepat guna dan berhasil guna.[2]
Pendayagunaan
berarti pengusahaan agar mendatangkan hasil, pengusahaan (tenaga dsb) agar
mampu menjalankan tugas dengan baik.[3]
Pengusahaan berarti proses, cara, perbuatan mengusahakan, menyelenggarakan, dan
sebagainya.[4]
Jadi
menurut istilah pendayagunaan zakat untuk usaha produktif adalah proses, atau
cara dalam mengusahakan zakat untuk usaha produktif yang dilakukan oleh BAZ/LAZ
agar mampu mendatangkan hasil (mengubah mustahiq menjadi
muzakki zakat).
Di
Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang – undang No.38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No.581
tahun 1999 tentang pelaksanaan Undang–undang No.38 tahun 1999 dan keputusan
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No.D/291 tahun
2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.[5]
Meskipun
harus diakui bahwa dalam peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan
yang sangat mendasar misalnya tidak dijatuhkannya sanksi bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya
(tidak mau berzakat), tetapi undang – undang tersebut mendorong upaya
pembentukan lembaga pengelolaan zakat yang amanah, kuat, dan dipercaya oleh masyarakat.[6]
Pendayagunaan
zakat diatur sebagai berikut ( Pasal 16,17, Undang-undang jo pasal 28,29 KMA )
:
1. Hasil
pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai
dengan ketentuan agama. Dalam penjelasan pasal 16 disebutkan bahwa mustahiq delapan ashnaf ialah fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu sabil, yang di dalam aplikasinya
dapat meliputi orang-orang yang paling tidak berdaya secara ekonomi, seperti
anak yatim, orang jompo, penyandang cacat, orang yang menuntut ilmu, pondok
pesantren, anak terlantar, orang yang terlilit hutang, pengungsi yang terlantar
dan korban bencana alam.
2. Pendayagunaan
zakat untuk mustahiq
dilakukan
berdasarkan persyaratan sebagai berikut :
a.
Hasil pendataan dan penelitian kebenaran mustahiq delapan ashnaf yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim,
sabilillah, dan
ibnu sabil.
b.
Mendahulukan orang-orang yang paling tidak berdaya memenuhi kebutuhan
dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan.
c.
Mendahulukan mustahiq dalam
wilayahnya masing-masing.
3. Pendayagunaan
zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan
dapat dimanfaatkan untuk usaha produktif.
4. Hasil
penerimaan infaq, shadaqoh, hibah, wasiat, waris dan kafarat didayagunakan terutama untuk
usaha yang produktif.
5. Pendayagunaan
zakat untuk usaha produktif dilakukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut:
a.
Apabila pendayagunaan zakat untuk mustahiq, sudah terpenuhi dan ternyata
masih terdapat kelebihan,
b.
Terdapat usaha-usaha nyata yang berpeluang menguntungkan,
c.
Mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Pertimbangan.
6. Prosedur
pendayagunaan zakat untuk usaha produktif ditetapkan sebagai berikut:
a.
Melakukan studi kelayakan,
b.
Menetapkan jenis usaha produktif,
c.
Melakukan bimbingan dan penyuluhan,
d.
Melakukan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan,
e.
Mengadakan evaluasi, dan
f.
Membuat pelaporan.[7]
Mustahiq zakat atau orang yang berhak
menerima zakat harta benda (zakat maal) ada delapan asnaf (golongan) yakni fakir, miskin, amil (petugas zakat), muallaf qulubuhum (orang yang baru masuk Islam), riqab (orang yang telah memerdekakan
budak –zaman dulu), ghorim
(orang yang berhutang),
orang yang berjihad di jalan Allah (fi sabilillah), dan ibnu
sabil (yang
dalam perjalanan). Dari delapan asnaf itu,
yang mesti didahulukan adalah fakir dan miskin.
Biasanya fakir didefinisikan
sebagai orang yang tidak berpunya apa-apa, juga tidak bekerja alias
pengangguran. Sementara orang miskin adalah yang bisa mencukupi kebutuhan hidup
diri dan keluarganya tapi serba berkekurangan.
Umumnya zakat yang diberikan
kepada mereka bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ini kurang begitu membantu mereka untuk jangka panjang, karena uang atau barang
kebutuhan sehari-hari yang telah diberikan akan segera habis dan mereka akan
kembali hidup dalam keadaan fakir atau miskin. Bahwa zakat yang disalurkan
kepada dua golongan ini dapat bersifat “produktif”, yaitu untuk menambah atau
sebagai modal usaha mereka.
Disyaratkan bahwa yang berhak memberikan
zakat yang bersifat produktif adalah yang mampu melakukan pembinaan dan
pendampingan kepada para mustahiq
agar kegiatan
usahanya dapat berjalan dengan baik. Di samping melakukan pembinaan dan
pendampingan kepada para mustahiq
dalam kegiatan
usahanya, juga harus memberikan pembinaan rohani dan intelektual keagamaannya
agar semakin meningkat kualitas keimanan dan keislamanannya.[8]
Dengan banyaknya Lembaga Amil
Zakat yang bermunculan tentu dapat memberikan angin segar dalam hal
penanggulangan/pengurangan angka kemiskinan, lembaga tersebut dapat menjadi
mitra pemerintah untuk mengadakan penyuluhan terhadap penduduk miskin. Beban
berat pemerintah dapat terkurangi, memutus mata rantai birokrasi pemerintah
ketika akan mendistribusikan bantuan karena biasanya tiap Lembaga Amil Zakat mempunyai pasukan Relawan
yang berfungsi sebagai penyalur/distributor yang akan terjun langsung ke
lapangan memberikan bantuan yang bersifat konsumtif (biasanya dikemas dalam
dengan acara Baksos/Aksos dan pengobatan gratis dll), untuk bantuan yang
bersifat produktif biasanya lembaga zakat akan memberikan pendampingan,
pendidikan, pengamatan dan evaluasi terhadap usaha yang dikelola oleh mustahiq, dengan tujuan sector usaha
tersebut dapat berjalan secara optimal, dan harapannya adalah usahausaha yang
dibiayai oleh Lembaga Amil Zakat dapat meningkat sehingga tingkat kesejahteraan
ekonomi mustahiq
(fakir miskin)
dapat meningkat. Dan tentunya dengan peningkatan usaha dan kesejahteraan
tersebut akan terjadi perubahan kondisi dari mustahiq (fakir
miskin) menjadi muzakki
(orang yang wajib
mengeluarkan zakat).[9]
Pendayagunaan zakat adalah inti
dari seluruh kegiatan pengumpulan dana zakat (fundraising). Konsep dasar pendayagunaan zakat adalah mengubah mustahiq menjadi muzakki dalam arti :
a.
Mengubah orang miskin menjadi mampu (fakir, miskin)
b.
Mengubah orang terbelenggu menjadi bebas (muallaf, ghorimin, riqob dan fisabilillah)
c.
Mengubah orang bodoh menjadi pintar (ibnu sabil) Secara garis besar tipe penyaluran
dana zakat dapat dilakukan dengan tiga cara :
1) Penyaluran
murni
·
Target : Setiap dana yang ada digunakan untuk hibah
konsumtif (santunan langsung)
·
Alokasi dana : Saat dibagikan dana langsung habis
·
Orientasi : Sampainya dana kepada mustahiq
2) Semi
pendayagunaan
·
Target : Dana yang ada digunakan untuk hibah konsumtif dan pengembangan
SDM (santunan langsung dan tidak langsung)
·
Alokasi dana : Saat dibagikan dana langsung habis
·
Orientasi : Sampainya dana dan juga kemanfaatannya bagi mustahiq
3) Pendayagunaan
·
Target : Dana yang ada digunakan untuk kegiatan hibah
(santunan langsung dan tidak langsung), untuk pengembangan SDM dan untuk kegiatan
ekonomi produktif
·
Alokasi dana : Dana yang dibagikan tidak langsung habis
Orientasi : Kemanfaatan dan
perubahan mustahiq
[1] H. Ahmad Thib Raya, Hj. Siti Musdah Mulia, Menyelami
Seluk-beluk Ibadah DalamIslam, Cet.3, Jakarta: Kencana, 2003, hlm.14
[2] www.suaramuballigh.com, strategi pendayagunaan zakat. Oleh Rizaldy
Siregar, hari Rabu, 19 November 2008, jam 19.00 WIB
[3] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Cet. 3, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 189
[5] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah:
Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia, Edisi 2, Cet.2, 2004, hlm. 240.
[7] Suparman Usman, Hukum Islam; Asas-asas dan Pengantar
Studi Hukum Islam danTata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama,
2004, hlm 173 -174.
[8] www.nu.or.id, Produktifitas dan Pendayagunaan Harta Zakat, Oleh:
A. Khoirul Anam, 14 November 2007.
[9] WWW.blogspot.Com, Zakat Produktif Solusi Pengurangan
Kemiskinan,
Oleh: Sucipto, Hari Senin 12 Mei 2008